Oleh : Fitriyanti*

“Setiap pagi, sekarang saya sibuk, nyiapin kegiatan sekolah anak, nganterin dan kemudian nungguin,“ demikian komentar seorang ibu sambil berbunga-bunga. Ibu muda, ini, bisa jadi merupakan sedikit gambaran betapa sekarang kebutuhan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya sudah tidak bisa ditunda lagi, bahkan menjadi kebutuhan prioritas yang tak terkalahkan. Maka, seiring dengan menjamurnya PAUD alias pendidikan anak usia dini itu, menjamur pula kesibukan ibu-ibu muda mendampingi anak-anaknya bersekolah.

Bisa jadi, dalam pandangan para ibu muda dan sebagian besar orang tua itu, kini pendidikan bagi anak di usia dini merupakan hal yang sangat penting, karena pada masa-masa inilah anak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Anak pada usia dini mempunyai karakteristik yang khas, baik dari segi fisik, psikis, sosial dan moral. Mereka akan mencontoh perilaku dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Menjadi sangat penting untuk memberikan pengarahan serta menanamkan nilai-nilai yang baik bagi anak di usia dini, karena di sinilah proses pembentukan kepribadian anak.

Di sadari atau tidak, proses inilah yang kelak akan tertanam dalam jiwa anak dan akan mempengaruhi segala perkembangan anak sampai dia beranjak dewasa. Proses penerimaan terhadap sesuatupun terjadi begitu cepat pada masa ini, peran dari orang tua dalam masa pendampingan ini begitu sangat penting, karena segala pengalaman yang diterima anak akan membekas dalam waktu yang cukup lama. Maka dalam pandangan para orang tua, PAUD menjadi semacam jalan pintas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, sebuah cara mudah untuk menjadikan anak super dalam waktu yang singkat.

Kondisi riil yang kita temui di tengah masyarakat saat ini, tak semua anak mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat menikmati masa pertumbuhan mereka. Dalam usia 0 – 8 tahun dimana anak-anak memiliki kesempatan untuk mengalami 80% perkembangan otak dibanding sesudahnya serta perkembangan fisik dan mental mengalami kecepatan yang luar biasa. Hal itu, rupanya yang diimpikan para orang tua dengan menyekolahkan anaknya di PAUD. Sebuah kondisi yang tentu saja paradoks dengan kenyataan lain yang kita temui di jalanan. Banyak terdapat anak yang berkisar di usia itu hidup di jalanan dengan cara mengemis dan mengamen yang mengharuskan mereka naik turun kendaraan umum dan dengan itu mereka berhadapan dengan resiko kecelakaan yang akan merenggut masa depan mereka.

Jumlah anak yang tak lagi memiliki kesempatan bukan saja untuk menysun masa depannya, namun juga kehilangan kesempatan untuk menikmati masa kanak-kanaknya tersebut pastilah dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Dalam suasana yang demikian, tentu pilihan dan alternatif semisal PAUD menjadi kontradiksi yang ironis.

PAUD dan realita pendidikan kita

Di kota-kota besar sudah banyak pihak yang menawarkan metode pendidikan untuk anak-anak di usia dini, seperti taman bermain (play group) yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk dapat menikmati fasilitas tersebut. Biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh orang tua sekitar Rp. 100.000 per bulan. Biaya itu diluar ongkos-ongkos lain seperti untuk ekstrakurikuler bahasa Inggris, menari dan kegiatan lainnya. Belum lagi ketika ada kegiatan perlombaan atau tour bagi anak-anak. Bagi keluarga yang mampu bisa saja menikmati hal tersebut dan biaya itu bisa membengkak.

Fenomena PAUD, tentu saja mesti disambut sebagai sebuah momentum lahirnya kesadaran para orangtua atas kebutuhan pendidikan anak-anaknya sejak dini. Dan momentum ini, tentu saja menjadi semacam Investasi bagi mimpi akan lahirnya generasi yang lebih berkualitas di kemudian hari. Tapi, tentu saja menjadi miris bagi kita semua ketika kondisi yang “serba gemerlap” dan pertarungan gengsi para orang tua dengan menyekolahkan anak-anak di PAUD, bila dibandingkan dengan buruknya sistem pendidikan yang sedang dipraktekkan negeri ini.

Dengan menyebutkan secara acak contoh-contoh berupa ambruknya gedung sekolah karena kualitas gedung yang buruk, anak-anak tak mampu melanjutkan sekolah karena tak ada biaya bahkan untuk sekedar pendidikan dasar sekalipun. Ditambah lagi dengan karut-marut sistem pendidikan dengan menyoroti lahirnya UU BHP serta Ujian Nasional yang dipaksakan oleh pemerintah meski menuai kontroversi. Dalam kondisi seperti ini, maka apakah “perang gengsi” menyekolahkan anak di PAUD menjadi lebih berarti bila dibandingkan dengan kondisi pedesaan ataupun tempat-tempat yang daerahnya cukup terpencil, susah untuk mendapatkan fasilitas yang memadai, entah itu karena faktor daerah yang sulit aksesnya ataupun memang belum ada perhatian dari pemerintah.

Agar di semua pelosok negeri ini mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai, tentunya bukan dengan pendidikan gratis dengan kualitas pendidikan yang seadanya, tapi memang benar-benar pendidikan yang mampu memberikan kecerdasan bagi anak-anak Indonesia.

Kapitalisasi Pendidikan?

Metode-metode pengajaran agar anak mampu melakukan hitung cepat dan membaca pun sudah mulai menjamur. Tentunya metode yang diajarkan antara di sekolah dan di tempat lain berbeda. Karena ingin mendapatkan nilai lebih di sekolah, maka banyak pula orang tua yang memasukkan anaknya untuk mengikuti jam tambahan belajar dengan mengikuti kursus di luar program belajar di sekolah.

Lagi-lagi muncul pertanyaan, sebenarnya pendidikan model apakah yang diterapkan oleh pemerintah sehingga materi yang diberikan di sekolah dirasa belum memadai. Padahal sekolah merupakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk dapat memberikan manfaat bagi warga negaranya. Namun materi yang ditawarkan oleh pihak lain dalam hal ini lembaga pendidikan di luar sekolah memberikan kelebihan yang tidak didapatkan di sekolah, sehingga kualitasnyapun berbeda. Mengapa pemerintah cenderung menyerahkan persoalan yang berkualitas ini ke pihak ketiga, seakan pemerintah terlihat tidak mampu dan melepaskan tanggung jawab pendidikan kepada pihak ketiga.

Dalam UUD 1945 pasal 28C ayat 1 yang berbunyi bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan dasarnya , berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Sudah sangat jelas tentang kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya dan pendidikan merupakan hak asasi manusia. Dan juga Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi dalam rangka menyelenggarakan pendidikan, pemerintah harus benar-benar menuangkan amanat UUD 1945 ke dalam langkah yang lebih konkret, bukan malah menjadikan pendidikan sebagai dagangan, siapa yang bisa membeli dengan mahal maka dia akan mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus. Tapi bagi mereka yang pas-pasan hanya bisa menikmati pendidikan ala kadarnya.

Dimulai dari pendidikan sedini mungkin saja sudah dikomersialkan, pantas jika sampai jenjang bangku kuliah harga yang harus dibayar cukup besar, dan belum tentu para lulusan sekolah menengah atas dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Semua dikarenakan faktor biaya, banyak pula dari mereka yang akhirnya masuk ke dunia kerja dengan pendidikan yang mereka dapatkan di sekolah.

Dan di dunia yang baru itu proses pembodohan terus berjalan sampai akhirnya mereka tersadar bahwa pemerintah tidak pernah memberikan sesuatu yang maksimal bagi rakyat. Bagi mereka yang bisa melanjutkan ke bangku kuliah, maka para mahasiswa inilah yang dijadikan sebagai pundi-pundi uang, dan di dunia industri sendiri, tenaga kerjalah yang menjadi sumber pendapatan bagi pengusaha. Maka tidak ada bedanya, sama-sama menjadi sasaran untuk mencari keuntungan bagi para penyelenggaranya.

Pemerintah Indonesia sudah harus betul-betul dengan serius memperhatikan pola pendidikan yang diberlakukan oleh lembaga pendidikan, jauhkan tindak kekerasan dalam pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini, sekolah dasar hingga universitas. Dengan kualitas pendidikan yang bagus bagi warga negaranya berarti mengurangi tingkat kebodohan di negeri ini, sehingga keterampilan yang dimilikinya bisa membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih baik dan tidak bermental korup.

Dan sepanjang yang terjadi di lapangan, tak terhindarkan terjadinya persaingan antara lembaga pendidikan tersebut secara tidak fair. Misalnya saja pertarungan para pengelola pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) dengan PAUD yang saling menjatuhkan. Tentu saja menjadikan pertanyaan besar bagi kita sekaligus jawaban yang sangat jelas bahwa melalui pendidikan tersebut, sebenarnya pertarungan dan gesekan-gesekan yang terjadi itu bukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tapi lebih pada rebutan “lapak” yang diyakini menjadi sumber pendapatan alias keuntungan finansial.

Kalau di tingkat pendidikan usia dini saja sebegitu kencangnya perebutan “lapak.” tak terbayangkan apa yang terjadi di tingkat lebih tinggi, sebutlah perguruan tinggi?

Maka, bersiaplah untuki kecewa karena pendidikan kita tak lebih hanya menjadi ajang komersialisasi bagi para pengelolanya. Selamat datang kapitalisasi pendidikan (di) Indonesia!



* Penulis adalah seorang pengajar di PAUD Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment