Oleh Hermawan*

"Menghadapi free trade, globalisasi, kita tidak perlu takut, tidak perlu gamang. Globalisasi dan free trade ada ancaman harus kita hadang, kita jawab dengan cerdas dan cekatan. Tetapi free trade bila kita bisa manfaatkan akan bisa mensejahterakan rakyat……" (Cuplikan pidato SBY, Metro TV, 30 Januari 2010)

Pidato SBY yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi tersebut dengan jelas mengajak seluruh rakyat untuk “menyetujui” perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Agreement). Tentunya ini menjawab aksi-aksi massa dari kaum buruh di Indonesia yang menolak pelaksanaan CAFTA (China-Asean Free Trade Agreement/Perjanjian Perdagangan Bebas China dengan ASEAN, termasuk Indonesia) yang muncul secara terus-menerus di Kota Bandung, Surabaya, Semarang, Jakarta dan kota-kota lainnya. Di dalam aksi-aksi ini juga mendesakkan pengusutan kasus Century dan gagalnya SBY-Budiono dalam 5 tahun 100 hari memimpin Indonesia.


Makna pidato presiden

Bisa kita tangkap dengan jelas, bahwa selain memaksa rakyat untuk menyetujui pasar bebas, ternyata SBY sangat paham apa itu pasar bebas dan hambatannya. Artinya dia telah berbohong pada publik saat kampanye dulu, yang bilang tidak paham akan neoliberalisme. Padahal sangat jelas, pasar bebas adalah ujung tombak dari neoliberalisme (kapitalisme).

Pasar bebas sudah dijadikan program oleh kapitalisme internasional untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi akumulasi modal. Salah satu hambatan yang ingin dihilangkan melalui pasar bebas adalah peran-peran negara dalam urusan rakyat.

Selain paham akan konsep dan alurnya neoliberalisme, SBY juga paham akan dampaknya kepada rakyat. Pun, kalau tidak tahu tentu sudah sadar, sesadar-sadarnya bahwa akan merugikan rakyat. Seperti yang sudah tergambar di akhir tahun sebelum CAFTA benar-benar dilaksanakan, salah satu media nasional memberitakan dampak dari CAFTA yakni Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 35 triliun, tempat sekitar 56 persen di antaranya dari sektor tekstil dan produk tekstil. Sementara di Jawa Barat berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun dari sektor perdagangan akibat penghapusan bea masuk tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China pada 2010 mendatang.

Dampak yang disinyalir tersebut masih dalam tataran makro dan akan terus berlanjut pada kondisi di lapangan. Tentu sangat memberatkan masyarakat dan khususnya kaum buruh Indonesia, karena bagaimanapun CAFTA menjadi pukulan tersendiri dan sebelumnya telah dipukul oleh godam besar bernama krisis ekonomi. Bila dampak krisis ekonomi global mengurangi pasar ekspor internasional dan membuka pasar dalam negeri, maka sebaliknya CAFTA mematikan pasar dalam negeri karena digelontor oleh produksi dari luar.

Dengan CAFTA ini pengusaha kecil dan menengah yang berasal serta berpasar lokal dan nasional akan hancur cepat atau lambat. Hanyalah pedagang kelas menengah ke atas dan pasar modern yang bisa mengambil untung dari situasi ini. Karena salah satu klausulnya adalah dihapuskannya Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pasar tradisional dalam CAFTA.


Dampak CAFTA

Saat sekarang secara nyata telah dirasakan dampak dari CAFTA di keseharian masyarakat, khususnya buruh. Dengan alasan CAFTA beberapa perusahaan telah menyatakan kekurangan order dan kesulitan pemesan dari konsumen dalam negeri. Karena alasan tersebut perusahaan yang memproduksi tekstil, garmen, sepatu dan makanan melakukan kebijakan :

Pertama, penangguhan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) 2010, sehingga perusahaan hanya memberikan upah tahun 2009 kepada buruhnya. Tercatat 81 perusahaan mengajukan penundaan pelaksanaan UMK 2010 dan dari jumlah itu 69 diizinkan serta 12 ditolak. Sementara secara nasional sudah ada 177 perusahaan mendapatkan ijin penangguhan upah dari total 235 perusahaan yang mengajukan penangguhan, 33 perusahaan ditolak dan sisanya masih dalam proses.

Ini baru yang terdaftar, sementara banyak perusahaan yang tidak melaporkan kepada dinas tenaga kerja saat melakukan penundaan upah.

Kedua, pengurangan jam kerja. Di beberapa perusahaan juga telah menerapkan pengurangan jam kerja kepada buruh dengan dibuat hanya sebatas 40 jam/minggu.

Ketiga, pekerja dirumahkan, beberapa perusahaan melakukan kebijakan ekstrim dengan me-rumahkan pekerjanya dengan alasan order berkurang. Dari beberapa kasus menunjukkan perusahaan melakukan ini sebagai awal mem-PHK pekerjanya, sementara beberapa perusahaan melakukan upaya mengalihkan produksi (outsourcing) dan mengganti tenaga kerja menjadi berstatus kontrak.

Keempat, pengurangan pekerja/PHK atau efisensi. Inilah dampak paling ekstrim dengan alasan kalah bersaing dan kekurangan order. Tragisnya lagi banyak PHK hanya sebagai alasan untuk merubah sistem kerja tetap menjadi kontrak-outsourcing. Di beberapa kasus sudah menunjukkan praktek ini.

Selain dampak di atas, ada dampak lain yang sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar industri. Pedagang kecil dan pengemudi angkutan umum mulai mengeluhkan kesulitan dan pengurangan penghasilan. Situasi ini akan mengakibatkan tingkat kehidupan yang menurun tajam, baik pendidikan maupun kesehatan dan pada ujungnya adalah hancurnya sebuah bangsa. Bahkan bila dilihat dari pembebasan pajak yang begitu banyak dari CAFTA ini, negara mengalami kerugian begitu besar. Tentu kita tidak habis pikir, mengapa pemimpin negara ini mau melaksanakan kebijakan yang merugikan rakyat?

Dengan kondisi tersebut, maka tidak ada untungnya Indonesia masuk dalam pasar bebas, baik AFTA, NAFTA atau CAFTA. Bila pemerintah masih juga menyanjung dan memaksakan pasar bebas, yang tentu akan menjadikan rakyat menjadi “pengemis, mengontrak dan kelaparan di rumah sendiri” maka tidak ada jalan lain perlawanan harus ditingkatkan. Aksi massa dipandu oleh front tentulah menjadi jawaban bagi perjuangan ini. Karena bagaimanapun parlemen dan pemerintah sudah tidak bisa menjadi tumpuan harapan merubah keadaan.

Perlawanan ini tidak hanya dilakukan oleh buruh tentunya, tetapi semua yang memiliki sikap anti neoliberalisme-kapitalisme. Kaum intelektual progresif-nasionalis dan seluruh komponen rakyat pekerja harus bersatu-padu. Garis perjuangan dari perlawanan ini adalah nasionalisme patriotik, karena pada situasi kapitalisme menggila hanya negara yang mampu membangun dan melindungi ekonomi-industrinya yang bisa bertahan dan berkembang. Desakan programnya adalah pembangunan industri nasional yang mandiri di bawah kontrol kelas pekerja.

Sudah saatnya tidak ada kata kompromi bagi pasar bebas. Karena sudah sangat terbukti pasar bebas, salah satunya CAFTA, menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat dengan meluluhlantakkan peran pokok negara dalam melayani kepentingan rakyat (kebutuhan akan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan).


* Penulis adalah anggota FPPB (Federasi Persatuan Perjuangan Buruh) Cimahi, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment