Oleh : Kusrinani*

Baru-baru ini dunia pendidikan dikagetkan dengan terkuaknya salah satu bentuk praktek komersialisasi pendidikan di kampus Universitas Airlangga (Unair). Kampus ternama di Surabaya yang berdiri sejak tahun 1954 ini telah semakin komersil dan mahal. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan tentang kewajiban pembayaran sumbangan Ikoma (Ikatan Orang Tua Mahasiswa) di luar beban biaya SPP.

Praktek komersialisasi ini terlihat nyata saat kita membahas tentang keberadaan sumbangan Ikoma. Sebagai contohnya seperti di Fakultas Hukum setiap mahasiswa yang melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) wajib membayar Ikoma sebesar Rp 4.000.000 dan dibebankan lagi biaya per semester Rp. 200.000 pada tahun angkatan 2010.

Di Fakultas Ilmu Budaya yang awalnya tahun 2006 masih sebesar Rp. 60.000/semester, pada tahun 2007 naik menjadi Rp. 100.000/semester dan yang sungguh menakjubkan pada tahun 2008-2010 naik 450%, mencapai sebesar Rp. 450.000/semester.

Kondisi sama juga terjadi di Fakultas Sains dan Teknologi yang awalnya tahun 2005-2009 hanya sebesar Rp. 50.000/semester, pada tahun 2010 mengalami kenaikan yang drastis mencapai 600% yaitu, Rp. 300.000/semester. Dan kejadian ini merata terjadi di semua fakultas yang ada di Unair.

Sumbangan Ikoma ini pada dasarnya bersifat sukarela, namun dalam prakteknya kemudian di sebagian besar Fakultas di Unair berubah menjadi sumbangan “wajib.” Pergeseran dari sukarela menjadi wajib ini merupakan buah rekayasa Birokrasi Unair dengan segenap kekuasaan yang mereka miliki membuat aturan bahwa bagi para mahasiswa yang belum membayar Ikoma tidak diperbolehkan untuk mengurus Kartu Hasil Studi (KHS), Kartu Rencana Studi (KRS), serta tidak akan bisa mengambil ijasah ketika nantinya telah lulus menyelesaikan studi di Unair.

Kesepakatan penetapan besaran nominal sumbangan Ikoma yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tersebut juga tidak melibatkan secara menyeluruh para orang tua mahasiswa. Kalaupun terdapat orang tua mahasiswa yang diundang rapat dan kemudian menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Birokrasi Kampus, posisi mereka sangat lemah. Para orang tua mahasiswa yang datang secara umum langsung disodori dengan beberapa pilihan nominal pembayaran yang sebelumnya secara sepihak sudah ditentukan oleh Pengurus Ikoma dan Birokrasi Kampus.

Bahkan parahnya, dari segi hukum, keorganisasian dan juga pengelolaan dana Ikoma ini sangat tertutup sekali. Dari segi hukum, keberadaan organisasi dan sumbangan Ikoma ini juga tidak ada kejelasan payung hukumnya. Dari segi keorganisasian, struktur Ikoma sangat tertutup dan cenderung para orang tua mahasiswa dan para mahasiswa sendiri tidak mengetahui secara jelas siapa saja pegurusnya, apa programnya dan juga kapan rapat organisasi ini. Serta dari segi pengelolaan, selama ini transparansi anggaran terkait jumlah sumbangan yang terkumpul dan juga kemana saja aliran dana IKOMA ini juga tidak ada. Sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kemudian banyak muncul berbagai keluhan, keresahan dan pertanyaan dari sebagian besar mahasiswa Unair terkait keberadaan organisasi dan sumbangan Ikoma ini.

Selama ini, birokrasi kampus secara terang memang telah berhasil mengelabui para orang tua mahasiswa dan juga mahasiswa dengan dalih kampus ini kekurangan dana, sehingga penarikan sumbangan Ikoma selama ini tidak banyak menimbulkan penentangan serta perlawanan yang luas dari kalangan mahasiswa. Padahal dalih yang disampaikan birokrasi kampus itu pun belum tentu kebenarannya pula, karena selama ini mahasiswa Unair tidak pernah diberi transparansi terkait anggaran pendidikan yang ada di Unair.

Seandainya pun kampus Unair kekurangan dana tentunya birokrasi bisa tegas menyampaikan kepada pemerintah untuk menambah anggaran pendidikan, bukan sebaliknya membebankan kepada para mahasiswa. Apalagi hal ini secara jelas sudah diatur dan ditegaskan dalam Pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan negara wajib untuk membiayainya.

Kampus yang diharapkan sebagai bangunan alat untuk mencerdaskan rakyat yang mudah untuk diakses oleh rakyat dan tentunya hasil-hasil akademisnya mampu berguna untuk kepentingan kesejahteraan rakyat tapi nyata-nyatanya telah berubah menjadi praktek bisnis.  Praktek seperti ini  hanya menguntungkan sekelompok orang dan menjadikan pendidikan sebagai barang mewah yang tidak semua kelas masyarakat bisa mengakses pendidikannya dengan murah .    Hal ini berarti pemerintah telah gagal menjalankan amanat dan tujuan konstitusi kita UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Alih-alih otonomi kampus padahal sebenarnya ini adalah praktek swastanisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan dan celakanya lagi hal ini dilindungi olek praktek legal Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi dasar negara ini.


Saatnya Melawan Penindasan

Gerakan perlawanan di kampus Unair telah mulai dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa progresif yang sadar akan pembodohan dan penindasan pendidikan di kampusnya. Mereka tergabung dalam FAM Unair (Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga). Kawan-kawan mahasiswa inilah yang siap menjadi pelopor dan martir perubahan untuk penghapusan kebijakan pembayaran Ikoma meski konsekuensinya mereka terancam terhambat bahkan sampai tidak bisa meneruskan proses akademiknya.

Dengan melakukan kampanye, propaganda di dalam kampus dengan menggelar aksi sejuta tanda tangan dukungan untuk menghapus Ikoma dan aksi boikot untuk tidak membayar Ikoma membuat mata dan telinga birokrasi di kampus Unair pun terganggu. Hal ini membuat para pejabat-pejabat Unair ini saling lempar tanggung jawab antara pihak rektorat dengan fakultas. Tentu saja ini adalah preseden yang buruk dalam dunia pendidikan, kampus tempat kaum intelektual tetapi prakteknya menjalankan pungli layaknya preman.

Aksi kawan-kawan mahasiswa ini pun membuahkan hasil dengan dikeluarkannya SK Rektor yang menghapuskan kewajiban unutk membayar sumbangan Ikoma. Lantas bagaimana dengan pungli Ikoma yang terlanjur masuk? SK Rektor memang telah keluar, tapi di salah satu butirnya melegalisasi pungli yang selama ini terlanjur masuk dan menyatakan bahwa hal itu dibenarkan dan artinya tidak akan ada pengembalian atas restribusi pungli Ikoma tersebut.

Perjuangan belum usai saatnya membawa hal ini ke dalam wilayah hukum dan tetap harus dikawal dengan aksi-aksi mahasiswa yang revolusioner dan didukung oleh gerakan rakyat seperjuangan untuk menghapus praktek-praktek korupsi dan pungli yang nyata-nyata telah meracuni dunia pendidikan kita.


* Penulis adalah pemerhati pendidikan, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment