Oleh : Jerry Indrawan Gihartono*

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ketiga kalimat di atas bukan kalimat biasa, tetapi dihasilkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan yang tinggi oleh kaum muda saat itu. Miris sebenarnya ketika mengetahui bahwa ketiga kalimat tersebut mungkin sudah dilupakan oleh kaum muda Indonesia yang sekarang sudah beranjak hedonis dan melupakan akar sejarah bangsanya sendiri. Ketika itu, 28 Oktober 1928 di Kramat Raya 106, Jakarta beberapa puluh anak muda berikrar tentang bangsa dan tanah air yang satu dan tentang bahasa persatuan yang harus dijunjung. Peristiwa itu dijadikan simbol yang diperlukan bagi suatu tujuan tertentu yakni peneguhan integrasi nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Pemaknaan Kembali Persatuan dan Kesatuan

Sangat menarik untuk melihat peringatan 83 tahun Sumpah Pemuda tahun 2011 ini tidak hanya dari konteks selebrasinya saja. Kita terus menerus dibuai oleh konsep persatuan dan kesatuan, yang melandasi adanya Sumpah Pemuda, secara baku dan formalistik belaka. Kita tidak memaknai persatuan dan kesatuan itu sebagai unsur inheren yang mampu mempersatukan bangsa, sekaligus mengantar bangsa ini menuju masyarakat madani. Perlu dicanangkan sebuah rekonstruksi budaya persatuan dan kesatuan Sumpah Pemuda agar tidak hanya menjadi simbol selebrasi kebangsaan semata.

Trisakti Bung Karno mengajarkan kita untuk berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Tetapi sebenarnya, tidak pernah ada korelasi antara kepribadian budaya bangsa dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang diinisiasikan ketika Sumpah Pemuda 83 tahun yang lalu. Konsep persatuan dan kesatuan hanya digunakan secara terpisah, parsial, dan berkala. Mengapa? Karena hanya dipakai ketika berjuang melawan Belanda dan Jepang dulu untuk merebut kemerdekaan. Ketika kemerdekaan diraih, persatuan dan kesatuan berubah menjadi sebatas konsep kaku dan normatif yang hanya diharapkan untuk menjaga agar bangsa ini tidak terpecah-pecah, seperti kesangsian banyak sarjana-sarjana barat dulu ketika melihat sebuah negara yang bernama Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Namun di situ masalahnya ketika semangat bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu hanya dimaknai secara praktis, politis, dan degeneratif. Maksudnya adalah, selama ini esensialitas dari konsep persatuan dan kesatuan cenderung digunakan hanya untuk kepentingan-kepentingan praktis yang bertendensikan politis. Sumpah Pemuda memang simbol yang diperlukan. Namun selama ini penerapannya banyak yang melenceng dari sasaran. Persatuan dan kesatuan hanya menjadi obsesi pemerintahan Soeharto. Namun, upaya untuk sampai ke arah itu, hanya sebatas retorika dan ketentuan formal. Malahan, atas nama persatuan dan kesatuan rezim otoriter Soeharto melahirkan produk undang-undang subversif yang bisa menghilangkan nyawa manusia dan mengancam kekayaan kultural bangsa.

Kondisi ini sendiri diperparah dengan ketidakmampuan negara untuk mengatur rakyatnya. Kita lihat banyak sekali gerakan anti pemerintah yang muncul sebagai jawaban dari lamban dan tidak efektifnya pemerintahan SBY-Budiono. Pemuda adalah elemen masyarakat yang paling banyak turun ke jalan memperjuangkan nasibnya. Hal ini sebagai akibat tidak adanya perhatian pemerintah terhadap kaum muda, sehingga kaum muda berjuang ke jalan untuk menyalurkan aspirasinya melawan rezim yang tak berpihak pada rakyat.

Rekonstruksi Indonesia

Saya melihat persatuan dan kesatuan bangsa kita tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan perkembangan modernisasi yang sangat cepat ini. Ini bukti gagalnya pemerintah merumuskan sebuah konsep kebangsaan yang dapat diterima semua komponen masyarakat. Nyatanya, kelakuan pemerintah malah menjadi pelecut kemarahan rakyat, seperti yang terjadi di Papua, Aceh, Ambon, sampai daerah-daerah perbatasan seperti Tanjung Datu dan Camar Bulan.

Dengan tidak mengesampingkan kebudayaan asli bangsa, persatuan dan kesatuan di Indonesia harus terseminasikan secara integral dan holistik. Hal ini menciptakan sebuah konsep nasional, yang terdiri dari kombinasi-kombinasi akulturatif kearifan lokal di seluruh Nusantara Indonesia, sehingga layak disebut kebudayaan nasional yang lebih generatif.

Persatuan dan kesatuan nasional yang berlandaskan pengakuan dan perkembangan budaya bangsa ini harus menjadikan dirinya sebagai benteng utama untuk mengatasi masalah-masalah yang mengakar di Indonesia, seperti ancaman fundamentalisme agama, neoliberalisasi, sampai bahaya laten terbaru bangsa kita: korupsi. Ia harus mampu hidup dan tetap wajib menjadi panduan bangsa Indonesia menghadapi pengaruh globalisasi dunia yang semakin hari semakin menerabas batas-batas sosial budaya.

Persatuan dan kesatuan harus mampu bergerak menjauhi pemahaman lamanya ketika Sumpah Pemuda dulu. Memampukan dirinya untuk terus bergerak dan melangkah ke medan perang yang baru, yaitu globalisasi. Peran pemerintah harus nyata dan terlihat dalam konteks ini, bukannya terkesan cuci tangan dan menutup mata, serta menyerah pada kartel-kartel asing yang menggerogoti setiap lini kehidupan bangsa.


* Penulis adalah Kepala Divisi Ekonomi Politik, Koalisi Persatuan dan Kesatuan (KPK), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment