Oleh : Fitriyanti*


Setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak. Demikian penggalan kalimat UUD 1945. Negara berkewajiban menjalankan amanat tersebut. Setiap tahun, kita selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Tanggal yang diambil dari lahirnya sang Bapak Pendidikan kita yaitu, Ki Hajar Dewantara. Namun saat ini semangat pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, masih jauh panggang dari api. Ada apa dengan pendidikan di Indonesia?

Kebutuhan memperoleh pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar. Mulai dari sejak usia dini, anak sudah diperkenalkan pada dunia pendidikan. Banyak lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan keunggulan dalam proses mendidik, seperti metode cepat dalam melakukan penghitungan matematika. Namun memang tidak semua lapisan masyarakat, mampu untuk menjangkaunya. Bagi sebagian orang tua, dengan menyekolahkan anaknya di sekolah saja sudah cukup untuk mendapatkan pendidikan.

Menjamurnya peran lembaga pendidikan di luar sekolah, seperti pusat-pusat bimbingan belajar telah menyeret dunia pendidikan ke dalam dunia bisnis. Biaya yang ditawarkan pun bersaing. Berdasarkan fakta tersebut, muncullah suatu keresahan dan pertanyaan besar, apakah peran dari lembaga pendidikan formal (sekolah), sudah tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas terhadap anak didiknya?

Bagi masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah, untuk mendapatkan akses pendidikan formal atau sekolah memerlukan perjuangan yang besar. Harapan untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan sangatlah besar. Mereka mempunyai cita-cita agar anak-anak mereka mampu mempunyai kehidupan yang lebih layak. Bersekolah adalah salah satu upaya untuk meningkatkan martabat dan mengatasi kebodohan.

Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia belum mampu menjawab masalah yang dihadapi oleh bangsa, yaitu kebodohan dan kemiskinan. Dapat dilihat dengan jelas bahwa ada sebuah keberagaman kemampuan. Keberagaman tersebut adalah terkait dengan latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, daya serap, dan lain sebagainya. Faktor lain yang mempengaruhi juga adalah fasilitas tempat mereka belajar. Akses mereka mendapatkan akses informasi, teknologi, serta kemampuan metodologis guru-guru. Sungguh hal ini tidak dapat disamaratakan, dan belum saatnya pemerintah untuk menerapkan standarisasi pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai kelulusan.


Masalah Pendidikan di Indonesia

Selain pendidikan sudah dijadikan lahan bisnis, dalam sistem pendidikan di Indonesia menerapkan ujian nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan. Hal ini didukung oleh hasil kajian Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (2005) yang berpendapat bahwa ujian yang distandarkan dapat memicu siswa untuk giat belajar, guru lebih giat mengajar, dan orang tua lebih memperhatikan proses belajar anak (Kompas, 4 Februari 2008).

Pendapat pemerintah yang menyatakan bahwa ujian nasional mampu mendorong guru dan siswa lebih giat untuk mencapai prestasi tidak bisa diterima begitu saja. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David C. Berliner terhadap data tes NAEP (The National Assessment of Educational Progress) di 25 negara bagian di Amerika Serikat (Techniques, 2006) justru menyangkal premis tersebut, sebab hasil studi tersebut tidak menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur keberhasilan siswa dan sekolah benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa. Artinya, ujian nasional bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu mendorong siswa untuk berprestasi.

Model ujian nasional seperti ini seharusnya bukan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan kelulusan. Namun lebih tepatnya digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar. Kelas yang semestinya menjadi ajang pencerdasan dan menjadi tempat untuk mengasah kemampuan berpikir, berubah menjadi tempat pelatihan latihan soal tes.

Jika pemerintah masih saja melakukan teror terhadap siswa sekolah, maka akan timbul beberapa efek yang dialami oleh siswa, di antaranya adalah siswa akan lebih banyak berorientasi kepada nilai. Ilmu menjadi hal yang tidak penting bagi mereka. Yang dalam benak mereka kemudian timbul pemikiran bagaimana caranya untuk mengerjakan soal ujian dengan benar dan tepat disertai waktu yang singkat. Tekanan psikologis menjelang ujian nasional yang menyebabkan naiknya tingkat stres siswa, karena mereka dituntut untuk lulus dalam ujian. JIka mereka tidak lulus, maka konsekuensi yang harus ditanggung adalah harus mengulang. Efek lainnya adalah timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Orang akan lebih menyukai untuk mencari uang daripada mengejar kelulusan.


Bagaimana Seharusnya Pendidikan di Indonesia

Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Pendidik, dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Pendidik dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu: (1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional. Jika kompetensi tersebut ada pada pendidik maka tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai.

Namun, pada saat ini masih banyak dijumpai berbagai perlombaan yang lebih mengarah pada persaingan. Contohnya olimpiade dan kompetisi. Kemampuan seperti ini lebih condong untuk mengejar kepandaian dan berorientasi pada akal pikiran. Siswa akan menjadi mudah emosi dan temperamental. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan untuk dapat segera memahami isi materi pelajaran, yang kemudian akhirnya timbul keluhan dan depresi. Sedangkan kecerdasan berorientasi tidak hanya kepada akal pikran saja namun juga rasa atau jiwanya. Kemampuan emosinya akan berkembang, serta mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar.

Dalam merumuskan sebuah pendidikan, harus diperhatikan beberapa hal berikut ini yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Keempat hal tersebut wajib diterapkan dalam praktik-praktik pendidikan dengan tujuan memberikan siswa ruang untuk berkembang, mandiri, kreatif dan dapat membentuk karakter.

Pendidikan di Indonesia haruslah mampu menghasilkan anak-anak dan remaja yang utuh dan seimbang dalam hal intelektual dan moralitas. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh masing-masing sekolah. Karena sekolah tersebut yang mengetahui latar belakang siswa. Yang berhak untuk menyelenggarakan ujian bagi siswa adalah sekolah itu sendiri. Sekolah tahu kemampuan siswa-siswinya dalam kemampuan intelektual. Penyelenggara ujian nasional tidak pernah berinteraksi dengan siswa. Oleh karena itu tidak berhak untuk menguji dan menentukan kelulusan.

Pemerintah juga harus memperhatikan kualitas pendidikan yang ilmiah dan terjangkau bagi rakyat. Menjadi penting dikembangkan nilai-nilai moral, budaya, etika, sains, kapasitas emosional dan psikologis dalam menentukan kurikulum pendidikan. Dengan menciptakan pendidikan yang berkualitas berarti telah ikut serta dalam membangun bangsa dan mendekatkan pada cita-cita negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.


* Penulis adalah aktivis perempuan di Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment