Oleh : Khamid Istakhori*


Hidup di pabrik, bagai di bui
Banyak yang harus dipatuhi
Kepala tertunduk diujung jari
Di ini itupun tak peduli
Seakan hidup telah dibeli

(Lagu “Hidup di Pabrik”)


“Saya percaya Bintang Buruh dan saya tak percaya pada Undang-undang perburuhan. Sebab saya tahu Bintang Buruh dibuat oleh pengurus serikat buruh yang berpihak pada buruh. Sementara undang-undang perburuhan? Entah dibuat oleh siapa…”

(Ilham, buruh yang bekerja di Karawang, dikutip dari terbitan Bintang Buruh)


Petikan yang saya tulis di atas, rasanya cukup bagi kita untuk sekedar “menebak” apa yang terjadi dengan buruh saat ini, lebih tepat lagi ketika kemudian pertanyaannya dilengkapi menjadi: apa yang terjadi dengan hukum perburuhan Indonesia saat ini. Dua penggalan kalimat di atas, memberikan konfirmasi kepada kita betapa buruknya kondisi buruh yang disebabkan oleh buruknya hukum perburuhan.

Buruknya hukum perburuhan implikasinya sangat langsung terasa di kehidupan keseharian para buruh di tempat kerja, membuat mereka bekerja tanpa rasa nyaman. Tempat kerja, yang seharusnya menjadi tempat nyaman, ruang ideal bagi mereka mencurahkan kemampuannya untuk menghasilkan barang produksi dan jasa dengan kualitas terbaik, tak lebih terasa bagai bui karena begitu banyaknya aturan “yang harus dipatuhi.”

Ini sama sekali bukan ungkapan buruh yang berjehendak untuk tidak patuh terhadap hukum dan sedang menceritakan bahwa mereka pembangkang terhadap hukum, tapi ekspresi pahit getirnya hidup mereka di pabrik karena hukum, ditafsirkan sebagai kekuasaan tak terbatas oleh satu pihak yang berkuasa mewakili kuasa modal, baik itu muncul dari mulut mandor, supervisor maupun yang lainnya.

Sementara penggalan kalimat yang ke dua, sejujurnya -harus diakui- ditulis dari kecerdasan luar biasa seorang buruh di pabrik yang mampu membuat kesimpulan sederhana tetapi sejatinya sangat dahsyat bahwa hukum perburuhan sama sekali tak berpihak pada buruh, karena dibuat oleh segerombolan orang yang –bukannya tak mengerti kebutuhan buruh- tetapi memang tak mau peduli dengan kebutuhan buruh kecuali hanya menempatkan buruh dalam posisi yang serba sulit dan samakin terjepit.


Hukum Perburuhan Menjadi Sumber Masalah

Kebijakan perburuhan terbukti tidak pernah muncul tiba-tiba. Ia senantiasa dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu yang disusupkan dalam grand strategy kebijakan nasional.

Trauma tiga paket kebijakan perburuhan (UU 21 Tahun 2000, UU 13 Tahun 2003 dan UU 2 Tahun 2004) belum usai, hingga kinipun kaum buruh Indonesia masih harus bersiaga karena teror revisi UUK dan deregulasi yang terus menghantarkan kondisi hukum menjadi lebih buruk.

Tiga paket kebijakan perburuhan tersebut dilatarbelakangi oleh program globalisasi Multinational Corporation (MNC) yang didirikan oleh negara-negara kaya kapitalis di dunia. MNC inilah yang kita kenal antara lain sebagai IMF dan World Bank dan lembaga rentenir lainnya yang hanya fasih menghisap darah rakyat di belahan negeri manapun.

Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, IMF menawarkan pemberian utang kepada Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan perubahan beberapa kebijakan agar lebih menguntungkan negara-negara kapitalis tersebut.

Dalam salah satu pasal dalam Letter of Intent dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan beberapa perubahan yang berkaitan dengan perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility labour market atau dalam bahasa awam dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat fleksibel:

Following the major reform of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market.


Buruh, Komoditi Murah Pemerintahnya

Liberalisasi hukum yang semakin menjadi-jadi dan tak terkendali, menjadi keniscayaan implikasi dari tekanan pihak asing yang cengkeramannya terasa semakin kuat menusuk ketika negeri ini didera krisis ekonomi pada tahun 1997. Hal demikian, secara otomatis akan membuat undang-undang tersebut disusun secara membabi buta menabrak mekanisme pembuatan undang-undang yang semestinya bersifat partisipatif dengan melibatkan publik dalam penyusunannya. Dan tiga paket kebijakan perburuhan yang memang bermasalah sejak awal tersebut, menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana prinsip keterlibatan rakyat dalam proses penyusunannya ditabrak tanpa ampun.

Kalaupun kemudian ada “keterlibatan” serikat buruh, dapat dipastikan itu adalah tipu-tipu muslihat yang hanya digunakan sebagai formalitas dengan aroma sogokan yang sangat kuat. Lagi-lagi, buruh dikorbankan, ironisnya oleh elit serikat buruhnya sendiri. Sehingga, seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini, substansi UUK pun memiliki banyak masalah di sana sini, masalah-masalah tersebut ada yang secara nyata telah dialami oleh pekerja adapula yang berpotensi menimbulkan masalah bagi pekerja.

Memang rencana pemerintah untuk melakukan revisi UUK yang buruk tersebut menjadi semakin buruk telah berhasil ditunda (bukan digagalkan) oleh gerakan massa buruh yang secara bergelombang melakukan perlawanan pada tahun 2006, tetapi upaya jalan melingkar menuju pembusukan tetap saja dijalankan. Dan sialnya, semua dilakukan pemerintah dengan dalih yang tegas: demi mengalirkan investasi ke dalam negeri. Ini artinya dapat dibaca pula sebagai langkah tegas: demi terpuruknya kondisi buruh Indonesia.


Kekuatan Di Tangan Buruh

Kondisi yang buruk tersebut, tentulah akan menjadi mimpi yang buruk kalau kita tidak segera bergegas mengupayakan jalan perlawanan secara bersama, bukan terpecah belah dalam berbagai warna yang seakan berbeda dan sulit menyatu hanya karena perbedaan pendapat para elitnya, tetapi upaya perlawanan yang dibangun secara serius dengan mengedepankan kebangkitan perlawanan gerakan buruh Indonesia secara luas. Baik di level kota-kota, daerah terlebih lagi skala nasional.

Kekuatan kita, gerakan buruh ini tentu terletak pada tangan buruh itu sendiri. Jangan berharap kepada kekuatan di luar, karena mereka telah dengan sistematis dan terstruktur memberangus masa depan buruh. Lihatlah apa yang tertulis sebagai pembuka tulisan ini di atas, dari seorang buruh di pabrik yang dengan kesadaran dahsyatnya telah mengingatkan kepada kita untuk tidak percaya kepada siapapun di luar sana, “Saya percaya Bintang Buruh dan saya tak percaya pada Undang-undang perburuhan. Sebab saya tahu Bintang Buruh dibuat oleh pengurus serikat buruh yang berpihak pada buruh. Sementara undang-undang perburuhan? Entah dibuat oleh siapa…”

Kekuatan buruh berada di tangan buruh yang sadar membangun persatuan dengan elemen masyarakat lain yang juga berlawan, apakah itu kaum tani, mahasiswa, miskin kota atau siapapun. Sebab hanya dengan persatuan bersama merekalah, kekuatan buruh akan menemukan daya manfaatnya.

Mari membangun persatuan untuk berlawan!
Mari berlawan, agar hidup tidak semakin gelap!


* Penulis adalah mantan Sekjen PP KASBI dan sekarang aktif di dalam Komite Solidaritas Nasional (KSN) –sebuah Komite yang fokus untuk perlawanan terhadap Sistem kerja Kontrak/Outsourcing, Union Busting & Privatisasi- dan juga sebagai staff departemen pendidikan pada Federasi Serikat pekerja Karawang Jawa Barat. Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment