Oleh Benget Silitonga *

Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh dunia. Peringatan tersebut didasarkan pada sejarah kelahiran Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan PBB, 10 Desember 1948. Lazimnya, secara teoritik empirik, perkembangan demokratisasi biasanya akan berjalan linear dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam konteks itu, sangatlah relevan untuk menilai kondisi HAM di Indonesia pasca satu dasawarsa demokratisasi. Membaik ataukah memburukkah?

Bagi kalangan liberalis fungsional kondisi pemajuan dan perlindungan HAM tentu akan dinilai dengan positif. Bagi mereka situasi dan kondisi HAM di Indonesia semakin hari semakin membaik. Mereka akan merujuk pada indikator semakin menguat dan banyaknya institusi HAM yang lahir pasca reformasi 1998. Ambil contoh KOMNAS HAM yang dahulu di era Suharto dibentuk hanya bermodalkan Kepres 50/1993 kini telah punya dasar hukum kuat UU 39/1999 tentang HAM dan telah memiliki kewenangan melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat. Kini juga telah ada KOMNAS Perempuan dan KOMNAS Anak. Bahkan pemerintah juga telah memiliki RANHAM (Rencana Aksi Nasional HAM).

Selain perkembangan institusional, secara konstitusional HAM juga mengalami kemajuan pesat. Konstitusi UUD 1945 hasil empat kali amandemen misalnya telah mengadopsi beberapa ketentuan HAM Universal yang diatur dalam Bab XA pasal 28A-28J. Indonesia juga telah meratifikasi dua prinsip vital dari DUHAM yakni kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol) lewat UU No 12/2005, dan kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) lewat UU No.11/2005.

Belum cukup di situ, kalangan liberalis juga akan bangga menarasikan bahwa di ranah internasional, Indonesia juga memainkan peranan penting. Indonesia misalnya ’berhasil’ menjadi Ketua Komisi HAM PBB (sebelum dirubah menjadi Dewan HAM), dan terakhir menjadi anggota Dewan HAM PBB. Dua prestise dan reputasi internasional yang tak semua negara lain bisa meraihnya. Mereka juga akan berteriak lantang bahwa wacana HAM juga semakin meluas yang dibuktikan dengan diakomodasinya HAM dalam kurikulum pendidikan kepolisian, tentara, dan tumbuh suburnya pusat-pusat studi HAM di berbagai perguruan tinggi.

Tidak berdampak

Masalahnya, perkembangan institusional dan konstitusional seperti yang disebut di atas sepertinya tidak berdampak langsung kepada semakin membaiknya kualitas HAM rakyat Indonesia (baca: citizen rights). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa secara umum kondisi hak asasi manusia masih cukup mengenaskan. Terbengkalainya pemulihan hak para korban pelanggaran HAM di masa lalu (Tragedi 65, Tragedi Talangsari Lampung, Tragedi Timor Leste, Tragedi Trisakti, Tragedi Kerusuhan dan Perkosaan massal Mei 1998, dan Tragedi Semanggi), serta masih gelapnya kasus Pembunuhan Munir membuktikan hal itu. Di sisi lain jumlah kekerasan, penyiksaan, dan kriminalisasi (pelanggaran hak sipol) yang dialami masyarakat yang memperjuangkan haknya juga tak makin surut (baik itu dilakukan aktor keamanan resmi maupun kelompok paramiliter).

Celakanya, alih-alih dihentikan, berbagai pelanggaran HAM tersebut justru diabiarkan oleh kekuasaan yang memerintah. Dengan kata lain pemerintah telah melakukan praktek pelanggaran HAM by ommision (pembiaran) Hal tersebut khususnya banyak terjadi di tingkat lokal. Masyarakat (baik itu petani dan masyarakat adat) yang memperjuangkan hak atas tanahnya, dan itu dijamin oleh konstitusi, acapkali justru dikriminalisasi oleh aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi mereka. Malah ada beberapa kasus penyiksaan dan penghilangan nyawa korban namun kasusnya diproses dengan prosedur dn mekanisme hukum yang tertutup dan tidak adil (di Sumut misalnya adalah kasus kematian Adi SH yang sampai saat ini pelakunya belum terungkap, padahal kepolisian punya cukup bukti untuk mengungkap kasus ini).

Akses rakyat terhadap kesehatan, pekerjaan, pangan, dan pendidikan berkualitas, yang merupakan hak ekosob terpenting, juga tidak semakin membaik. Jumlah penganguran dan kemiskinan tetap tinggi. Sementara akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga tetap buruk. Di lain pihak regulasi yang menjamin dan melindungi HAM juga tidak makin tumbuh. Malah sebaliknya regulasi yang mengancam HAM justru bermunculan, salah satu diantaranya yang paling kontroversial adalah lahirnya UU 25/2007 tentang Penanaman Modal yang berpotensi semakin meminggirkan ’kedaulatan rakyat’ dan memberi jalan bebas hambatan bagi neoliberalisme mencengkeram isi perut tanah air Indonesia.

Dikotomi HAM dengan Demokrasi

Paradoks dan kontradiski di atas tentunya ironis sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, demokratisasi idealnya akan semakin memperbaiki kualitas HAM. Iklim demokrasi yang tumbuh biasanya berjalan linear dan berbanding lurus dengan penegakan dan penghormatan terhadap HAM. Dengan kata lain demokrasi dan HAM seharusnya saling melengkapi (komplementer) dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi. Keduanya seharusnya menjadi kerangka yang fungsional untuk mengatasi problem dan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Itulah aksioma yang lazim terjadi di berbagai negara lain. Namun, untuk Indonesia aksioma tersebut sepertinya tidak berlaku. Lalu apa yang salah dengan proses penegakan dan perlindungan HAM di negeri ini?

Akar masalahnya bisa ditelusuri pada progress HAM yang terpisah dengan demokratisasi (proses politik dan hukum). Perkembangan HAM yang terlihat ’luar biasa’ ternyata terpisah dengan proses demokratisasi. HAM berkembang di ruang yang terpisah dengan demokrasi. Singkatnya politik tidak saling berkorelasi dan saling melengkapi dengan HAM. Implikasi dari keterpisahan ini mengakibatkan proses politik dan progress HAM menjadi sesuatu yang cenderung dikotomis daripada sinergis. Keduanya memang berlangsung kolosal namun tidak berdampak apapun bagi rakyat. Seperti yang telah disinggung di atas, rakyat tidak merasakan apapun dari demokratisasi dan perkembangan instrumental HAM.

Bila dilacak lebih jauh, dikotomi demokrasi dengan HAM adalah buah dari sistem dan struktur politik yang belum mengalami dekonstruksi (bongkar-bangun). Transisi demokrasi memang berlangsung luar biasa, baik lewat liberalisasi politik maupun pembentukan lembaga extra judicial, seperti KPK dan KY. Namun upaya itu nyatanya hanya mampu memoles, atau me-make-up, wajah politik dan hukum. Transisi demokrasi belum berhasil membongkar relasi politik dan hukum yang tidak adil dan tidak ramah HAM, serta membangunnya kembali menjadi lebih egaliter.

Demokrasi Opera Sabun

Transisi demokratisasi minus dekonstruksi politik menyababkan demokratisasi berjalan tanpa berbasis kepada kepentingan publik (HAM). Demokratisasi yang berlangsung justru berbasis pada prosedural dan parokial (elitis). Proses politik dan hukum yang sepintas demokratis, bila dilacak lebih jauh ternyata adalah proses demokrasi oligarkis. Proses politik dan hukum dagang sapi yang didominasi retorika dan bualan elit dan transaksi jual-beli. Proses politik dan hukum yang berlangsung tanpa rasa keadilan. Proses politik dan hukum yang serba formalistik yang mengacu kepada kertas dan mengabdi kepada ritual legal.

Kisah tragedi ’cicak, buaya dan godzilla’ yang baru mengemuka di panggung politik dan hukum kita membuktikan hal tersebut. Tragedi tersebut menunjukkan betapa makelar dan cukong (politik, hukum, dan ekonomi) justru lebih berdaulat dalam proses politik dan hukum kita, dibandingkan rakyat. Tak berlebihan bila menyebut bahwa proses politik dan hukum yang kini berlangsung di republik gemah ripah loh jinawi ini tak lebih dari sekedar pentas demokrasi opera sabun.

Demokratisasi memang mempertontonkan adegan yang membuat penononton (baca: publik) terkesima, terhibur, dan bahkan emosional. Namun sejatinya adegan itu hanyalah sebuah lelucon dan ’hiburan’ sesaat yang tak memberi masyarakat manfaat apapun. Pentas demokrasi omong kosong yang didominasi bandit dan elit yang tak pernah berikhtiar untuk mensejahterakan rakyat, apalagi menegakkan, melindungi, dan menghormati HAM.

Alih-alih memikirkan rakyat yang harus memakan tiwul dan nasi aking, mereka justru hanya memikirkan kantong, perut, dan popularitas. Jangan heran kalkulasi mereka jauh dari kalkulasi rakyat. Value (nilai), kepentingan, dan power (kekuasaan) mereka jauh dari penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Bagi mereka urusan rakyat terlampau ribet dan tak penting. Bagi mereka persoalan HAM tak lebih dari sekedar persoalan teknis prosedural, berupa penyediaan sarana dan institusi formalistik semata, seperti yang telah disebut di atas.

Demokrasi, atau politik dan hukum, opera sabun adalah problem terbesar dan mendasar dalam upaya penegakan dan perlindungan HAM di negeri ini. Dan itu adalah buah dari politik dan HAM yang terdistorsi. Bila keterpisahan ini tak segera diatasi, jangan heran demokrasi dan HAM akan menjadi mitos bagi republik ini. Acap diwacanakan, dikampanyekan, dan diagungkan namun tak pernah konkrit mengatasi problem masyarakat. Jutaan regulasi dan instrumen yang dilahirkan, puluhan ratifikasi, dan ratusan halaman kurikulum HAM yang diajarkan di institui tentara, polisi, dan perguruan tinggi akan menjadi ‘macan kertas’di tengah demokrasi opera sabun.

Demokrasi berbasis HAM

Upaya menjadikan demokrasi (baca: politik) berbasis HAM tentu saja tidak mudah. Dibutuhkan personal dan organsiasi independen yang konsisten memperjuangkan dan mempromosikan demokrasi berbasis HAM. Di tengah kemandulan parpol dan negara yang powerless, harapan untuk mengintegrasikan demokrasi berbasis HAM sesungguhnya hanya ada tersisa di pundak organsiasi masyarakat sipil. Itu artinya aktivis masyarakat sipil pegiat dan penegak HAM harus mampu bekerja lebih kreatif dan inovatif untuk melakukan dua hal yang urgent. Pertama, secara cultural, membumikan gagasan HAM kepada masyarakat lapis bawah. Mereka harus mengubah cara dan metode untuk mengideologisasi HAM, sehingga disadari dan diperjuangkan rakyat sebagai bagian dari marwah, harkat, dan martabatnya (citizen rights). Hal ini penting karena selama ini isu dan gagasan HAM amat elitis dan terasing dengan rakyat di grass root. Kedua, aktor dan organsiasi masyarakat sipil harus mampu menekan dan mendorong politik agar semakin berbasis kepada HAM (struktural). Dengan kata lain, para aktivis masyarakat sipil harus mempolitisasi HAM secara horisontal kepada rakyat, dan secara vertikal kepada politisi dan institusi politik formal. Hanya dengan melakukan pendekatan kultural dan struktural tersebut secara konsisten, demokrasi yang beradab dan penegakan HAM sebagai hak kodrati manusia, bisa terwujud!


* Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Perhimpunan BAKUMSU. Anggota Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumut.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment