Oleh Muhammad Daud Berueh *


Tahun 2009 telah berakhir, namun belum ada satu pun kasus-kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituntaskan oleh negara. Kasus-kasus tersebut sampai saat ini masih terhenti proses hukumnya di Kejaksaan Agung.


Kasus-kasus yang masih terhenti di Kejaksaan Agung adalah Kasus Trisakti, Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), Kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Talangsari, Lampung 1989 serta Kasus Penculikan dan Penghilangan Aktivis 1997-1998. Padahal dalam kasus tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sebagai lembaga yang sah sesuai dengan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memiliki kewenangan menentukan dugaan ada atau tidaknya pelanggaran berat HAM dalam sebuah peristiwa tertentu.


Kasus-kasus tersebut sesuai dengan hasil penyelidikan, Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran berat HAM. Berkas hasil penyelidikannya sudah dikirimkan ke Kejaksaan Agung, namun hingga saat ini Kejaksaan Agung menolak untuk melakukan penyidikan dengan berbagai macam alasan, salah satunya harus menunggu terlebih dahulu Pengadilan HAM ad hoc.




Minimnya Komitmen Jaksa Agung


Dalam beberapa kali pertemuan yang digelar antara Jaksa Agung, Komnas HAM dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak ada satu pun hasil yang kongkrit untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Bahkan Kejaksaan Agung sudah beberapa kali mengembalikan berkas kasus pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM. Dengan alasan klasik, di antaranya penyelidikan Komnas HAM masih belum lengkap, harus menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu, masih dikaji terlebih dahulu dan alasan yang tidak relevan lainnya.



Dalam hal ini seharusnya Kejaksaan Agung menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-V/2007. MK telah memutuskan dalam hal penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menegaskan tentang usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus didasari oleh hasil penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan oleh Komnas HAM (menentukan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran berat HAM) dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Tidak ada alasan hukum bagi Kejaksaan Agung untuk menolak penyidikan setelah Komnas HAM menyerahkan berkas hasil penyelidikan.




Rekomendasi DPR


DPR periode 2004-2009 melalui Panitia Khusus (Pansus) penanganan pembahasan atas hasil penyelidikan penghilangan orang secara paksa telah menunjukkan komitmennya terhadap penegakan HAM di akhir masa bhaktinya. Dalam hal ini DPR telah merekomendasikan empat hal kepada presiden, sebagai berikut:


Pertama, merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan kepada presiden serta segenap Institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Ketiga, merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang masih hilang. Keempat, merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.


Rekomendasi tersebut merupakan sebuah harapan baru bagi tegaknya HAM di Indonesia dan memecah kebuntuan penyelesaian kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis yang terjadi di tahun 1997-1998. Rekomendasi tersebut sudah diserahkan secara formal oleh Ketua DPR kepada Presiden Republik Indonesia. Kini hanya tinggal menunggu komitmen dari presiden untuk menjalankan rekomendasi tersebut.




Pesan korban


Sesuai dengan prinsip hak korban pelanggaran berat HAM, yaitu hak korban atas kebenaran, hak korban atas keadilan, hak korban atas reparasi/pemulihan (kompensasi, rehabilitasi dan restitusi) dan hak korban atas jaminan tidak terulangnya kembali peristiwa tersebut di masa depan. Pada korban hanya ingin mendapatkan keadilan. Sebagaimana telah disampaikan presiden ketika pidato pelantikannya di Gedung DPR/MPR RI, yang menjadi program esensial lima tahun Republik Indonesia ke depan adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan. prosperity, democracy dan justice.


Para korban ingin adanya keadilan di negara ini. Sudah banyak penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh korban. Keadilan yang korban inginkan adalah pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan diadili dan dihukum sesuai dengan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan korban diberikan pemulihan (kompensasi, rehabilitasi dan restitusi) secara tepat, cepat dan layak oleh negara.


Menyongsong 2010 jangan ada lagi manusia yang ditangkap, ditahan, dipenjarakan serta dihilangkan secara sewenang-wenang. Penegakan hukum harus dikedepankan dengan berdasarkan keadilan. Selamat merayakan tahun baru, mudah-mudahan akan selalu ada harapan dan impian baru untuk Indonesia yang lebih baik ke depan sesuai dengan cita-cita bersama yaitu keadilan dan kesetaraan dalam segala sektor; pendidikan, hukum, ekonomi, sosial dan budaya agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan beradab.




* Penulis adalah Staf Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban (KONTRAS) dan Sekretaris Ikatan Korban Tanjung Priok (IKKAPRI), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

1 Comment:

  1. Anonymous said...
    From the moment the first Mercedes-Benz CLS four-door "coupe" was introduced to the public, other German luxury automakers hit the drafting board. According to the German auto experts at AutoBild, Audi is just over a year away from unleashing its own cleverly packaged sedan.
    carwadontester981

Post a Comment