Oleh : Ponisah*

Perempuan malam mandi di kali
Buih-buih busa shampo ketengan
Di atas kepala lewat kereta
Yang berjalan lamban nakal menggoda
Disambut tawa renyah memecah langit
Dengus kereta semakin genit
(Penggalan lirik lagu Perempuan Malam, Iwan Fals)


Beberapa pekan yang lalu, situasi nasional digegerkan dengan isu “nikah siri” yang dilontarkan oleh departemen agama dan menjadi bahan perbincangan dari banyak kalangan. Bahkan isu ini sempat dikhawatirkan menggeser isu Pansus Bank Century yang mendekati episode akhir. Namun tanpa disadari, isu “nikah siri” tersebut akan terhubung dengan satu momentum peringatan Hari Perempuan Sedunia (IWD) yang jatuh pada tanggal 8 Maret.

Tanggal 8 Maret adalah sebuah hari yang oleh rezim berkuasa SBY-Budiono tidak dilirik sedikitpun, bahkan kita juga bisa miris bila melihat ternyata banyak media atau instansi yang tidak tahu apalagi memperingati Hari Perempuan Sedunia. Sebuah hari, dimana pada 8 Maret 1857, gerakan buruh perempuan revolusioner yang mengalami represi saat unjuk rasa di New York, Amerika. Dan yang hebat adalah gerakan perempuan ini dua tahun kemudian membangun serikat buruh, tepatnya 8 Maret 1859. Selanjutnya peristiwa tersebut pada 19 maret 1911 ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional dalam sidang Konferensi Kopenhagen, Denmark yang dihadiri oleh perwakilan perempuan pekerja dari 17 negara, yang dipimpin oleh Clara Zetkin (Biro Perempuan Partai Sosialis - Demokratik Jerman).

Dalam 100 tahun hari Perempuan Internasional masih kita dapatkan kenyataan yang sangat pahit bagi kehidupan rakyat pekerja, khususnya kaum perempuan. Bisa kita lihat data dari berbagai sumber tentang kondisi perempuan Indonesia: meningkatnya angka kematian ibu melahirkan hingga 420 per 100 ribu kelahiran akibat tidak terjangkaunya layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan.   Pada tahun 2009  terdapat 250.000 perceraian yang berujung menyengsarakan kaum Perempuan. Sebanyak 7 dari 10 perempuan hamil di Indonesia menderita anemia. Kemiskinan dan tekanan ekonomi menjadi akibatnya, di tahun 2009, kasus kekerasan terhadap perempuan hampir 3 kali lipat, yaitu sebesar 143.586 kasus dari 54.425 kasus di tahun 2008.  Fakta lain masih banyak lagi, seperti ribuan buruh perempuan di-PHK, ribuan perempuan TKI dideportasi dan mendapatkan kekerasan serta penganiayaan bahkan sampai mati.

Kehidupan tragis kaum perempuan tersebut bukanlah hanya milik kaum perempuan, tetapi juga dialami oleh jutaan rakyat pekerja laki-laki sebagai akibat dari sistem neoliberalisme-kapitalisme yang dengan sengaja melanggengkan oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi politik. Dalam keadaan tersebut, maka perempuan menanggung beban berlipat, perempuan mengalami penindasan berlipat pula, baik di rumah tangga, lingkungan, tempat kerja dan relasi kerja serta dalam struktur negara/pemerintahan.

UU Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan Gender
Kondisi kaum perempuan yang terpuruk tidaklah bisa hanya diselesaikan hanya dengan membuat undang-undang tentang nikah siri, karena dalam sistem oligarki patriarki dan sistem neoliberalisme-kapitalisme hal tersebut tidak menjadi apa-apa kemudian hari bahkan bisa menjadi “barang bisnis baru.” Bahwa diakui, sebagai salah satu sumber kesengsaraan kaum perempuan adalah akibat pernikahan yang tidak setara, akibat pemodal yang berjenis kelamin laki-laki semaunya memperlakukan kaum perempuan, tentulah diakui. Bahkan kitapun mengakui dalam lingkup keluarga masih terjadi ketimpangan luar biasa dalam relasi perempuan dan laki-laki akibat ajaran patriarki yang turun-temurun diwariskan dalam sistem sosial kita.

Yang seharusnya dibuat oleh negara dalam situasi sekarang adalah undang undang tentang perlindungan terhadap perempuan secara menyeluruh dan kesetaraan gender dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Bila hanya dipotong saja, sebuah aturan tentang UU Nikah Siri, selain menjadi bisnis baru, juga menempatkan kaum perempuan sebagai obyek saja, bukan sebagai subyek yang kuat dan bergerak sendiri. Situasi kapitalisme yang terus menggerus kehidupan sosial dan memecah persatuan antara rakyat pekerja laki-laku dan rakyat pekerja perempuan inilah yang mendasari pembuatan UU Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan gender. Sebagai sebuah jembatan agar tercipta kesetaraan dan gerak bersama yang tidak timpang dari rakyat pekerja menghadapi ganasnya kapitalisme global dengan neoliberalismenya. 

Pendesakan UU Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan Gender, harus dijadikan satu ikatan bersama, bukan saja kaum perempuan saja tetapi juga tugas kaum laki-laki. Dengan demikian akan jelas relasi perjuangan kelas pekerja Indonesia.

Mendesakkan sebuah kebijakan berskala nasional harus diikuti dengan upaya pembangunan kekuatan yang massif, maka pola relasi setara di dalam rumah tangga dan lingkungan harus dibangun. Tentulah organisasi bisa menjadi jembatan dan alat dalam membangun relasi setara antara perempuan dan laki-laki, bukan sebaliknya.

Sekali lagi, bahwa tidak ada permusuhan antara laki-laki dengan kaum perempuan sejak lahir. Namun kapitalisme-neoliberalisme telah menggunakan sistem sosial patriarki untuk memecah belah kekuatan rakyat pekerja untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka memulai dari rumah tangga, lingkungan dan organsasi adalah jawaban yang tepat untuk selanjutnya mendesakkan sebuah kebijakan yang memihak kepada rakyat dengan jalan opisisi, bukan kompromi.

Perempuan malam di pinggir jerami
Nyanyikan do'a nyalakan api

(Penutup lirik lagu Perempuan Malam, Iwan Fals)

* Penulis adalah pengurus Persatuan Perjuangan Buruh Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment