Oleh : Indrawan *


Pada hari Minggu 30 April 2006, tepat lima tahun yang lalu, dunia sastra di tanah air, bahkan mungkin dunia, telah kehilangan seorang penulis yang selama 81 tahun hidupnya, lebih dari setengahnya dihabiskan untuk menulis karya-karya fenomenal. Karya-karya yang selama pemerintahan orde baru dibredel, tetapi sekarang malah dipuja-puja. Karya yang selama pemerintahan otoriter itu dilarang, bahkan dibakar, sekarang malah banyak jadi konsumsi publik mulai dari yang tua sampai generasi muda.

Bicara sastra, Pram memang fenomenal. Ia adalah seorang penulis yang telah menerbitkan kurang lebih 50 buku yang juga sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Pram menjadi penulis yang paling rajin memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Namanya sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra. Penghargaan, yang anehnya malah banyak datang dari luar negeri, menghiasi rumahnya di kawasan Tanah Abang. Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Sang Pemula, Rumah Kaca, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik adalah beberapa contoh karyanya yang fenomenal itu. Hampir semua karya-karyanya adalah berdasarkan cerita sejarah perjalanan bangsa ini, walaupun memang Pram tidak hanya menulis roman-roman sejarah saja.

Penulisan roman sejarah memang menjadi karya Pram yang sangat menonjol. Penonjolan masalah-masalah sosial, politik, budaya, ekonomi Indonesia pada sekitar abad 20-an awal ditampilkan secara menarik olehnya. Apalagi dengan paduan sentuhan percintaan serta suasana psikologis antar lakonnya membuat karya-karyanya seperti dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah menjadi tidak hanya bertujuan mengkritik pemerintahan kita saat itu, tetapi juga dapat dinikmati semua kalangan, bahkan yang “buta” politik sekalipun.

Melalui roman sejarah ia memperingatkan bahaya-bahaya eksternal dan internal yang dihadapi bangsa ini. Melalui roman sejarah pula ia melestarikan dan mendekatkan kita secara afektif dengan masa lalu kita. Olehnya, berbagai rangkaian peristiwa sejarah yang pernah dialami bangsa ini menjadi hidup dan nyata dalam hampir setiap karya-karyanya. Pram telah mampu menyatukan pengalaman hidupnya yang sama kelamnya dengan perjalanan sejarah bangsa ini menjadi sebuah karya sastra yang sangat luar biasa sehingga tidak hanya dihargai oleh insan dalam negeri tetapi juga mancanegara.

Pramoedya Ananta Toer sendiri dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra. Hal ini yang nantinya membuat ia bermasalah dengan dengan rezim Orba.

Kebiasaan Pram sepulang dari Belanda adalah menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintah ketika itu. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para perempuan Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Akhirnya, nalar kritisnya itu membawa Pram berkenalan sendiri dengan Pulau Buru selama masa 1970-an sebagai seorang tahanan politik Orba.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif pada tahun 1995. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI tahun 2000, dan pada tahun 2004 diberikan penghargaan Norwegian Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

Semua rekognisi ini membuktikan karyanya diakui warga dunia, walau rezim Orba ketika itu mengecam karena Pram dianggap berbau kiri. Di rezim ini pula Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri. Beberapa kali diri kepengarangannya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Dan itu terjadi pada seluruh manusia Indonesia yang dicap sebagai tapol ataupun ET, yang dituduh terlibat gerakan makar. Walaupun secara ide ia dimatikan, Pram juga mengatakan bahwa mekanisme kreativitaslah yang menggugah tanggapan senang atau tidak, benci atau tidak, sampai-sampai orang melarang, membakar atau memujanya.

Bagi Pram, pembelaan terhadap Indonesia dimulai dengan menampilkan pengetahuan tentang masa lalu Indonesia dalam bentuk karya-karya sastra. Karya yang ia harapkan dapat merubah nasib negeri ini di masa depan. Karena itu, sungguh tragis ketika bagi Pram negeri ini dicabik-cabik oleh kekerasan dan eksploitasi yang mengakibatkan Indonesia tidaklah menjadi seperti harapannya dulu. Dan lebih tragisnya lagi saat dirinya akhirnya menyerah melawan diabetes, penyakit jantung, dan ginjal yang menggerogoti tubuhnya. Ia pun akhirnya meninggalkan kita semua untuk berpulang ke rumah abadinya di sana. Selamat jalan Pram, Jejak Langkah-mu akan selalu dikenang oleh Anak Semua Bangsa!


* Penulis adalah penikmat sastra, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment