Oleh : Sultoni*

Setelah bersekutu dalam sebuah pertemuan yang didanai asing membahas langgam politik kaum buruh (Trade Union Meeting for Political Consensus atau TUMPOC) pada November 2009 silam, kelompok serikat buruh “kuning” kembali menghentak melalui upaya membangkitkan kembali Forum Bipartit Nasional (FBN). Forum ini merupakan “perselingkuhan” terbuka antara sejumlah serikat mainstream dengan organisasi pengusaha. Apa makna dari peristiwa ini?

Disebut perselingkuhan karena berlandaskan pada hubungan “terlarang” dan tak semestinya. Yakni hubungan yang ditopang oleh kepentingan yang jauh berbeda dan bahkan bertentangan. Pengusaha yang terwakili dalam Apindo jelas memiliki kepentingan meningkatkan keuntungan dan perluasan usaha, yang dalam prakteknya acap kali berlawanan dengan kepentingan buruh yang menginginkan kesejahteran diri dan keluarganya.

Dalam pernyataan bersama serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) tergabung FBN (KSPSI, KSBSI, KSPI, FSP BUMN dan Sarbumusi) dan Apindo, dinyatakan bahwa FBN ini pemangku kepentingan (stake holder) dalam pembangunan hubungan industrial. Mereka menyadari bahwa pertumbuhan usaha yang langgeng dalam persaingan global mesti disertai kemampuan memenuhi kewajiban normatif, membutuhkan ketenangan usaha dan ketenangan bekerja yang dapat menjamin kelangsungan usaha dan hubungan kerja.

Mereka “bertekad” menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara internal tanpa adanya campur tangan pihak lain, secara sederhana, cepat, tepat, adil dan konsisten. Terkait dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perburuhan, mereka juga sepakat mengagendakan program reformasi peraturan perundang-undangan perburuhan. Amandemen UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek ditempatkan pada urutan prioritas pertama.

Sangat sulit membayangkan buruh yang kerap berhadap-hadapan dengan pengusaha dalam berbagai tuntutan, tiba-tiba bersanding manis dengan “musuhnya” itu. “Mati surinya” FBN sejauh ini tentu diakibatkan oleh kontradiksi tak terdamaikan ini, meskipun dalam makna yang paling moderat sekalipun.


Lalu kenapa FBN dihidupkan kembali?

Secara teknis, hidupnya kembali FBN tidak berarti sekian juta buruh yang terwadahi dalam serikat buruh kuning ini berdamai dengan sekian ribu pengusaha yang tergabung dalam Apindo. Melainkan hanya hubungan sesama personal pengurus serikat buruh dengan Apindo. Artinya, pembangkitan kembali FBN tidak ada urusan dengan sekian juta buruh. Tetapi semata-mata keputusan sejumlah pihak pimpinan serikat buruh saja (dengan Apindo). Maka, tidak perlu terburu-buru menganggap FBN sebagai bentuk konsiliasi buruh dan pengusaha!


Karena CAFTA?

Melihat konteks waktu pembangkitan kembali FBN yang sebenarnya ditandatangani sejak 2008 silam ini, latar belakang pemberlakuan China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA) terlihat mengemuka. Dalam pernyataan di media massa, pengaktifan forum ini untuk mengantisipasi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran yang dilakukan perusahaan akibat kerjasama perjanjian perdangan bebas atau China-Asean Free Trade Agreement.

Latar belakang ini menyiratkan tujuan “mulia” dari FBN. Tetapi mungkinkah tujuan besar ini dapat tergapai melalui persatuan (serikat) buruh kuning dan pengusaha? Sangat mungkin yang terjadi justru sebaliknya. Ketika pengusaha lokal-nasional tergempur akibat persetujuan CAFTA, kapitalis nasional justru menindas buruh, yakni dalam wujud pengurangan hak-hak buruh. Apabila produk nasional kalah bersaing dengan produk China, maka pertama-tama yang disasar untuk dikurangi adalah upah buruh, dan di sisi lain memaksa kemampuan produktivitas buruh melampaui batasnya (penambahan waktu lembur, target produksi, dan bentuk lainnya).

Ketika buruh menuntut hak seandainya (dan pasti) berkasus dengan pengusaha, menempatkan FBN berada dalam posisi “aneh”. FBN segera menjelma sebagai amunisi tambahan pengusaha untuk memojokkan upaya dan perjuangan buruh itu sendiri. Demi alasan-alasan ketenangan berusaha dan agar produk kian kompetitif di pasar, tuntutan buruh menjadi terkesan lemah. Apalagi ada komitmen untuk menyelesaikan persoalan secara internal (artinya tak sampai diberitakan media), cepat dan sederhana.

Penyelesaian perselisihan hubungan kerja macam ini sungguh membahayakan kepentingan buruh. Dengan pemaknaan yang berbeda (versi pengusaha dan versi buruh) tentang apa itu cepat dan sederhana (termasuk term “adil”) ditambah tak terpublikasi oleh media masa, menjadikan kemungkinan hadirnya keputusan pro-buruh semakin menjauh. Penyelesaian mandiri dan mengharamkan keberadaan pihak luar (termasuk pemerintah?) semakin mendomestikasi problem-problem perburuhan.

Seperti halnya rumah tangga, ketika perselisihan antara suami dan istri hanya di dalam rumah dan tak terjangkau perhatian publik, sangat memungkinkan terjadinya tindak kekerasan yang kemudian dikenal sebagai KDRT. Dengan posisi lemah dan kemampuan membela diri yang minim, sudah pasti pihak istri lah yang menjadi korban. Maka, jika pengusaha dan buruh berselisih dan mencoba diselesaikan dalam ruang tertutup, 99% buruh sudah berada dalam posisi kalah.

Alih-alih mensiasati CAFTA, pengusahalah (dan pengurus SP/SB kuning!) yang sebenarnya sedang mensiasati buruh. CAFTA jelas-jelas tidak bisa diselesaikan atau dihadapi dengan harmonisasi buruh dan pengusaha, melainkan oleh sikap tegas dan keberpihakkan negara pada mayoritas rakyat.

Maka, keberadaan FBN ini sama sekali tak memberi keuntungan bagi buruh, malah sebaliknya memperkuat posisi tawar pengusaha. Adanya CAFTA sekalipun (dimana forum jahat ini dikatakan sebagai format antisipasinya), FBN takkan berkontribusi bagi pemenuhan tuntutan buruh akan kesejahteraan, tetapi sebaliknya merupakan amunisi pengusaha menekan buruh melalui wakil-wakil serikat buruh kuning dalam FBN.

Pernyataan sikap yang dikeluarkan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyikapi pembentukan kembali FBN, menggambarkan situasi yang kian mengkhawatirkan: “Rezim neoliberal akan sekuat tenaga berupaya untuk melancarkan agenda-agenda neoliberalisme di Indonesia. Front kelas borjuasi telah dapat dilihat bermunculan di kalangan parlemen. Hal ini terbukti ketika terbentuknya kartel partai politik yang mendukung kebijakan-kebijakan rezim neoliberal. Namun saat ini front-front kelas borjuasi bukan hanya berada di parlemen, namun telah merambah dan menunjukkan wujudnya di lapangan-lapangan sektoral, salah satunya di sektor perburuhan (FBN). Bukan tidak mungkin front-front kelas borjuasi ini juga akan bermunculan di sektor-sektor lainnya, selain sektor perburuhan.”


* Penulis adalah aktivis Serikat Buruh Progresip, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment