Oleh : Lily Pujiati*


Sejak terbitnya Undang-Undang No. 39 Tahun 2004, dunia buruh migran Indonesia atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bisa dikatakan memasuki sebuah babak baru. Namun dalam perjalanannya, hak dan perlakuan yang layak belum diterima oleh para penyumbang devisa.

Dari hari ke hari kondisi buruh migran Indonesia seperti berada di jalan tak berujung. Tak ada kepastian serta perlindungan yang didapat para buruh migran dari negaranya sendiri, ketika jeritan dan teriakan mereka untuk mengadu nasib di negeri orang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Tapi walau bagaimanapun juga, ketika palu diketok, undang - undang tersebut dirasa belum cukup walau negara menjamin undang- undang tersebut sudah pantas untuk diterapkan. Karena peta persoalan buruh migran di Indonesia begitu kompleks dan beragam.

Kasus-kasus yang menimpa para buruh migran di saat merantau di negeri orang ibarat bola salju yang dibiarkan menggelinding beku, entah sampai kapan gunung es itu baru mencair. Banyak pemberitaan, baik di media cetak maupun elektronik yang sedikit banyak mengulas tentang kasus penganiayaan, pelecehan hingga perdagangan manusia (human trafficking) terhadap buruh migran. Berkaca dari banyaknya kasus tersebut, sepatutnya perlindungan negara terhadap mereka ini lebih dioptimalkan mengingat dalam UUD 1945 disebutkan kewajiban negara untuk melindungi segenap warga negaranya.

Lahirnya Undang-Undanga No. 39 Tahun 2004, diakui belum banyak mengobati kerinduan atas perubahan yang diinginkan, yaitu adanya perlindungan yang nyata dari negara untuk buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara. Dalam jangka waktu yang begitu panjang, ibarat sapi perahan, buruh migran kerap dijadikan bulan-bulanan dalam rangkaian pengurusan surat-surat disetiap instansi terkait .

Alhasil, meski lima tahun UU 39/2004 ini berjalan, kondisi buruh migran masih jauh dari harapan. Banyak kasus, baik yang baru ataupun lama terus saja muncul. Sekain itu juga berdampak pada arus gelombang deportasi dari berbagai negara yang semakin meningkat.


Inkonsistensi Pemerintah

Terlepas dari itu, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Migran tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Keluarganya pada tahun 2004, namun hingga kini tidak ada tindak lanjutnya bahkan terkesan tidak serius untuk segera meratifikasi dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.

Sebab, beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Luar Negeri, Depnakertrans dan departemen lain yang terkait tidak pernah mau belajar atau mempelajari apa saja yang ada di dalam konvensi tersebut. Yang dilihat hanyalah sebagian kecil, seperti ketakutan Depnakertrans bahwa warga negara asing yang tinggal di Indonesia bebas berserikat. Selain itu juga pemerintah keberatan untuk melindungi warga negara asing yang berada di Indonesia. Semua alasan itu terkesan sangat tidak dapat diterima karena Indonesia dahulu adalah negara yang memperjuangkan hak asasi manusia.

Sikap ini semakin meyakinkan publik bahwa pemerintah tidak pernah menghargai darah dan keringat serta air mata buruh migran, karena sudah 6 tahun berselang tidak ada niatan untuk segera membebaskan belenggu perbudakan buruh migran dengan meratifikasi Konvensi Migran Tahun 1990.


Akhiri Derita Buruh Migran

Tercatat sudah 42 negara yang meratifikasi Konvensi Migran ini, pihak negara tersebut tidak pernah ada yang mengeluh dan dirugikan karena negara-negara tersebut memang ingin ada perubahan yang nyata untuk melindungi para pekerja migran. Contohnya Meksiko yang juga merupakan negara pengirim tenaga kerja dan juga penerima tenaga kerja. Dengan meratifikasi konvensi, Meksiko dengan mudah membuat berbagai perjanjian perlindungan buruh migran dengan negara-negara lain dimana warga negaranya menjadi buruh migran

Contoh lain yang dapat ditengok adalah negara Filipina yang juga telah meratifikasi konvensi tersebut. Pengaturan penempatan serta perlindungan bagi buruh migran di luar negeri sudah cukup baik karena hukum nasionalnya telah mengadopsi standar hukum internasional yang bersifat universal. Melalui perangkat peraturan yang lengkap, maka perkembangan buruh migran Filipina cukup pesat dan mampu menempatkan 2,5 juta buruh migrannya ke berbagai negara.

Dari dua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah tidak mempunyai alasan lain selain alasan untuk segera meratifikasi Konvensi Migran. Negara dituntut untuk segera memberikan perlindungan yang nyata bagi buruh migran. Perhatian pemerintah harus difokuskan pada kesejahteraan para pahlawan devisa, bukan lagi pada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS/PJTKI) yang hanya tertuju untuk kepentingan bisnis semata dengan mengorbankan buruh migran.


* Penulis adalah Koordinator Peduli Buruh Migran, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment