Oleh Joko Sumantri *


Dalam sebuah percakapan di sebuah film, seorang anak mendapat nasehat dari ayahnya, kira-kira begini: “Ingatlah anakku, ketika kau nanti menjadi seorang ayah jangan sekali-kali menangis menghadapi masalah sebesar apapun.” Si anak pun bertanya, “Kenapa?” Dan sang ayah menjawab, “Sebab dia adalah tempat berlindung bagi keluarganya. Ketika kesedihan melanda, di saat anak-anak dan istri menangis tersedu, seorang kepala keluarga menjadi tempat bersandar bagi mereka.”

Tidak bermaksud seksis tentu saja, namun pesan yang ingin disampaikan dari petik dialog film ini adalah, ayah atau kepala keluarga wajib tegar menghadapi situasi sulit apapun. Bayangkan saja jika si ayah ikut menangis tersedu-sedu, parade kesedihan tampak hambar, sebab lalu ke mana istri dan anak-anak mengadu jika yang diandalkan sebagai tempat bersandar pun ternyata sama tak berdayanya?

Sebagai “keluarga” Indonesia, kepala “keluarganya” tentu sang presiden. Merujuk pada petikan dialog di atas, segera tersimpulkan bahwa SBY sang presiden itu kurang memenuhi sebagai ayah atau kepala negara/pemerintahan yang baik. Apa sebab? Tak lain dari keluhannya selama ini. SBY terkesan bukan “ayah” yang tegar sebab justru kerap mencurigai “anak-anaknya” sendiri yang lagi rewel dan protes terus-terusan.


Tak kurang berbagai kosakata laiknya curahan hati (curhat) dilontarkan kepada berbagai pihak. Mulai dari kemungkinan dirinya menjadi sasaran pembunuhan, korban fitnah, rencana pemakzulan terhadap dirinya dan terakhir dipersamakan dengan kerbau. Semuanya disampaikan sendiri.

Mengenai keluhan terbaru, bahwa dirinya seakan-akan disamakan sebagai kerbau yang lamban dan gendut pada aksi memperingati 5 tahun 100 hari pemerintahannya, mengundang keprihatinan banyak pihak. Posisi sekelas presiden tentu tak laik mengomentari perihal kecil macam kerbau yang mengikuti aksi. Sehingga tak heran, komentar presiden memantik kritik banyak pihak. Apalagi di saat yang sama, tentang etika yang berkali-kali disampaikan SBY, ternyata berbanding terbalik dengan perilaku anggota dewan Partai Demokrat di rapat-rapat Pansus Bank Century.

Lucunya, seandainya SBY tak mengangkat-angkat soal kerbau ini, barangkali kehadiran kerbau dalam aksi 28 Januari kemarin hanyalah keunikan kecil yang segea lenyap dalam ingatan publik. Tapi begitu disampaikan, media tv maupun koran sontak kembali menampilkan “bintang panggung” sang kerbau di liputan-liputannya. Gambaran kerbau, lengkap dengan berbagai atribut dan tulisan “Sibuya” di badan kerbau, terpampang jelas di mata semua orang.

Dialog-dialog di televisi pun mengangkat perihal kerbau ini. Panelis-panelis non-pemerintah seperti mendapat amunisi untuk terus menyerang performa SBY yang berlandaskan politik citra. Bahkan ada yang berpendapat SBY telah melakukan salah tafsir menyebut kerbau pemalas, karena di sawah-sawah kerbau justru pekerja keras.


Ibarat menilai kedondong atau kacang dari kulitnya saja, rakyat kian menyadari bahwa apa yang dikerjakan SBY selama ini cenderung “kembang lambe” atau lips-service belaka. Pemerintahan SBY, meski lolos dari pemakzulan, jelas memiliki masalah laten. Yakni pudarnya kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintahan saat ini menangani berbagai persoalan.


Wibawa Turun

Seharusnya di masa kekuasaannya yang terakhir, SBY berpenuh perhatian pada keberhasilan kerja dengan ukuran-ukuran yang diterima oleh rakyat (dan tidak asal mengaku berhasil 100% menurut versi menteri-menterinya sendiri). Seandainya penulis pada posisi SBY, fokus tertuju pada pembuatan kebijakan yang populis sehingga tampil sebagai sosok presiden yang dikenal dan kemudian dikenang oleh rakyat.

Sebagai bagian dari bangsa yang sama, penulis tetap saja miris melihat kehadiran SBY di mana-mana didemo. Mestinya kehadiran presiden di manapun dalam lingkup nusantara ini dielu-elukan kehadirannya oleh rakyat. Realitasnya, selain didemo, kedatangan SBY malah identik dengan kesusahan rakyat karena jalan-jalan pasti ditutup, PKL diusir atau murid-murid SD dikerahkan untuk penyambutan semu seperti yang terjadi baru-baru ini di Palangka Raya.

Sementara berbanding terbalik dengan pengharapan rakyat akan ketegasan seorang presiden, SBY justru memperlihatkan penyikapan terhadap banyak kejadian yang mencerminkan kecengengan (dalam poster demonstran kerap tertera “presiden cengeng”). Meski berkuasa, SBY tetap ingin memposisikan dirinya sebagai korban. Dalam kasus penahanan Bibit-Chandra misalnya, SBY seperti tak punya daya di hadapan kejaksaan agung dan kepolisian yang kinerjanya penuh kritik.


Tak pelak, performa SBY belakangan hari dipastikan menurun tajam dibanding saat-saat pertama terpilih. Performa menurun berimbas pada kewibawaan yang turun pula. Jika situasi ini tidak diperbaiki, meskipun tetap aman menjabat sebagai orang nomor satu, posisi terhormat ini tak lagi “dihormati” oleh rakyatnya sendiri.


Kasus-kasus ribuan massa merangsek ke tahanan polisi menghakimi penjahat atau sebaliknya membebaskan sosok teraniaya (kasus di NTB dan Jatim) akan terus menyeruak dan mungkin kian marak. Juga bagaimana ibunda bayi malang Bilqis yang memilih memobilisir bantuan masyarakat daripada mengharap peran pemerintah semakin menjadi opsi popular. Artinya alih-alih ada “makhluk” bernama pemerintah, namun “makhluk” ini bukan lagi tempat sandaran, perlindungan dan pengharapan.


Ketidakpercayaan terhadap SBY bermetamorfosa ketidakpercayaan yang meluas pada institusi negara, terutama pranata hukum (pengadilan dan kepolisian). Inilah apa yang disebut situasi “anarkhistis,” situasi tanpa negara!


Banyak Kesempatan

Masih cukup tersedia ruang bagi SBY memperlihatkan kemampuannya. Modal yang dipunyai SBY diniliai cukup sekedar melintasi beragam keruwetan. Pertama, modal keterpilihan dalam pemilu kemarin yang cukup fantastis. Kedua, koalisi pemerintah yang terlalu besar meski didera riak-riak. Ketiga, kekuatan di luar koalisi pemerintah yang belum cukup kuat menggoyang pemerintahan.


Namun, SBY tak dapat cukup bersandar pada modal-modal ini tanpa disertai kebijakan memadai. Dunia politik memiliki dinamikanya sendiri sehingga modal yang tergenggam erat sekalipun bisa tak berguna.


Pertama, SBY harus mencermati tuntutan-tuntutan yang sejauh ini berkembang di masyarakat dan mulai meresponnya. Tidak cuma persoalan-persoalan di ranah hukum dan korupsi, tapi juga problem nyata yang dihadapi kaum buruh (perihal kepastian kerja dan upah rendah), tani (pupuk mahal dan harga jual hasil pertanian rendah) dan nelayan (teknologisasi penangkapan ikan dan pengkaplingan laut).


Terhadap isu CAFTA yang menimbulkan histeria banyak pihak misalnya, alangkah bijak dan pasti direstui rakyat jika SBY segera bersikap untuk menanggalkan (atau minimal menunda) pemberlakuannya. Isu ini terlalu besar sekedar ditangani menteri perdagangan.


Kedua, tidak perlu eman pada siapapun yang terlibat kecurangan, termasuk mega kasus Bank Century yang diduga melibatkan Boediono dan Sri Mulyani. Bahkan sebelum ada status hukum tetap yang dikenai pada dua pejabat ini, SBY bisa memaksa mereka untuk mengundurkan diri sebelum dipecat. Toh, jabatan menteri atau wapres adalah jabatan politik yang tak terkait penetapan status hukumnya oleh pengadilan.


Jika minimal dua langkah ini saja diambil oleh SBY, niscaya kerbau atau binatang macam apapun tak perlu diikutsertakan dalam demo-demo.


* Penulis adalah penggiat pada Perhimpunan Rakyat Pekerja, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment