Kebutuhan energi dunia selama ini mayoritas menggunakan energi fosil berupa minyak bumi, batubara dan gas. Selama ratusan tahun negara industri telah mengeksploitasi energi fosil untuk kepentingannya. Setelah ditemukannya teknologi nuklir, dunia menaruh harapan besar terhadap jenis energi ini. Namun setelah 50 tahun berlalu, energi nuklir tidak bisa membuktikan harapan tersebut. Berbagai masalah yang terungkap dalam penggunaan energi nuklir tersebut pada akhirnya sangat merugikan masyarakat dan negara. Tidak hanya itu, penerapan energi nuklir sangat bergantung pada subsidi negara dan dukungan politik secara khusus dari pemerintah.


Seperti halnya masyarakat dunia, Indonesia juga harus menyiapkan rencana energi yang komprehensif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya melalui independensi energi yang sejati. Namun demikian, hal itu jelas tidak mungkin dilakukan melalui energi nuklir. Seperti kata Dewa Tara dari MPTN, “Indonesia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menggunakan nuklir. Nyaris seluruh hal harus diimpor dari luar negeri, mulai dari bahan bakar, reaktor, hingga suku cadang pabrik listrik itu sendiri. Belum lagi berbicara tentang limbah nuklir yang belum ada solusinya itu.” Lanjutnya, “independensi energi melalui nuklir adalah suatu ilusi yang menina-bobokan Indonesia sekaligus menghambat pemanfaatan energi terbarukan yang bersih yang seharusnya menjadi solusi bagi independensi energi Indonesia.”


“Hingga saat ini energi nuklir tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah yang ditimbulkannya sendiri, yakni radioaktifitas yang mencemari masyarakat dan lingkungannya mulai dari penambangan uranium, pengoperasian normal PLTN, dan dalam bentuk limbah nuklir yang abadi,” demikian dikatakan Dian Abraham dari MANUSIA. Lebih lanjut, dikatakan, “energi nuklir tidak pernah bisa membuktikan janjinya untuk menyediakan listrik yang murah. Bahkan data pemerintah saat ini yang menyatakan biaya per reaktor PLTN berkapasitas 1.000 MW adalah 1,5 hingga 2 miliar USD terbukti meleset sangat jauh jika dibandingkan dengan data riil kontrak PLTN Korea Selatan dengan Uni Emirat Arab baru-baru ini. Biaya per reaktor kontrak tersebut adalah 3,5 miliar USD. Dengan rencana pembangunan empat reaktor, perbedaan data biaya tersebut mencapai sedikitnya 6 miliar USD alias 55 triliun rupiah. Jika data pemerintah bisa salah sedemikian fatal, sama sekali tidak menutup kemungkinan data PLTN yang lain juga salah fatal.”


Tidak itu saja, Koesnadi Wirasapoetra dari SHI (Sarekat Hijau Indonesia) menambahkan, “teknologi yang dianggap canggih ini justru terbukti tidak bisa memenuhi janjinya di tahun 1950an bahwa PLTN sangat aman. Peristiwa Three Mile Island dan Chernobyl menjadi bukti bahwa kekhawatiran pemrotes nuklir sama sekali tidak mengada-ada. Ketiadaan kecelakaan yang setara saat ini tidak berarti bahwa teknologi PLTN sudah aman. Berbagai laporan resmi justru menunjukkan bahwa puluhan ribu peristiwa (event), baik berupa insiden (incident) maupun kecelakaan (accident) terjadi di seluruh dunia.” Mengutip seorang pakar nuklir independen dari AS, David Lochbaum, ketiadaan kecelakaan seperti Chernobyl hanyalah karena “faktor keberuntungan belaka”.

Selain itu, berbeda dengan pemanfaatan teknologi umumnya yang sosialisasinya diserahkan kepada produsennya dan keputusan penggunaannya diserahkan kepada masyarakat yang menjadi konsumennya, penggunaan energi nuklir di seluruh dunia selalu membutuhkan proteksi politik dari pemerintah. Tidak hanya itu, bahkan secara lancang seorang mantan pejabat BATAN pernah meminta dibentuknya UU yang mewajibkan penggunaan PLTN. Hal ini bukan saja tidak lazim, bahkan di negara nuklir itu sendiri, tetapi juga membuktikan bahwa kepentingan industri adalah nomor satu ketimbang kepentingan dan keselamatan masyarakatnya. Di seluruh dunia, justru sebaliknyalah yang dikenal, yaitu adanya UU yang melarang penggunaan nuklir, misalnya UU (Pelarangan) Penambangan Uranium dan Fasilitas Nuklir di New South Wales, Australia. Pertimbangannya tentu saja untuk melindungi kepentingan dan keselamatan masyarakatnya.

Proteksi politik itu sangat terasa di wilayah calon lokasi PLTN di Semenanjung Muria. Suasana tegang dan pemecahbelahan di antara masyarakat telah berkepanjangan selama puluhan tahun. Pemerintah bahkan ikut campur dengan ikut membentuk organisasi pro-PLTN di desa Balong. Dalam beberapa kasus bentrok terbuka antara kedua kelompok, aparat pemerintah juga cenderung berpihak pada kelompok masyarakat yang pro-PLTN. Meski demikian, seperti dikatakan Ali Arifin dari PMB, “mayoritas warga Balong tetap menolak keras rencana PLTN di wilayah mereka dan kami mengecam tangan-tangan pemerintah yang ikut bermain di desa Balong dan desa-desa sekitar Balong dengan mengucurkan dana bagi mereka yang mendukung megaproyek PLTN Muria.”

Demikian pula, pemerintah lokal cenderung bersikap gegabah untuk menerima begitu saja informasi kelebihan energi nuklir dari industri nuklir yang tak lain adalah pedagang yang sedang mencari untung. Hal itu tercermin dalam kasus rencana nuklir di Madura maupun berbagai lokasi seperti Gorontalo, Kalimantan, Banten dan Bangka-Belitung. Seperti dikatakan oleh Muhammad Hasan Jailani dari AM2PN, “jika tidak diawasi, pemerintah lokal akan selalu tergoda untuk hanya mendengarkan industry nuklir. Oleh karena itu AM2PN mengecam pernyataan Wakil Gubernur Jawa Timur yang baru-baru ini kembali mengusulkan Madura sebagai lokasi PLTN dan mengorbankan masyarakat Madura demi kepentingan industri nuklir yang sedang sekarat.”

Ditambahkan oleh Sardi El Bayano dari Muria Institute, “para wakil rakyat juga tidak peka terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Segelintir anggota Komisi VII DPR bahkan terang-terangan mendorong pemanfaatan energi nuklir tanpa pernah bertanya kepada masyarakat maupun pihak yang keberatan terhadap proyek nuklir tersebut. Kami hanya bisa berharap para wakil rakyat di masa depan akan menyesali dukungan tersebut dan mem-pansus-kan para wakil rakyat yang saat ini duduk di Senayan karena pada akhirnya, masyarakat Indonesia yang akan menanggung beban dari keputusan untuk menggunakan teknologi yang merupakan jalan buntu ini.”

Indonesia saat ini hanya memanfaatkan kurang dari 5% dari potensi energi terbarukan yang ada. Greenpeace menggaris bawahi kebutuhan akan kepemimpinan negara yang kuat untuk membuat peraturan akan penggunaan energi terbarukan secara massal. Sebagai perbandingan, China yang pada tahun 2005 mengimplementasikan Undang-Undang Promosi Energi Terbarukan, berhasil membawa negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia itu menjadi negara yang paling maju dan cepat dalam mengembangkan tenaga angin, dan sangat membantu China menurunkan tingkat emisi dengan sangat cepat.

“Meninggalkan investasi bahan bakar fosil dan nuklir untuk dialihkan pada  panas bumi, angin, dan matahari tidak hanya merupakan pilihan pintar untuk mengurangi emisi karbon dan risiko bencana ekologis, tetapi juga pilihan ekonomi yang pintar,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.

Organisasi Pendukung:

MANUSIA (Masyarakat Antinuklir Indonesia)

Greenpeace

Walhi

CSF (Civil Society Forum) on Climate Justice

PMB (Persatuan Masyarakat Balong)

Muria Institute

AM2PN (Aliansi Masyarakat Madura Pemerhati Nuklir)

SHI (Sarekat Hijau Indonesia)

MPTN (Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir)

Untuk informasi lebih lanjut:

Dian Abraham, MANUSIA, 0815-9487094

Nur Hidayati, Country Representative Greenpeace Indonesia, 081319809441

Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, 081311004640

Ali Akbar, Walhi, 0811735962

Dewa Tara, Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir, 0815-58858558

0 Comments:

Post a Comment