Oleh : Sudiarto*

Setidaknya tiga peristiwa besar terjadi di ibukota Jakarta sepanjang tahun lalu, yang mengguncangkan sendi-sendi perpolitikan lokal. Pertama, peristiwa rusuh Koja pada 14 April 2010. Peristiwa bermula dari upaya petugas Satpol PP untuk membongkar makam “Mbah Priok” di lahan milik PT Pelindo II. Massa yang marah kemudian melawan petugas, bentrokan pun pecah sepanjang hari hingga malam, akibatnya tiga orang tewas di antaranya dua petugas Satpol PP sendiri, ratusan orang luka-luka, dan sejumlah mobil milik Satpol PP dan kepolisian hangus terbakar.

Konflik yang bermula dari sengketa hak waris antara keturunan “Mbah Priok” dengan PT Pelindo II yang ingin membersihkan kawasan pelabuhan agar sesuai dengan standar internasional berkembang menjadi konflik sosial, yang akhirnya menyeret pada bentrokan dan dugaan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sentimen anti-Satpol PP pun meruyak, mengingat selama ini Satpol PP selalu diidentikkan dengan kekerasan terhadap rakyat miskin. Demonstrasi mengecam kekerasan Satpol PP dalam kasus rusuh Koja digelar berbagai elemen, dari LSM hingga massa partai politik.

Pemprov DKI dengan cepat merespon gejolak tersebut. Dibentuk tim investigasi yang diketuai Jusuf Kalla selaku Ketua PMI, untuk membendung tuduhan pelanggaran HAM yang dilontarkan Komnas HAM. Santunan pun diberikan kepada semua korban baik di pihak Satpol PP maupun warga. Gubernur Fauzi Bowo tampaknya tahu betul bahwa aksi kekerasan di wilayahnya berpotensi mengancam dirinya menuju pertarungan Pilkada pada 2012 mendatang.

Tetapi, Fauzi Bowo, yang akrab dipanggil Foke, kemudian menjadi bulan-bulanan di berbagai media massa dan situs jejaring sosial, ketika hujan melumpuhkan Jakarta pada akhir Oktober 2010 lalu. Foke yang pada Pilkada 2007 lalu menggunakan slogan “Serahkan pada Ahlinya” tak berkutik menjadi bahan caci-maki kalangan kelas menengah ibukota yang seharian terjebak dalam kemacetan parah akibat air menggenang di berbagai ruas jalan. Gara-gara itu, muncul pula slogan tandingan, “Jakarta Berkumis,” akronim dari berdebar kalau gerimis. Kumis merujuk pula pada iklan kampanye Foke pada Pilkada 2007, “coblos kumisnya.”

Foke sendiri berlatar belakang arsitektur dan perencanaan kota, yang pernah menempuh kuliah di Universitas Indonesia dan mendapat gelar ingenieur dari universitas di Jerman. Foke lebih banyak melewatkan kariernya di lingkungan Pemprov DKI, hingga menjadi Sekwilda, dan kemudian mendampingi Sutiyoso pada pencalonan gubernur dan wakil gubernur Jakarta pada Pemilu 2002. Setelah Sutiyoso tidak lagi bisa maju karena sudah dua kali periode, Foke menggantikannya sebagai calon gubernur pada pilkada langsung yang pertama kali digelar di ibukota pada 2007. Foke harus bersaing ketat dengan Adang Daradjatun yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Tiga tahun masa jabatan Foke tampaknya tidak menunjukkan kinerjanya sebagai ahli perencanaan kota. Berbagai proyek yang digagas gubernur sebelumnya, Sutiyoso, terhenti. Sejumlah koridor busway sampai sekarang tidak beroperasi karena kegagalan konsorsium untuk menyediakan bus sesuai spesifikasi yang diminta Pemprov DKI. Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) belum selesai dibangun. Begitu pula proyek monorel yang masih menyisakan tiang-tiang di pusat kota, sedang rencana proyek kereta subway baru masuk pada tahap desain.

Jakarta sebagai ibukota, berkembang dari pelabuhan Sunda Kelapa, semula merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Tarumanagara. Raja terbesarnya, Purnawarman, sebagaimana dikutip dalam prasasti Tugu yang ditemukan di kecamatan Tarumajaya, Bekasi, berhasil membangun dua kanal yaitu Sungai Chandrabhaga dan Sungai Gomati. Dalam prasasti disebutkan bahwa Kali Gomati sepanjang 12 kilometer dikerjakan dalam waktu hanya 21 hari. Sunda Kelapa menjadi pelabuhan penting Kerajaan Sunda untuk mengekspor komoditas utama lada, melalui sungai yang berhulu di dekat ibukota Sunda di Bogor. Portugis juga pernah membangun bandar di Jakarta, tapi kemudian dihalau oleh Fatahillah dari Kerajaan Demak. Belanda kemudian mengukuhkan diri dengan membangun kota Batavia, tanpa mampu diusir oleh laskar-laskar Mataram pimpinan Sultan Agung.

Sebagai benteng VOC, Batavia hanya merupakan persinggahan saja untuk mengawasi pusat rempah-rempah di Maluku. Setelah kebangkrutan VOC, Hindia-Belanda membangun pusat administrasinya bukan di Jakarta melainkan di Bogor, waktu itu disebut sebagai Buitenzorg. Istana Negara yang sekarang menjadi kantor kepresidenan awalnya hanyalah rumah peristirahatan milik J.A. van Braam, pengusaha Belanda, tetapi sering disewa oleh pemerintah selama tinggal di Batavia untuk keperluan rapat-rapat Dewan Hindia. Ketika berkembang perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kota Surabaya yang menjadi pelabuhan utama dan pusat angkatan laut Belanda. Menjelang kedatangan pasukan Jepang, Belanda berniat memindahkan ibukota ke Bandung. Setelah sempat berkantor di Yogyakarta, pemerintahan Republik Indonesia kemudian memindahkan ibukota ke Jakarta. Status Jakarta sebagai daerah tingkat satu baru ditetapkan pada tahun 1959, sebelumnya hanya merupakan kota di bawah Provinsi Jawa Barat.

Berkembang mula-mula dari kawasan seputar Pasar Ikan dan Kota Tua, Belanda meluaskan pembangunan ke selatan yang lebih sejuk untuk mencegah epidemi malaria. Setelah membangun Koningsplein (sekarang Lapangan Merdeka, Monas), Belanda kemudian membangun kota taman Menteng. Pembangunan terus bergerak ke selatan, kawasan terakhir yang dibangun Belanda adalah Kebayoran yang dibangun pada 1948. Sejak awal menyadari potensi banjir yang mengancam Jakarta, Belanda membangun Banjir Kanal Barat dimulai dari Manggarai hingga Muara Angke.

Setelah menjadi ibukota RI, penduduk Jakarta berlipat dua karena kebutuhan tenaga kerja untuk pemerintahan. Berbagai permukiman baru kelas menengah berkembang seperti di Cempaka Putih, Rawamangun dan Pejompongan. Instansi pemerintah dan BUMN juga membangun perumahan-perumahan di Jakarta untuk para karyawannya. Permukiman besar pertama yang dibangun oleh pengembang swasta di Jakarta yaitu Pondok Indah pada akhir dasawarsa 1970-an. Meskipun berusaha ditekan, arus urbanisasi terus mengalir ke Jakarta. Industri pun pada awalnya banyak yang berlokasi di Jakarta, terutama di kawasan Kapuk dan Cakung, sebelum kemudian bergeser ke arah Tangerang, dan sekarang ke arah timur sepanjang koridor jalan tol Jakarta-Cikampek.

Dengan pesatnya pembangunan, sementara bentang alam Jakarta merupakan dataran rendah yang menjadi daerah aliran sungai-sungai dari kawasan Bogor dan Cianjur, ancaman banjir tak urung menghantui Jakarta setiap musim hujan. Demikian pula alih fungsi situ menjadi kawasan komersial, serta hancurnya hutan mangrove di kawasan Kapuk oleh pengembangan perumahan dan jalan tol, mengancam ekosistem Jakarta. Ditambah rusaknya kawasan hulu, yang ditengarai akibat ulah kalangan elite Jakarta sendiri yang membangun villa-villa di kawasan Puncak dan Gunung Gede. Persoalan lain adalah ruwetnya sarana transportasi di Jakarta. Kemacetan tiap hari terjadi, tidak hanya pada jam-jam sibuk saja, dan akan lebih parah jika turun hujan.

Gejolak terakhir yang harus dihadapi oleh gubernur Foke yaitu aksi besar-besaran oleh hampir 50 ribu buruh di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung pada 25 November 2010 lalu, menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) menjadi sebesar Rp 1.401.829,00 per bulan. Melalui Peraturan Gubernur No 196/2010, Foke hanya menetapkan UMP sebesar Rp Rp 1.290.000,00 per bulan.

Maka lengkap sudah, oposisi terhadap kebijakan Foke ditentang dari berbagai sektor masyarakat, dari rakyat miskin perkotaan yang menentang keberadaan Satpol PP, kelas menengah yang didera kemacetan dan ancaman banjir, dan kaum buruh yang menuntut perbaikan kesejahteraan. Persoalannya, apakah gejolak sosial perkotaan ini akan mengubah wajah ibukota, ataukah hanya akan menjadi permainan politik bagi lapisan elite untuk sekadar menggantikan Foke dengan yang lain. Sejumlah tokoh lokal Jakarta sudah ancang-ancang untuk maju pada Pilkada 2012 dengan mengeksploitasi kegagalan Foke menyelesaikan persoalan-persoalan Jakarta. Menjadi tantangan buat gerakan sosial dan akademisi di Jakarta, baik yang bergerak di isu lingkungan, kemiskinan, perencanaan kota dan perburuhan, tidak saja untuk memberikan tawaran program alternatif untuk rakyat Jakarta, juga solusi politik yang tepat.

Sebagai catatan, penduduk Jakarta yang relatif paling melek politik, mempunyai preferensi pemilih yang cepat berubah. Di masa Orde Baru, “partai pemerintah” Golkar baru bisa menguasai Jakarta pada Pemilu 1987 setelah selama beberapa kali pemilu dikuasai oleh partai Islam PPP. Pada masa reformasi, PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999 di DKI Jakarta, tetapi segera digantikan oleh PKS pada Pemilu 2004, dan Demokrat pada Pemilu 2009. Pemilihan langsung kepala daerah pertama pada 2007 menyedot perhatian media, bagaimana PKS yang mewacanakan pembenahan ibukota dihadang oleh koalisi 20 partai politik.


* Penulis adalah anggota Perkumpulan Budaya Bumi Bagus, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment