Oleh Andi Bandullang *


Beberapa hari ini kita dikagetkan dengan tindakan aparatur negara yang melarang penerbotan buku. Praktek ini merupakan perlakuan yang sangat tidak wajar dalam sebuah negara yang digembar-gemborkan sebagau sebuah negara yang demokratis.

Pemerintahan malah melakukan fitnah kepada penulis buku sebagai penyebar fitnah, seperti yang dialami oleh buku karangan Aditjondro. Seharusnya apabila pemerintahan tidak sepakat dengan buku tersebut maka pemerintah harus menulis buku yang sama, bukan menggunakan kekuasaannya untuk membredel buku.

Dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dimana kebebasan dijamin baik dalam konstitusi maupun dalam undang-undang yang lain, apalagi sebuah bangsa yang sangat menghargai sebuah karya ilmiah, maka pembredelan semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran konstitusi dan pelanggaran terhadap nilai-nilai ilmiah.

Kebebasan Berpendapat dan Negara Demokrasi

Negara ini pernah dikuasai oleh sebuah rezim yang sangat otoriter dan tidak memberikan jaminan terhadap kebebasan berpendapat. Rezim tersebut kemudian digantikan oleh sebuah pemerintahan yang akan mengantarkan negara ini melewati masa-masa sulit transisi demokrasi, dimana pertarungan kekuatan-kekuatan lama dengan kekuatan yang menginginkan perubahan.

Pasca kekuasaan otoriter, hal yang paling penting dilakukan adalah mengobati trauma otoritarian yang selama ini membungkam kebebasan berpendapat. Mengingat kondisi yang seperti ini maka pemerintahan yang terbentuk pasca kekuasaan otoriter adalah kekuasaan yang membuka seluas-luasnya ruang demokrasi yang nantinya akan berujung pada sebuah muara perbaikan di segala lini.

Demokrasi ditandai dengan kebebasan setiap individu maupun kelompok untuk menyampaikan apa yang dipikirkannya baik lisan maupun tulisan. Hal ini bertujuan untuk membangun sikap kritis masyarakat terhadap penguasa. Semakin sering masyarakat melakukan kritik maka semakin cepat kematangan masyarakat tersebut untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan yang nantinya akan menentukan nasib mereka.

Sehingga proses lahirnya kebijakan adalah sebuah proses apa yang selama ini disebut dengan kontrak sosial, dimana masyarakat juga dapat mengintervensi kebijakan yang lahir.

Kondisi sekarang tidak ubahnya seperti zaman orde baru yang telah banyak menutup mata masyarakat dengan banyak membredel terbitan-terbitan, buku-buku yang dianggap PKI. Kondisi yang sama tentunya dialami juga oleh buku karangan John Roosa yang dibredel karena tidak mencantumkan nama PKI di belakang G 30 S.

Artinya ini adalah sebuah langkah awal dari sebuah rezim otoriter, dimulai dari penumpulan kemampuan berpikir masyarakat. Masyarakat dibiarkan bodoh dengan mengkonsumsi buku-buku yang hanya diterbitkan dan disetujui oleh pemerintah yang artinya tidak akan ada pembanding.

Sangat disayangkan, karena penolakan terhadap pelarangan tersebut tidak ditanggapi serius oleh gerakan pro demokrasi, padahal pelarangan adalah sebuah tindakan yang mengarah pada otoritarianisme. Hari ini boleh jadi hanya buku yang dibredel, besok atau lusa pelaku gerakan prodemokrasi mulai dikriminalisasikan seperti yang terjadi pada kasus Bibit dan Chandra.

Kebebasan Berpendapat dan Pelarangan Buku

Lalu apa yang terjadi apabila buku sebagai salah satu tempat masyarakat mendapatkan informasi dan menuangkan pendapat-pendapat itu dilarang? Itu artinya ada ancaman bagi demokrasi dalam negara tersebut.

Buku tidak hanya sebagai tempat mendapatkan informasi. Buku diakui tidak hanya oleh masyarakat Indonesia tapi juga oleh seluruh masyarakat dunia sebagai sesuatu yang mengandung nilai-nilai ilmiah. Buku dinilai memuat data-data dan fakta yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehingga ketidaksepakatan terhadap sebuah buku yang dijawab dengan sebuah pelarangan, tidak hanya melanggar kebebasan sebagai syarat negara demokrasi, tapi juga melanggar nilai-nilai ilmiah.

Jika tahap awal dari demokrasi adalah bagaimana mengobati trauma masyarakat dengan membiasakan mereka mengkritik dengan media apapun termasuk buku, dan dalam prosesnya terjadi pelarangan terhadap buku, itu artinya menutup akses masyarakat untuk mengetahui suatu kebenaran. Maka sesungguhnya pemerintah ingin mematikan proses demokrasi yang sedang berlangsung. Apabila pemerintah akan mematikan sebuah proses demokrasi, artinya akan membuka celah bagi sebuah struktur otoriter untuk kembali berkuasa. Pada titik ini gerakan prodemokrasi ditantang kembali untuk melawan kebangkitan rezim Orde Baru yang membungkam suara rakyat melalui pelarangan buku.


* Penulis adalah anggota Komite Perjuangan Pemuda Makassar, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment