Oleh Nining Elitos *



Oposisi, sebuah kata yang pada bulan-bulan ini menjadi trend di masyarakat Indonesia khususnya di kalangan organisasi massa, dan politik semenjak Pemilu 2009. Oposisi yang memiliki padanan kata berseberangan dan melawan, adalah menunjukkan sikap tidak mau bekerja sama.

Oposisi yang berkembang di Indonesia menunjukkan pendidikan politik yang berjalan menuju kualitas yang baru. Politik yang terbuka dari massa rakyat menghadapi rezim penguasa. Namun, harus diwaspadai arah dari oposisi ini. Oposisi bisa menuju pada arah kompromi terhadap kekuasaan sehingga menukar kepentingan utama menjadi raihan posisi di dalam kekuasaan. Namun oposisi juga bisa menuju pada arah yang berlebihan, yakni menguatnya kekuatan oposisi untuk mengambilalih kekuasaan yang ada dan menyingkirkan penguasa yang dioposisi.

Kedua arah dari kekuatan oposisi tersebut memiliki kemungkinan sama besarnya, tergantung dari kekuatan apa dan siapa yang menjadi oposisi? Di sinilah yang seharusnya diperiksa lebih dalam dalam konteks saat ini.

Siapa dan untuk apa beroposisi?

Jawaban dari pertanyaan ini bisa dilihat dari para pengusung garis oposisi dan praktek politik yang dilakukan. Ini bisa kita kelompokkan sebagai berikut:

Pertama, oposisi para elit partai borjuis yang berada di parlemen. Oposisi ini berorientasi mendapat bagian kekuasaan di kabinet atau pemerintahan saja, tidak lebih. Bila terjadi (protes-protes) atau upaya menekan penguasa dengan membeberkan kesalahan yang ada, hanyalah satu upaya menaikan daya tawar dan mendapatkan jatah berkuasa. Ciri dari oposisi elit partai ini, selalu menunjukkan oportunisme dalam menyelesaikan masalah yang muncul. Massa rakyat yang dimobilisasi untuk mendukung penuntasan masalah hanya sebatas sebagai penggelembung suara dukungan dan alat tawar. Dan dalam mobilisasi massa selalu dengan kekuatan uang dan tidak sedikitpun memberikan pendidikan politik yang sehat, tetapi sebaliknya membodohkan rakyat.

Contoh dari oposisi elit ini adalah upaya penggalangan kekuatan untuk membongkar isu yang menjadi sorotan masyarakat luas. Seperti kasus BBM dan sekarang Century. Kalangan elit parpol borjuis sering juga menarik kelompok gerakan atau yang seolah-olah berada di garis gerakan, dengan mengajukan teori oposisi parlemen-jalanan.

Oposisi model seperti ini selalu berhenti pada reshuffle kabinet, seperti waktu isu BBM, atau kemungkinan (digantinya) Boediono sebagai wapres seperti isu sekarang.

Kedua, oposisi demokratis dari luar parlemen untuk mendukung parlemen. Sering kelompok ini dipelopori oleh intelektual atau pemimpin organisasi massa yang berpandangan bahwa tidak perlu diganti sistem atau penguasa negeri ini. Oposisi ini hanya kritis saja dan mendorong demokratisasi di pemerintahan. Kelompok seperti ini bisa saja bergabung dengan kelompok pertama di atas, atau dimanfaatkan oleh kelompok tersebut. Namun kepentingan dari kelompok ini, lagi-lagi masih sangat elitis.

Bahkan pada kelompok ini, bisa saja adalah kekuatan seolah-olah oposisi tetapi sebenarnya mereka adalah tim sukses penguasa saat kampanye tetapi tidak mendapatkan jabatan apapun saat sekarang. Sungguh inilah politik sakit hati atau oposisi sakit hati. Lagi-lagi ini sangat pragmatis kepentingannya dengan balut demokrasi dan oposisi.

Ketiga, oposisi yang diusung sebagai taktik dan strategi perlawanan terhadap rezim penguasa dan sekaligus terhadap sistem kapitalisme-neoliberalisme. Oposisi sebagai taktik bukanlah tujuan, karena tujuannya adalah mengganti sitem dan mengganti rezim penguasa. Mengganti sistem berarti menggantikan sistem kapitalisme-neoliberalisme menjadi sistem yang berbasiskan kepentingan nasional dan kelas pekerja, mengganti rezim berarti mengganti dengan pemimpin yang berasal dari rakyat, baik dari petani, buruh atau nelayan.

Sebagai taktik oposisi tidak sekedar dalam aksi-aksi pada momen politik tertentu, tetapi dipraktekkan dalam kerja-kerja organisasi massa atau organisasi politik. Organisasi massa seperti ormas petani, buruh, miskin kota, nelayan, mahasiswa dan perempuan, bisa menggunakan ruang-ruang negara (birokrasi/lembaga-lembaga tertentu) untuk masuk dan memajukan program politik organisasi. Praktek ini tidak mudah memang, karena efeknya bisa membuat petugas berbelok arah. Namun oposisi dengan masuk dalam sistem seperti ini dimaknai sebagai: melatih anggota organisasi massa menjadi pelaku (birokrasi) dengan benar, memperjuangkan tuntutan dan program dengan tepat serta konsisten, tidak menjadi tukang stempel pemerintah.

Kelompok oposisi seperti ini masih dipecah menjadi dua, yakni ingin merubah sistem negara dengan berbasis agama dan yang lainnya adalah berbasis nasionalis-kerakyatan/sosialis.


Ke mana oposisi?

Bila kita lihat secara mendalam, kelompok ketigalah yang memiliki masa depan dalam membangun Indonesia dengan taktik dan strategi oposisi karena bergerak dengan basis kekuatan massa serta kepentingan massa kelas pekerja. Kelompok pertama dan kedua adalah kelompok hanya berorientasi kekuasaan semata tanpa peduli kebijakan yang melatarbelakanginya, serta prosesnya sangat membodohkan. Variasi kedua kelompok oposisi ini sangat banyak dan penuh jebakan pada rakyat.

Sementara itu yang harus dilihat kembali adalah kemungkinan ke depan dalam peta kekuatan politik Indonesia. Kekuatan oposisi yang pertama dan kedua memiliki kemungkinan besar bergabung dalam satu kekuatan sebagai rezim penguasa, yang sangat kapitalistik. Perbedaan mereka bisa dengan cepat menyatu saat kekuatan rakyat yang sesungguhnya dan termanifestasi dalam kekuatan oposisi yang ketiga membesar. Namun pada situasi sekarang seharusnya menjadi saat yang tepat menyatunya kekuatan rakyat, karena pertentangan di antara elit tersebut sangat keras.

Namun jangan lupa, di kelompok oposisi yang ketiga juga belum menyatu dan membesar dengan baik. Ini ditunjukkan dari berbagai perbedaan dalam isu, aksi massa yang tidak menyatu, tidak menyatu dalam diskusi-diskusi. Untuk bisa membesarkan kekuatan rakyat ini diperlukan satu titik temu, yakni oposisi sebagai taktik strategi perlawanan dan anti kapitalisme-neoliberalisme, namun harus mengurangi perbedaan yang masih menganga. Dimulai dengan diskusi-diskusi membahas persamaan dan perbedaan. Membangun elan perlawanan yang sama, dan mensinergikan segala bentuk protes terhadap pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Pada titik ini, komunikasi politik antar gerakan dapat terjalin. Berbagai kebuntuan dalam membangun konsolidasi gerak, dalam skala politik dan serangan menjadi mumpuni, bagi tergesernya rezim, dan sistem yang mencengkram saat ini.

Setidaknya, arah gerakan oposisi, gerakan perlawanan rakyat yang saat ini mengarahkan ujung sasarannya ke istana negara, ke pusat tertinggi pengambilan keputusan, berarti kesamaan pandang dalam menyasar institusi tertinggi, akan terbantu dengan banyaknya konsolidasi dan ruang komunikasi antar gerakan rakyat.

Masalahnya, jika kita tidak konsisten melenceng dari arah tersebut, bergesernya tujuan politik semula dalam mengganti rezim dan mengganti sistem, tentu koreksi terbesar dalam sejarah gerakan perlawanan rakyat, yang sudah ditabuh, diperdengarkan kepada rakyat, dapat membawa kemandegan yang terus berulang.


* Penulis adalah anggota Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment