Oleh : Fredy Wansyah*


Politik pencitraan tidak asing lagi bagi masyarakat, mengingat beberapa tindakan yang sering dilakukan oleh SBY. Bahkan politik pencitraan semakin dekat dengan gaya berpolitik penasehat demokrat tersebut atas reaksi-reaksi politisnya. Jika ada suatu aksi yang mungkin dapat merusak citra atau pandangan masyarakat terhadap dirinya, maka reaksi cepat untuk meresponnya pun segera dilakukan. Reaksi ini cenderung ditampilkan di ruang-ruang publik, seperti televisi dan media massa cetak.

Reaksi atas pencitraan beberapa hari lalu kembali dilakukan oleh SBY. Bermula dari SMS gelap yang dianggap merugikan, baik kerugian individu maupun kerugian partai, SBY melakukan konferensi pers dengan pihak-pihak media televisi untuk menanggapi beredarnya SMS “Nazaruddin.” Jelas tujuannya adalah merespon opini publik atas wacana SMS gelap tersebut. Reaksi yang berupa opini publik tersebut ditujukan juga pada opini publik.

Inilah serangkaian politik simulasi, perilaku pencitraan yang diperankan melalui media-media publik. Politik simulasi ini maksudnya perilaku politik hiperrealitas. Perilaku tersebut tidak mengacu pada suatu esensi realitas, melainkan demi pencitraan semata. Hal ini mengacu pada pandangan Baudrillard, yang menganggap bahwa simulasi merupakan suatu tatanan hilangnya pesona realitas. Gun Gun Heryanto juga pernah menegaskan, dalam tulisannya Hyper Realitas Politik Citra, bahwa kecenderungan politik citra mengarah pada simulasi realitas.

Perilaku-perilaku reaksi dilakukan demi membangun suatu citra atau penggambaran. Tidak ada pembahasan yang esensi secara radikal perihal suatu persoalan-persoalan politik. Misalnya, persoalan kesejahteraan rakyat tidak diambil sikap tegas dan cepat, persoalan keamanan sosial tidak disikapi dengan bijak dan adil, bahkan persoalan korupsi tidak ada pembahasan yang secepat reaksi respon isu SMS “Nazaruddin.”

Publik sebagai penerima (receiver) politik simulasi hanya menkonsumsi sesuatu yang gelap dan semu. Karena perilaku-perilaku tadi tidak didasari atas realitas dan esensi kerja. Kecenderungan politik simulasi muncul dengan berbagai wujud. Wujud-wujudnya adalah berupa polling, pemilu, media-media publik seperti opini publik, tayangan-tayangan publik seperti talk show.

Polling sering digunakan di dalam dinamika politik nasional. Contohnya, baru-baru ini saja terjadi polling yang cukup menghebohkan. Lembaga survei Indobarometer merilis tentang persepsi publik terhadap kepemimpinan negara ini. Soeharto, sebagai presiden terlama dalam jabatannya, menduduki peringkat pertama. Spesifikasinya adalah, Soeharto mendapat 36,5% dari 1.200 responden (domisili responden hanya di Jakarta), SBY mendapat 20,9%, sementara presiden lainnya berada di bawah kisaran 10%. Di satu sisi pembicaraan perihal kepemimpinan Soeharto masih dianggap kontroversial, namun pada kesempatan survei ini justru Soehartolah yang mendapatkan perhatian publik.

Pada kesempatan Pemilu elektoral 2009 kemarin pun polling (survei) tidak luput dari dinamika politik. LSI (Lembaga Survei Indonesia), Juli 2009, menyatakan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah mencapai 85%. Lalu di awal tahun berikutnya dimunculkan lagi survei yang sama, yang menyatakan bahwa kepuasan publik menurun 15% atau menjadi 70% dari 2.900 responden.

Polling, opini publik, pemilu, dan talk show hanyalah serangkaian upaya-upaya pembentukan citra ke publik tanpa pembahasan persoalan yang lebih esensial. Contohnya adalah kedua survei di atas, pandangan terhadap kepemimpinan dan kepuasan publik tidak hanya sebatas menjajaki pendapat. Hal utamanya adalah menjajaki kualitas kepemimpinan dan hakikat kepuasan sosial yang bersifat kesejahteraan, bukan sebatas perilaku semu berupa survei. Apalagi tindakan-tindakan survei bersifat terbatas atas respondennya. Terbatas dalam wilayah dan terbatas dalam pemahaman. Dari keterbatasan-keterbatasan itulah unsur-unsur simulasi dirangkai oleh pelaku survei dengan “seolah-olah” survei merupakan hasil akhir yang bersifat nyata.

Akibat dari seringnya politik simulasi ini adalah anggapan publik terhadap wujud-wujud simulasi ini merupakan hal yang biasa, lumrah, dan sewajarnya. Padahal, sebuah simulasi berada dalam lingkaran hyperrealitas, yang bagi Baudrillard sama halnya dengan hyperseksualitas, yang diwujudkan seolah-olah beranjak dari realitas. Contoh sederhana dari simulasi adalah film. Film dirangkai menjadi sebuah tontonan atas kerja-kerja pekerja film dan konsepsi-konsepsi pekerja film. Jadi film hanyalah suatu wujud manipulasi realitas yang telah disusun oleh pekerja filmnya.

Keberadaan perilaku-perilaku politik simulasi sebaiknya kita, sebagai bagian dari publik, mampu memahami tindakan-tindakan yang bersifat nyata dan esensial yang sedang dilakukan oleh politikus. Sebab, tanpa pemahaman itu kita justru akan semakin teraduk-aduk dalam kubangan yang tidak lagi mampu membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment