Oleh: Oki Hajiansyah Wahab*

Pengalaman berbagai konflik agraria seringkali berakhir dengan berbagai kisah terabaikannya hak-hak warga negara. Kondisi ini menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan rakyat di semua aspek baik sosial-ekonomi, politik maupun budaya. Dalam banyak kasus, Konflik agraria yang dialami rakyat seakan menjadi legitimasi bagi pengabaian hak-hak konstitusional warga negara.

Demonstrasi ribuan warga Tanah Merah, Plumpang Jakarta Utara yang menuntut diberikannya dokumen kependudukan membuktikan bahwa konflik agraria senantiasa berimplikasi pada persoalan sosio-yuridis. Warga Tanah Merah yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan sekalipun mengalami perlakuan diskriminasi. Nasib warga Tanah Merah segera mengingatkan saya pada nasib masyarakat Moro-Moro, Register 45, Kabupaten Mesuji Lampung yang juga mengalami nasib serupa kehilangan hak-hak kependudukannya selama belasan tahun akibat konflik agraria.

Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup tanpa dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan yang dimaksud adalah bisa berupa kartu keluarga, KTP, akta pencatatan sipil, dan surat keterangan kependudukan. Dokumen kependudukan sesungguhnya adalah akses untuk mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Tanpa dokumen kependudukan dipastikan akan menghambat seseorang untuk mengenyam hak asasinya yang lain.

Secara singkat tulisan ini mencoba memaparkan beberapa kesamaan dan juga perbedaan kondisi warga Tanah Merah dan Warga Moro-Moro yang berakibat pada hilangnya hak-hak kependudukan mereka. Dua potret masyarakat ini menjadi cerminan implikasi sosio-yuridis dari konflik agraria yang mereka hadapi. Beberapa kesamaan tersebut di antarannya: Pertama, keduanya sama-sama dianggap menetap di wilayah ilegal. Warga Tanah Merah tinggal menempati lahan seluas 83 hektar dari total 162 hektar milik PT Pertamina. Sementara warga Moro-Moro menempati 2.800 hektar dari total 43.100 hektar kawasan Hutan Register 45 yang pengelolaannya dikuasai oleh pihak swasta.

Kedua, hampir 40 tahun warga Tanah Merah tinggal di daerah tersebut namun tetap tidak diakui Pemprov DKI Jakarta. Saat ini diperkirakan terdapat 5.100 kepala keluarga (KK) atau sekitar 27 ribu jiwa yang tinggal di daerah tersebut. Serupa, Warga Moro-Moro yang telah tinggal selama 14 tahun juga tidak mendapatkan pengakuan pemerintah daerah. Menurut Sensus Penduduk 2010 terdapat lebih dari 1100 kepala keluarga dan 3359 jiwa yang tinggal di wilayah tersebut.

Ketiga, hampir semua pembangunan fasilitas umum di wilayah Tanah Merah dibuat secara swadaya oleh warga. Di Tanah Merah disebutkan terdapat 12 masjid, 15 mushala, 11 gereja, dan 14 Posyandu. Begitu juga dengan Warga Moro-Moro yang berswadaya membangun 12 mushala, 3 gereja, 4 pura, 2 PAUD, 3 SD dan 1 SMP. Suatu upaya yang luar biasa dari mereka yang termarjinalkan.


Meskipun sama-sama dianggap “penduduk ilegal”, sama-sama dianggap menempati “wilayah ilegal,” tetap saja kita tidak bisa melakukan simplifikasi bahwa dua kasus ini adalah sama persis. Selalu ada yang beda ketika kita mencoba membandingkan dua persoalan yang hampir sama, seperti layaknya membandingkan bayi kembar, pastilah selalu ada yang membedakannya.

Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut; Pertama ,meskipun warga Tanah Merah dan Warga Moro-Moro dianggap “ilegal” tapi Warga Tanah Merah selalu terlibat dalam setiap proses Pemilu. Berbeda dengan Warga Moro-Moro yang selalu kehilangan hak politiknya sejak tahun 2004.

Kedua, perlakuan pemerintah daerah, meskipun sama-sama dikategorikan “warga ilegal,” warga Tanah Merah dikabarkan tetap mendapatkan hak-haknya seperti hak mendapatkan akses layanan kesehatan dasar meskipun minimalis. Di Tanah Merah terdapat Posyandu yang melayani kesehatan ibu dan anak. Pemkot Jakarta Utara juga telah menerbitkan 400 lebih akta kelahiran bayi yang baru lahir di Tanah Merah. Nasib lebih tragis dialami oleh Warga Moro-Moro dimana status “ilegal” menyebabkan mereka tidak mendapatkan layanan kesehatan dasar seperti Posyandu apalagi mendapatkan akta kelahiran. Padahal ratusan anak telah lahir dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.

Ketiga, sikap pemerintah daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan, tidak akan menelantarkan nasib ribuan warga Tanah Merah. Media melansir Pemprov berusaha segera mencarikan solusi terbaik dengan melibatkan sejumlah instansi terkait untuk memberikan dokumen kependudukan. Meskipun baru sebatas pernyataan hal tersebut menunjukkan masih ada komitmen pemerintah daerah untuk tidak menelantarkan warganya karena menyadari kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi warganya. Hal yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah yang terus mengabaikan Warga Moro-Moro.


Hak Atas Dokumen Kependudukan

Hak atas kewarganegaraan dan dokumen kependudukan secara konseptual termasuk ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, namun berdampak pada penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat fungsi dari dokumen kependudukan adalah sebagai bukti kepastian hukum atas status kewarganegaraan seseorang.

Konstitusi kita secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia/hak-hak asasi manusia. UUD 1945 secara tegas melarang berbagai tindakan diskriminasi. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Sedangkan Pasal 28I ayat (5) menegaskan penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka perlindungan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Berbagai peraturan di bawahnya seperti Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.

Dalam konteks hak atas dokumen kependudukan Pasal 2 huruf a Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan. Dokumen dimaksud bisa berupa kartu keluarga, KTP, akta pencatatan sipil, dan surat keterangan kependudukan. Dengan demikian hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan (right to obtain civil document) adalah hak bagi setiap warga negara yang implikasinya adalah memberikan beban dan kewajiban kepada pemerintah untuk memenuhinya.

Beberapa waktu lalu muncul Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 471.13/2335/SJ tanggal 22 Juni 2011 yang ditujukan kepada Kepala Daerah di seluruh Indonesia memberikan himbauan untuk melakukan pendataan terhadap bagi penduduk yang bertempat tinggal di lokasi milik orang lain, menempati lahan kosong milik BUMN atau perusahaan swasta, serta orang terlantar. Surat Edaran ini sesungguhnya merupakan lanjutan dari Peraturan Mendagri No 11 Tahun 2010 tentang Pedoman Pendaftaran dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan.

Gamawan Fauzi kembali mengingatkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dikatakan, setiap penduduk memiliki hak untuk memperoleh dokumen kependudukan, seperti kartu keluarga, KTP, akta pencatatan sipil, dan surat keterangan kependudukan. Lewat Surat Edaran ini penduduk yang dikategorikan sebagai warga “ilegal,” dimungkinkan untuk memiliki KTP elektronik dengan harapan seluruh penduduk Indonesia akan terdata dengan baik.

Persoalannya kemudian adalah para pengambil kebijakan lebih terpaku pada aspek prosedural dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Demikian pula dengan pasal-pasal lainnya yang juga mengatur kewajiban penduduk untuk melapor ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan. Pendaftaran penduduk juga meliputi domisili atau tempat tinggal penduduk. Di sinilah timbul masalah bagi penduduk yang dianggap tak jelas tempat tinggal atau domisilinya. Tanah dan KTP seringkali dimaknai dalam satu konstruksi berpikir yang sama. Inilah yang dialami oleh Warga Tanah Merah dan juga Moro-Moro di Lampung.

Sikap apriori dan pengabaian yang dilakukan berdasarkan prasangka bahwa jika para “penduduk ilegal” diberikan KTP maka mereka akan mengakui kepemilikan tanah atau wilayah yang ditempati sesungguhnya adalah prasangka yang menunjukkan kesesatan nalar dan pemahaman hukum yang sempit. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi hal tersebut sama dengan penalaran, “Jangan berikan STNK, nanti dia mengakui itu motor miliknya.”

Gamawan Fauzi juga telah mengingatkan para kepala daerah bahwa pemberian identitas kependudukan, tentunya tidak serta-merta bisa dijadikan sebagai dokumen pendukung bukti penguasaan dan pemilikan lahan. Pemberian dokumen kependudukan hanya berfungsi sebagai bukti domisili sementara sampai dengan penyelesaian status penduduk di lokasi tempat tinggal yang bersangkutan.

Pernyataan Gamawan tentunya perlu diapresiasi karena memiliki perspektif perlindungan hak-hak warga negara yang lebih luas. Hal senada juga disampaikan Suma Mihardja, Koordinator Tim Percepatan Pembuatan Akta Kelahiran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan tidak ada alasan bagi Kemendagri untuk tidak memberikan layanan dokumen kependudukan kepada penduduk yang mendiami lahan BUMN atau lahan kosong. Terlebih dalam Undang-Undang Perlindungan Anak setiap anak berhak untuk mendapatkan akta kelahiran gratis.

Data KPPPA menunjukkan 50 juta dari 78 juta anak Indonesia yang berusia di bawah 18 tahun tidak memiliki akte kelahiran. Data tersebut diperkuat hasil penelitian Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menyatakan dari tahun 2007 hingga kini sekitar 11.700.000 anak usia di bawah lima tahun (balita) belum memiliki akta kelahiran di Indonesia. Hal ini berarti 56,4% warga negara dalam kategori anak belum memiliki catatan otentik terkait asal usul dan jati dirinya.

Sebagai upaya mengatasi berbagai persoalan “penduduk ilegal” yang belum bisa mendapatkan KTP lantaran persoalan domisili tersebut perlu adanya terobosan hukum dan kemauan politik penyelenggara pemerintahan. Pemerintah lewat Dinas Dukcapil bisa menerbitkan Surat Keterangan Orang Terlantar (SKOT). Meskipun masa berlaku SKOT hanya satu tahun. SKOT merupakan salah satu syarat mengurusi KTP. Pemerintah juga bisa mengindukkan penduduk di daerah-daerah yang dikategorikan bermasalah ke desa-desa resmi terdekat.

Prinsipnya sepanjang ada komitmen untuk melindungi warganya maka hal-hal yang teknis pastinya bisa diatasi. Bukankah hal-hal yang teknis semestinya mengabdi pada hal-hal yang substansif. Pertanyaannya kemudian apakah pemerintah daerah memiliki komitmen perlindungan warganya dan apakah hukum dibuat untuk membahagiakan rakyatnya atau justru sebaliknya. Semoga kondisi yang dialami oleh Warga Tanah Merah dan Moro-Moro adalah kasus terakhir yang menimpa Warga Negara Indonesia.


* Penulis adalah peminat masalah hukum, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment