Oleh : Ari Yurino*

Kedatangan Barack Obama, Presiden AS, ke Indonesia tentunya telah menyita perhatian para pejabat pemerintah dan masyarakat di Indonesia. Perjanjian-perjanjian baru pun segera dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk menyambut Barack Obama. Ada sekitar enam perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Amerika Serikat yang akan ditandatangani selama kunjungan Presiden Amerika Serikat tersebut ke Indonesia. Perjanjian tersebut di antaranya melingkupi investasi di bidang pertanian, kehutanan, energi, sumber daya mineral dan pendidikan.

Kedatangan Obama memang dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung pembangunan nasional semaksimal mungkin. Rencananya bahkan Obama akan didampingi oleh sederet bos-bos besar dari Amerika Serikat. Hal ini lah yang membuat pemerintah Indonesia, beserta pengusaha-pengusaha Indonesia bersiap diri untuk menyambut kedatangan Obama ke Indonesia.

Wacana Pencabutan Larangan Program Pelatihan

Namun yang patut diketahui adalah selain agenda-agenda kerjasama tersebut, ternyata ada satu “permohonan” dari militer di Indonesia kepada pemerintahan Amerika Serikat. Permohonan tersebut adalah dicabutnya pelarangan program pelatihan dari pemerintahan AS ke Kopassus.

Sejak tahun 1997, pemerintahan AS mengeluarkan aturan yang melarang kerjasama militer antara pemerintah AS dan Indonesia. Aturan ini sendiri digolkan seorang senator berpengatuh dari Partai Demokrat, Patrick J. Leahy, sehingga aturan tersebut dikenal dengan nama aturan Leahy (Leahy Law). Keluarnya aturan tersebut dikarenakan sejumlah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Kopassus saat Indonesia masih didominasi oleh kekuatan militer semasa rezim Soeharto. Dalam aturan Leahy disebutkan bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil langkah efektif terlebih dahulu untuk membawa anggota-anggota Kopassus ke hadapan hukum, sebelum diberlakukannya kembali kerjasama militer antara AS dan Indonesia.

Hal ini tentu saja dapat dimaknai bahwa senator Leahy menjunjung tinggi penghormatan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Aturan tersebut mengharuskan adanya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kopassus terlebih dahulu, baru kemudian memperbaharui kerjasama di bidang pertahanan dengan AS.

Akibat dari aturan Leahy tersebut, kerjasama di bidang pertahanan antara AS dan Indonesia dibekukan (diembargo). Telah beberapa kali Kopassus tidak diikutsertakan dalam International Military Educational Training (IMET) yang diselenggarakan oleh pemerintahan AS.

Upaya untuk melobi pemerintahan AS pun gencar dilakukan oleh petinggi Kopassus dan elit politik, agar pemerintahan AS mencabut aturan Leahy. Menurut informasi dari beberapa sumber yang dihimpun Washington Post dinyatakan bahwa 4 petinggi Kopassus – termasuk Komandan Jenderal Mayjend TNI Lodewijk Paulus – pernah berada di Washington untuk mendiskusikan penawaran pencabutan larangan tersebut.

Beberapa anggota DPR dari Komisi I bahkan mendukung pencabutan larangan tersebut. Argumentasi yang dikemukakan adalah para pelaku pelanggar HAM, khususnya di Kopassus, telah menjalani proses pengadilan. Artinya anggota DPR menganggap bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 telah selesai dan tidak perlu diganggu gugat.

Namun penentangan terhadap wacana pencabutan larangan program latihan bagi Kopassus segera dilakukan oleh Patrick J. Leahy. Dia menganggap sebagai sebuah kekeliruan jika pemerintahan AS mencabut larangan tersebut, karena aturan tersebut telah menjadi sebuah kebijakan dalam beberapa era pemerintahan AS. Human Rights Watch juga menyatakan penentangannya terhadap rencana pemerintahan AS untuk kembali memberikan pelatihan bagi Kopassus karena upaya pemerintah Indonesia untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM sejauh ini belum signifikan. Bahkan menurut Human Rights Watch, yang disayangkan adalah pelaku pelanggaran HAM tetap bertugas dan mendapatkan promosi jabatan dalam tubuh pasukan bersenjata Indonesia, terutama Kopassus.

Human Rigths Watch juga menyinggung Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat Wakil Menteri Pertahanan. Saat masih menjadi pejabat senior Kopassus dan institusi militer, Sjafrie Sjamsoeddin terlibat dalam kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis 1997/1998 dan aksi kekerasan di masa-masa referendum kemerdekaan Timor Timur tahun 1999. Pemerintahan AS pun mencekal Sjafrie Sjamsoeddin masuk ke wilayah AS pada September 2009.

Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 belum selesai

Upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kopassus hingga saat ini tidak pernah dilakukan atau tidak memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM. Beberapa mekanisme penyelesaian kasus memang telah dijalankan oleh pemerintah, seperti halnya Pengadilan Militer atas 11 anggota Tim Mawar Kopassus. Berulang kali, beberapa pejabat militer dan elit politik menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa aktivis yang terjadi di tahun 1997-1998 telah selesai karena sudah digelar Pengadilan Militer tersebut. Namun kenyataannya Pengadilan Militer tersebut hanya dilakukan untuk kasus penghilangan paksa yang menyangkut 9 orang saja, yang kesemuanya sudah dibebaskan. Pengadilan Militer telah gagal menjelaskan nasib korban yang lain, yang hingga saat ini masih hilang dan diketahui mereka disekap di tempat yang sama dengan beberapa orang dari korban yang telah dilepaskan.

Pengadilan Militer pun hanya mengadili para pelaku lapangan (11 anggota Tim Mawar Kopassus) dan tidak menyentuh satu orang pun yang menjadi otak dan komandannya. Selain itu, beberapa dari anggota Tim Mawar yang dipecat ternyata saat ini mendapatkan promosi dan menduduki jabatan penting. Kemudian para komandan, seperti Prabowo Subianto, Muchdi PR dan Chairawan hanya diberi sanksi oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP), bukan oleh sebuah putusan pengadilan.

Pelanggaran HAM masa lalu menghambat investasi?

Komentar dari anggota DPR bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu telah selesai, sebenarnya telah menjadi pernyataan yang sangat umum saat ini dikeluarkan oleh para pejabat negara. Beberapa kali dalam pernyataan di kampanye pemilu, pejabat-pejabat negara atau tokoh-tokoh nasional mengajak masyarakat agar “menatap hari depan yang lebih baik” dengan melupakan masa lalu. Penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang harus dilupakan. Karena dengan menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu serta membawa para pelaku ke hadapan hukum, maka akan memberikan citra yang tidak baik bagi Indonesia yang sedang gencar-gencarnya mengejar investor asing. Inilah salah satu dampak dari penerapan neoliberalisme terhadap penegakan HAM di Indonesia.

Pemikiran ini pun akhirnya diamini oleh sebagian masyarakat. Artinya janji-janji hari depan yang lebih baik telah merasuki pemikiran masyarakat sehingga masyarakat beranggapan bahwa penuntasan pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menghambat pembangunan nasional. Inilah yang dihadapi oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM saat ini.

Citra Indonesia pun bisa dibilang dibangun di atas pelupaan masyarakat akan terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Perjuangan yang seharusnya dilakukan pun menjadi berlipat ganda. Selain bergulat dengan strategi para pelaku yang berupaya mengingkari keadilan, namun juga harus bergulat dengan pandangan masyarakat yang menginginkan hari depan yang lebih baik. Selain itu, korban dan keluarga korban juga harus bergulat dengan kebutuhan dasar hidup yang semakin sulit didapat karena krisis ekonomi dan keganasan neoliberalisme.

Apa yang harus dilakukan?

Sambutan meriah atas kedatangan Obama ke Indonesia, tentunya juga harus dimanfaatkan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk melawan lupa. Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus bersuara untuk mengingatkan pemerintahan AS agar tidak mencabut larangan pelatihan militer antara pemerintahan AS dan Kopassus. Aturan Leahy yang telah diterapkan di AS harus secara konsisten dijalankan oleh pemerintahan AS dan mendesak para pelaku pelanggar HAM, khususnya dari Kopassus, untuk dihadapkan ke hadapan hukum.

Desakan kepada Presiden RI untuk menindaklanjuti 4 rekomendasi sidang paripurna DPR mengenai kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 juga harus terus dilakukan. Upaya mendesak Presiden RI ini tentu saja tidak mungkin dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM sendirian. Tentunya untuk mendesak tuntutan tersebut dibutuhkan kekuatan massa yang besar. Maka dari itu, dibutuhkan pembangunan jaringan-jaringan sesama organisasi massa seperti organisasi buruh, tani, mahasiswa dan lainnya untuk mendesak Presiden RI agar mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap rakyatnya. Beberapa pembangunan jaringan ini sebenarnya sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia, tinggal mensinergikan kerja-kerja antara organisasi yang berada di dalamnya.

Tentunya seluruh rakyat Indonesia memiliki permasalahan yang ditimbulkan oleh sumber yang sama, yaitu neoliberalisme.



* Penulis adalah anggota Divisi Kampanye dan Advokasi Federasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment