Oleh : Enung Wiwin*


“Saya harus menebus obat dua juta rupiah, baru boleh dirawat dan dioperasi lagi, padahal saya memakai Jamkesmas dan sekarang tidak pegang duit sepeserpun habis buat periksa kemarin, makanya saya kabur pulang,” ujar Neng ketika mengadu persoalan sepulang dari RS E Majalaya. Ia adalah salah satu warga di Kabupaten Bandung yang mengalami sakit kelenjar getah bening dan harus dioperasi.

Kasus di atas hanya satu contoh dari sekian banyak permasalahan yang ada di masyarakat. Banyak kalangan masih belum mengetahui bahwa peserta Jamkesmas ditanggung seluruh biaya berobatnya oleh negara melalui APBN. Artinya pemegang kartu Jamkesmas mendapatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis tanpa biaya apapun. Bahkan pengetahuan ini juga tidak dimiliki oleh perangkat desa atau pegawai pemerintahan.

Akibat ketidaktahuan atas informasi tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif. Salah satunya seperti contoh di atas, dimana peserta Jamkesmas tetap menanggung biaya, sementara peserta berasal rakyat miskin yang berpenghasilan sangat rendah.

Di sisi lain ada unsur korupsi atas penggunaan dana Jamkesmas oleh rumah sakit. Maka sudah seharusnya dievaluasi dengan benar atas pelaksanaan dan penyaluran dana Jamkesmas. Selain korupsi tentu ada unsur pemerasan di dalamnya. Hal ini harus dijadikan koreksi atas pelaksanaan atas program ini, bukan dihilangkan bahkan harus diperbaiki dan diperluas kegunaannya.

Koreksi lainnya adalah terdapat data yang cukup mengejutkan bahwa PAD Kabupaten Bandung tahun 2009 dan 2010 yang terbesar berasal dari pajak rumah sakit. Sikap pemerintah yang melegalkan bahwa biaya kesehatan atau pajak kesehatan dijadikan PAD, sama artinya dengan mengkomersilkan orang sakit.

Di tengah kekurangjelasan informasi program Jamkesmas ke masyarakat serta masih banyaknya penyimpangan pelaksanaan program tersebut, negara dalam hal ini DPR RI justru mengesahkan RUU BPJS yang menjadi polemik besar di masyarakat.

Jamkesmas yang dalam konteks prinsipil cukup bagus, karena adanya jaminan kesehatan masyarakat secara gratis dari negara, diaborsi begitu saja oleh kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Karena setelah ditelaah, UU BPJS yang merupakan undang-undang pelaksana dari UU SJSN yang tidak menjamin pelayanan kesehatan yang gratis dan tanpa batas.

Satu kenyataan bahwa wakil rakyat tidak memahami akan adanya kebutuhan mendasar bagi masyarakat untuk kesehatan. Sebaliknya kesehatan dijadikan obyek untuk menyedot uang masyarakat yang sakit. Bila kita baca secara utuh UU SJSN, akan ada syarat untuk mengikutinya, seperti iuran, dan juga keharusan mendaftar. Sementara tentang ukuran orang miskin, iuran buruh/pekerja dan pengusaha belum jelas berapa besarannya. Jangan-jangan akan lebih besar dari jamsostek sekarang. Maka wajar saja, penolakan agar lebih jelas isi BPJS menjadi penting, agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, memberi mimpi-mimpi kepada rakyat.

Rakyat akan sepakat dan membutuhkan jaminan sosial karena merupakan kebutuhan hidup mendasar. Namun karena rakyat sudah banyak membayar segala jenis pajak, seharusnya kesehatan diberikan gratis oleh pemerintah melalui program yang tidak diskriminatif dan bebas iuran. Bukan sebaliknya, program berkedok jaminan sosial tetapi pada kenyataannya berwujud asuransi yang berbasis iuran.

Seharusnya model Jamkesmas yang sudah ada diperbaiki dan dikontrol dengan baik sehingga benar-benar memberikan jaminan kesehatan yang gratis untuk rakyat, bukan justru sebaliknya.


* Penulis adalah adalah Pengurus PPB KASBI - PT. Wintai Garment Kabupaten Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment