Jakarta - Peluh di kening Rudi (22) belum juga kering.
Di negeri seberang ia mengumpul kan rupiah demi rupiah, namun hilang begitu saja dirampas oleh aparat keaman an ketika sedang ada razia besar-besaran terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dianggap ilegal. Sesampainya di Jakarta pun, tidak ada penyambutan yang istimewa, padahal Rudi bersama teman-temannya telah menyumbang­kan devisa yang tidak sedikit jumlahnya bagi negara.

Ia memang tidak mengharapkan kalungan bunga bak atlet yang mendapatkan medali emas di ajang olimpiade. Ia hanya menginginkan perlakuan yang manusiawi sebagai sesama anak bangsa. Tetapi kenyataan yang dihadapi, setibanya di pelabuhan penumpang khusus TKI di Tanjung Priuk, Jakarta Utara, ruangan tunggu di pelabuhan itu tak ubahnya seperti gudang besar yang diisi oleh ribuan pahlawan devisa negara.

Kapal Bukit Raya yang merupakan kapal produksi perusaahan pelat merah ini pun penuh sesak oleh penumpang yang mengangkut para TKI. Kapal yang berlabuh di Tanjung Priok ini membawa 915 orang TKI dan lima bayi. Kapal tersebut melepaskan jangkarnya dari Pelabuhan Tanjung Pinang dengan menempuh perjalanan dua hari satu malam, di tengah ombak cukup besar.

Alasan Rudi merantau ke negeri orang, hampir sama dengan apa yang dituturkan oleh semua TKI. Mereka rata-rata ingin mengubah nasib dengan bekerja di tanah Melayu. “Saya bosan bekerja di kampung saya. Setelah mendengar kawan-kawan yang bekerja di Malaysia ­mendapatkan uang banyak, saya ingin seperti mereka,” ungkap anak rantau asal Bandar Lampung ini.

Gedung penumpang khusus TKI di Pelabuhan Tanjung Priok yang diresmikan tahun 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tidak menyisakan kebesaran seperti ketika pertama kali diresmikan. Lubang-lubang pendingin udara pun tidak bekerja, dan perannya digantikan oleh kipas-kipas angin di sudut-sudut ruangan. Ruangan yang luasnya dua kali lapangan sepakbola ini tidak memiliki sistem ventilasi yang apik, sehingga kumpulan asap rokok terperangkap di atas langit-langit gedung. Maka tidak jarang para TKI merasa kepanasan dan sesekali me ngalami sesak napas. Bahkan, ada beberapa TKI laki-laki yang bertelanjang dada karena merasa kegerahan.

Ketika SH datang ke sana pada Jumat (9/10), suasana tersebut sangat dirasakan. Suasana di dalam ruangan dan di luarnya tidak jauh berbeda. Suasana panas di pelabuhan harus dialami oleh para TKI. Tampak ketegasan dari setiap petugas di lapangan yang mengarahkan para TKI untuk didata. Memang bisa dimaklumi, kalau tidak ada ketegasan dari aparat setempat maka akan timbul ketidakberesan dalam hal pendataan TKI.

Dalam ruang tersebut, hampir semua penduduk dari beragam suku di Bumi Pertiwi ada. Maria (28), salah satunya, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Sumba Timur. Ia hampir memiliki alasan yang sama dengan Rudi, tapi masih harus direpotkan dengan anak semata wayangnya yang harus ikut dipulangkan. Anak yang baru berusia 40 hari ini sesekali menjerit menangis karena udara panas yang menyesak hingga ke paru-paru.

Membawa Bayi
Ketika ditanya di mana ayah sang jabang bayi, Maria hanya meneteskan air mata yang jatuh ke pundaknya. Sesekali ia menyeka air mata itu dan dengan sesenggukan berusaha mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Saya malu mengatakan ini, apalagi saya lebih malu ketika mau pulang ke kampung halaman,” tuturnya.

Tetapi rasa sayang terhadap anaknya mengalahkan apa pun. Ia mengaku lebih baik merawat anaknya hingga besar daripada menelantar kannya ke panti asuhan atau yang lebih ekstrem menjual anak tersebut. “Apa pun risikonya, saya akan terus merawat anak ini,” ucapnya.

Rudi dan Maria mungkin bisa mewakili keluhan teman-temannya. Kebanyakan dari mereka pun mengeluhkan sakit pada lambung dan kepala. Rasa mual yang hebat ketika diterpa ombak di atas kapal, harus ditambah rasa sesak ketika masuk ke pelabuhan khusus TKI di Tanjung Priok.

Padahal, penderitaan TKI tidak berhenti di situ saja. Dari Tanjung Priok, mereka harus menempuh jalan darat ke berbagai tujuan kampung halaman masing-masing, mulai dari Banda Aceh hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Di luar pelabuhan, sudah berjajar dengan apik bus Damri yang siap mengantar mereka ke kampung halaman. Mereka memang tidak punya lagi uang untuk melanjutkan perjalanan dengan pesawat.

Entah berapa hari perjalanan yang harus ditempuh para pejuang devisa ini melalui jalan darat. Semoga saja sesam painya di kampung halaman, mereka bisa merasakan kenyamanan bertemu dengan sanak-keluarganya. n

OLEH: HERU GUNTORO

Sinar Harapan, 10 Oktober 2009

Foto: Peduli Buruh Migran

0 Comments:

Post a Comment