Oleh : Kusrinani*

Undang-Undang 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) disahkan oleh DPR pada tanggal 15 Septembar 2009 dan mulai diberlakukan sejak diundangkannya yaitu tanggal 14 Oktober 2009. KEK adalah bagian dari neoliberalisasi yang mendorong otonomi daerah sebagai tempat penanaman modal dan perputarannya.

Terdapat banyak kemudahan sebagai jaminan modal bisa terus berputar dan besar antara lain adalah: (1) Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diberikan fasilitas kelonggaran dalam pengurangan Pajak penghasilan (Pph); (2) Fasilitas perpajakan juga dapat diberikan dalam waktu tertentu kepada penananm modal berupa pengurangan Pajak bumi dan bangunan (PBB) sesuai ketentuan perundang-undangan; (3) KEK juga mengatur bebas pungutan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak, serta PPh impor; (4) KEK di bawah kekuasaan Dewan Nasional dan Dewan Kawasan.

Dengan keistimewaan di atas jelas bahwa KEK hanya akan menjadi “negara dalam negara.” Ada banyak kekhususan dan fleksibilitas yang berarti hanya akan menjadikan buruh sebagai komoditas yang mudah dieksploitasi oleh sistem kerja kontrak outsourcing, upah murah serta kelenturan-kelenturan yang ada dalam sistem ini seperti yang telah terjadi di Batam, Karimun dan Bintan. Dengan dalih peningkatan ekonomi dan pendapatan di daerah, KEK dipaksakan untuk dijalankan tanpa terlebih dulu meminta pertimbangan dan sosialisasi terhadap salah satu pelaku ekonomi yaitu buruh. Kemudahan-kemudahan fiskal dan fleksibilitas Undang-Undang Ketenagakerjaan, menjadikan KEK seperti medan magnet yang begitu cepat menarik para investor. Dalam jangka pendek memang akan terjadi penyerapan tenaga kerja tapi dalam jangka panjang akan menyebabkan sumber daya alam terkuras dan mengalirnya laba/keuntungan keluar negeri. Sedangkan masyarakat lokal hanya menjadi penonton bahkan hanya akan menjadi tenaga-tenaga yang dieksploitasi dikarenakan kemajuan ekonomi itu hanya dinikmati oleh para investor dari negara lain.

Pelibatan peran daerah dalam menopang KEK ini membuat pemerintah di daerah berbondong-bondong untuk mengajukan daerah mereka sebagai bagian dari mega proyek KEK ini. Salah satu yang dipersiapkan adalah Pulau Madura di Jawa Timur. Namun berbeda dengan di tempat yang lain meski memiliki potensi alam dan luas tanah tapi Madura belum ditopang infrastruktur yang memadai untuk menggerakkan KEK. Maka pada tahap awal Pemerintah Pusat dan Jawa timur bekerjasama dengan investor untuk membangun infrastruktur penunjang, salah satunya adalah Jembatan Suramadu. Jembatan sepanjang 5.438 meter yang dimiliki oleh Indonesia ini dibangun bukan untuk menunjukkan kebanggaan kita kepada dunia atas keberhasilan teknologi anak bangsa. Namun infrastruktur ini memang dipersiapkan untuk menghubungkan Madura dengan Surabaya sebagai bagian dari kelangsungan KEK.

Kenapa harus Madura? Madura adalah pulau yang strategis sebagai jalur pelayaran antar pulau, sekaligus mempunyai cadangan kekayaan alam berupa minyak bumi yang melimpah. Madura Industrial Seaport City, itulah nama mega proyek industrialisasi di Socah, Kabupaten Bangkalan, Madura. Mega proyek ini menurut Pemkab Bangkalan dapat menopang kekuatan industri, perdagangan dan jasa. Selain pembangunan infrastruktur jembatan, jalan-jalan yang menghubungkan satu kecamatan dengan kecamatan yang lain pun mulai diperbaiki dan dipersiapkan sebagai penunjang. Ada dua kecamatan yang nantinya secara khusus akan dijadikan sebagai kawasan industri yaitu Kecamatan Socah dan Kecamatan Labang. Infrastruktur lainnya seperti bandara internasional dan terminal peti kemas di Kecamatan Klampis, pelabuhan, waduk di Desa Tellok dan Galis dipersiapkan. Total kebutuhan lahan untuk melaksanakan proyek ini adalah kurang lebih 5.794 hektar dan tentu saja beban biaya triliunan rupiah untuk ini diambilkan dari APBN, APBD dan utang luar negeri yang akan semakin membebani perekonomian Indonesia.

Untuk lahan yang sebesar itu maka dibutuhkan pembebasan lahan yang tentunya akan menimbulkan masalah sosial baru di dalam masyarakat antara yang pro maupun yang kontra. Bukan hanya persoalan ganti rugi dan pembebasan lahan tapi KEK juga akan menyebabkan perubahan terhadap nilai-nilai kedaerahan dan profesi masyarakat lokal yang semula bertani, bertambak dan nelayan akan berubah menjadi buruh industri dan jasa. Banyak warga yang tidak mengetahui tentang rencana KEK yang telah diprogramkan Pemerintah Daerah Jawa Timur. Ini dikarenakan kurang dilibatkannya peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat secara umum hanya mengetahui kalau tanah mereka akan dibebaskan maka kompensasi dan pembayarannya haruslah sesuai dengan kesepakatan. Tentunya bukan itu saja, mereka juga menginginkan jika industri dibangun, mereka ingin dilibatkan untuk menjadi tenaga kerja di dalamnya atau kalau tidak mereka akan menolak.

Kurangnya pemahaman tentang proses industrialisasi dan dampaknya dengan berkaca di tempat lain seperti Batam misalnya, membuat rakyat terperdaya dan menerima seakan-akan proyek KEK akan membawa kebaikan dan kesejahteraan. Mereka tidak berhitung kalau sebentar lagi akan ada perubahan nilai sosial-budaya, dan yang paling penting mereka akan menjadi budak di negerinya sendiri. Karena investasi memerlukan kelonggaran dan penekanan-penekanan biaya produksi yang itu berarti buruh kontrak yang diupah murah dan siap bekerja kapan saja. Dan pertanyaannya adalah benarkah KEK dibuat untuk mempercepat industrialisasi nasional dengan mendorong optimalisasi sumber daya alam dan manusia di daerah yang akan berdampak pada kesejahteraan dan pemasukan daerah? Atau justru akan semakin memiskinkan rakyat karena adanya upaya negara untuk memberikan kemudahan fasilitas bagi investasi untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan menjadikan rakyat sebagai koeli-koeli di negerinya sendiri yang akan semakin tergantung secara ekonomi terhadap kepentingan para pemodal.

Sadar atau tidak, Undang-Undang KEK sudah disahkan. Maka kita harus bersiap dalam menghadapi dampak yang akan disebabkan oleh KEK. Perlu ada strategi baru untuk menghadapinya selain aktif mengkampanyekan penolakan KEK. Ruang-ruang diskusi dan pendekatan harus secara terus-menerus dilakukan terutama terhadap masyarakat lokal yang akan pertama kali merasakan dampaknya. Dan tentunya penolakan-penolakan tersebut dilakukan dengan melakukan aksi-aksi massa dan secara hukum mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang jelas-jelas hanya berpihak kepada kepentingan modal ketimbang kesejahteraan dan perlindungan bagi kaum buruh.


* Penulis adalah anggota Aliansi Buruh Menggugat (ABM)-Jawa Timur, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment