Oleh : Muslimin *


Setelah lebih sepuluh tahun reformasi bergulir di Indonesia, organisasi rakyat progresif (baik yang berbasis petani, nelayan, miskin kota, adat, NGO atau mahasiswa), belum mampu merebut kuasa yang sebelumnya berada di tangan penguasa otoriter. Organisasi rakyat progresif sampai saat ini masih banyak menjadi penonton permainan orang-orang lama yang masih bercokol di kekuasaan, atau permainan orang-orang baru yang “mencuri” kesempatan dalam proses perubahan kekuasaan. Padahal orang-orang baru ini adalah musuh dari gerakan rakyat progresif yang memperjuangkan perubahan selama bertahun-tahun.

Ini semua bukanlah tanpa sebab, sehingga organisasi rakyat progresif selalu terpinggirkan dalam proses politik yang terjadi. Ketika jaman pemerintahan otoriter mereka dipinggirkan bahkan diceraiberaikan, dan setelah pemerintahan berganti selama sekian tahun posisi organisasi rakyat progresif tetap tidak beranjak dari posisi semula, sebagai penonton dan hanya bersorak-sorak tanpa bisa memegang atau sekedar mengendalikan kuasa yang saat ini banyak diduduki oleh “pencuri” dalam proses besar reformasi di Indonesia.

Secara sosial, sebab-sebab organisasi rakyat progresif tidak berkiprah dalam panggung kuasa (secara politik bahkan ekonomi) antara lain adalah: (a) bangunan solidaritas yang selalu retak, (b) kelemahan dalam kepemimpinan gerakan, (c) struktur organisasi yang tidak mendukung organisasi gerakan rakyat bisa bergerak secara luas.

Sebenarnya antara butir (a) dengan butir (b) saling berhubungan secara erat, tetapi kita bedakan saja agar pembedahannya bisa lebih tajam. Butir (a) bangunan solidaritas yang selalu retak. Kalau ditelusuri secara jauh, lemahnya bangunan solidaritas dalam organisasi rakyat memang sengaja diciptakan. Selama kekuasaan panjang Soeharto, hal yang paling dihancurkan adalah ketrampilan rakyat dalam menganyam dan manjalinkan solidaritas antar orang dan antar kelompok-kelompok rakyat; bagaimana cara menghubungkan antara satu kepentingan rakyat dengan kepentingan rakyat yang lain; bagaimana proses lobi dan mempengaruhi dilakukan agar semua orang bisa mendukung apa yang menjadi cita-cita bersama dalam menciptakan adil kelas. Bahkan saat ini istilah propaganda hampir-hampir tidak dipahami oleh rakyat. Keterampilan tersebut sejak masa-masa akhir kolonialisme sudah dibangun dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan awal Indonesia. Keterampilan itu berkembang sampai puncaknya ketika proses politik elektoral awal dilakukan di Indonesia.

Problem ini, bisa (tetapi juga dipastikan) karena hilangnya, belum bertemunya atau belum terbentuknya kepemimpinan dalam gerakan rakyat. Sejak tumbangnya rejim Suharto, gerakan rakyat progresif terkotak-kotak dalam berbagai sektor dan wilayah. Belum kita temukan pemimpin yang mampu menjadi simbol persatuan bagi gerakan rakyat progresif di Indonesia, meskipun penggerak dari gerakan ini sudah pasti ada di setiap organisasi gerakan progresif. Setiap sektor atau wilayah memiliki para penggerak, atau bahkan pemimpinnya.

Kepemimpinan yang dimaksud di sini terkait dengan sistem kepemimpinan dan sosok pemimpinnya. Belum ada kesepakatan yang dilakukan secara “sungguh-sungguh” dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak ada keluaran yang berupa cara-cara dan strategi bagaimana kepemimpinan dibentuk. Kita tidak perlu bicara terlalu jauh untuk membentuk kepemimpinan gerakan secara luas, karena cara-cara serta strategi membentuk kepemimpinan belum “benar-benar disepakati.” Pembicaraan tentang bagaimana membentuk pemimpin akan dilakukan setelah cara dan strategi sudah disepakati. Pembicaraan inipun, dalam konteks kita di Indonesia atau di Jawa Timur khususnya, tidak bisa sekedar dilakukan dengan membuat seminar atau lokakarya, tanpa didahului dengan kerja kongkrit untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari oleh rakyat, dan dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup. Selanjutnya, pemimpin tidak muncul secara otomatis. Maka dari itu, hampir tidak mungkin mengandalkan munculnya pemimpin tanpa didahului dengan sebuah perencanaan untuk mengkonstruksi seorang menjadi pemimpin. Pemimpin tidak muncul dari langit secara mendadak, tanpa didahului oleh persoalan-persoalan yang menimpa rakyat.

Struktur organisasi gerakan rakyat progresif selama ini masih bersifat sektoral. Untuk perjuangan advokasi kebijakan, struktur ini memang sangat efektif, karena lebih fokus dan dibatasi oleh situasi dimana isu yang diperjuangkan bergejolak. Tetapi untuk perjuangan yang sifatnya jangka panjang dan bersifat masif, gerakan rakyat membutuhkan struktur organisasi yang mampu bertahan dalam rentang waktu dimana perjuangan akan terus dilakukan dan membutuhkan dukungan yang luas dari seluruh rakyat atau sebagian besar rakyat, terutama rakyat miskin, tertindas yang menjadi korban kebijakan.

Karena itu dibutuhkan struktur organisasi dari wilayah yang paling kecil sampai wilayah yang lebih besar. Struktur organisasi ini, meskipun awal-awalnya dibentuk dari gerakan-gerakan kongkrit untuk menyelesaikan persoalan kongkrit, namun selanjutnya mesti dibangun mengikuti struktur dimana ruang perjuangan akan dilakukan. Jika perjuangan politik yang dilakukan dengan merebut kuasa-kuasa politik di semua level kepemimpinan politik, maka mau tidak mau struktur organisasi gerakan yang harus dibangun adalah mengikuti struktur ruang perjuangan politik. Jika saat ini struktur kepemimpinan politik di Indonesia berangkat mulai dari dusun, desa, kecamatan, kebupaten, provinsi sampai nasional, maka struktur yang harus dibangun mengikuti struktur kepemimpinan politik tersebut. Hal ini tentu berbeda jika yang dibangun adalah struktur kepemimpinan ekonomi dan budaya.

Dari pengalaman yang pernah diperoleh, terutama di Jawa Timur, kekuatan struktur organisasi gerakan rakyat, melalui para kader penggeraknya yang solid dan memenuhi dalam jumlah, sangat diperlukan ketika terlibat dalam proses politik elektoral. Karena dengan melalui cara ini kekuatan rakyat bisa dimobilisasi sehingga menjadi kekuatan dalam proses perebutan kuasa politik. Proses membangun struktur organisasi gerakan ini tentu membutuhkan kepemimpinan yang handal yang dibangun melalui proses pengorganisasian. Proses pengorganisasian sebagai panci untuk menggodok seorang pemimpin, sehingga menjadi pemimpin yang matang. Karena pemimpin yang dilahirkan dari gelimangnya modal dan ketenaran belaka, seperti yang banyak dilakukan oleh para pemilik modal besar dan para artis, tidak akan pernah bisa melahirkan organisasi gerakan rakyat yang kuat.


* Penulis adalah Direktur Perkumpulan Alha-Raka, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment