Oleh : Oki Hajiansyah Wahab*


Sudah 22 hari Sugeng meringkuk di sel Polsek Gedongtataan, Pesawaran, atas sangkaan mengambil scrap (karet kering) sekitar 1 kg milik di PTPN VII Way Lima,Lampung. Polisi menjeratnya dengan Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dengan ancaman pidana lima tahun penjara. Sejak Sugeng ditangkap, perekonomian rumah tangganya praktis morat-marit. Ngatiyem, istri Sugeng hanyalah seorang tukang pembersih kebun dengan upah Rp15 ribu/hari. Sugeng yang telah bekerja selama puluhan tahun, sejatinya merupakan tulang punggung keluarga yang menanggung kebutuhan lima anaknya. Ngatiyem, istri Sugeng juga mempertanyakan mengapa suaminya bisa dipenjara karena mengambil scrap padahal, karyawan PTPN VII lainnya juga kerap membawa scrap. Menurut Ngatiyem scrap tersebut biasanya digunakan untuk membuat api saat memasak. Kalaupun memang bisa dijual, sangat sulit mencari orang yang mau membeli scrap seberat 1 kg. Lebih lanjut Ngatiyem juga mengungkapkan bahwa karyawan lainnya juga biasa mengambil scrap sebagai bahan untuk menghidupkan api di tungku masak.

Demikianlah penggalan tulisan berseri yang ditulis Hendry Sihaloho Wartawan Lampung Post, 22-24 Februari 2011 lalu. Penulis yang penasaran mencoba menyimak tulisan berseri tersebut. Hendry dengan instingnya sebagai jurnalis mengangkat kasus ini sebagai potret buramnya penegakan hukum bagi masyarakat miskin. Hendry yang sesungguhnya bertugas di liputan kriminal wilayah kota Bandar Lampung rela pergi keluar wilayah liputannya ketika mendengar kasus ini.

Kasus yang dialami Sugeng ini segera mengingatkan penulis pada kasus Minah seorang nenek tua dari Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah yang dibawa ke Pengadilan karena mengambil beberapa buah coklat milik PT Rumpun Sari Antan (PT RSA). Nenek Minah kemudian didakwa melanggar pasal 362 KUHP yang secara legal-formal dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian oleh Jaksa. Meskipun pada akhirnya, Minah dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan dijatuhi vonis pidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan, Hakim Muslich Bambang Luqmono yang memimpin persidangan kasus tersebut sempat menangis saat membaca putusan.

Kasus Minah dan Sugeng sekilas memang kelihatan sepele -hanya tiga kakao dan 1 kg scrap- tetapi sesungguhnya di balik itu sarat dengan perselisihan paradigma sehingga mudah terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Jika kita cermati Nenek Minah saat itu dipidana karena PT RSA tetap bersikeras agar kasus ini tetap diteruskan ke Pengadilan agar menjadi shock therapy. Hal yang sama juga dialami oleh Sugeng, dalam tulisan berseri tersebut juga dituliskan Humas PTPN VII mengatakan terpaksa mengambil tindakan tegas agar karyawan lain tidak mengikutinya.

Sejarawan, Michael Zinn mengungkapkan hukum sangat berpotensi mereproduksi sumber‐sumber alienasi (alienation) dan tekanan (oppression). Konteks ini yang sesungguhnya bisa menjelaskan karakter hukum yang tampak congkak dan kejam di mata orang‐orang miskin. Kasus Minah, Sugeng dan banyak masyarakat miskin yang sejatinya hanyalah korban pemiskinan struktural tentunnya mengusik rasa keadilan publik. Hukum tampak begitu garang bagi masyarakat miskin namun tampak lembek bagi para koruptor yang jelas-jelas telah merugikan negara.

Sebagai bahan kajian komparatif KUHP asing di beberapa negara (antara lain di Armenia, Belarus, Brunei, Bulgaria, China, Jerman, Latvia, Macedonia, Perancis, Romania, Swedia, dan Yugoslavia) bahwa suatu perbuatan -misalnya pencurian- walaupun telah memenuhi rumusan delik dalam UU dapat dinyatakan tidak merupakan tindak pidana (asas Judicial Pardon), apabila: (a) tidak menimbulkan bahaya publik atau sangat kecil bahaya sosialnya; (b) tidak ada bahaya sosialnya; (c) tidak berbahaya bagi masyarakat atau sifat bahayanya sangat kecil; (d) bahayanya sangat kecil atau tidak besar; (e) ada keadaan-keadaan yang meniadakan/menghapus pertanggungjawaban pidana (Barda Nawawi Arief, 2006).

Suatu perbuatan walaupun telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dapat dinyatakan tidak merupakan tindak pidana (maksimal tindak pidana ringan), apabila tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya. Dalam kasus Sugeng kita akan melihat apakah hukum akan ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku atau justru sebaliknya.

Hal yang harus kita ingat adalah bahwasannya dalam pengadilan, yang mengadili dan diadili bukan benda mati, sesungguhnya bukan totalitas kognitif dan logika tetapi juga tak terhindarkan hubungan kemanusiaan. Seharusnya dalam Kasus Sugeng dapat diselesaikan melalui proses restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan. Terlebih lagi, dalam Rancangan KUHP yang baru sudah diatur model penyelesaian restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan untuk kasus-kasus yang implikasi sosialnya kecil dan tidak membahayakan individu/publik (Widodo Dwi Putro, 2010).

Satu hal yang tak boleh dilupakan bahwa fakta yuridis, yakni fakta-fakta dari sebuah kasus dalam masalah hukum, juga tidak begitu saja terberi, melainkah harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam konteks aturan hukum yang relevan, untuk kemudian diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum. Jadi, fakta yuridis bukanlah “bahan mentah,” melainkan fakta yang sudah diinterpretasi dan dievaluasi (Sidharta, 2008).

Dalam kasus Nenek Minah, Polisi dan Jaksa membawa kasusnya ke pengadilan karena hanya memahami teks hukum dengan logika tertutup. Disebut tertutup karena teks hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Sistem logika tertutup memiliki karakter hanya mengejar kebenaran formal prosedural (Sidharta, 2007). Apakah hal yang sama akan dialami oleh Sugeng, kita masih akan menunggu perkembangannya.

Hukum sesungguhnya adalah pergulatan manusia tentang manusia, keadilan adalah suatu konsep yang jauh melampaui hukum. Keadilan itu berada dalam wilayah nomena, dan hukum itu adalah fenomena. Hukum tanpa keadilan kurang layak disebut hukum, tetapi keadilan tanpa hukum tetaplah keadilan. (Widodo Dwi Putro, 2010). Kasus Sugeng dan banyak masyarakat miskin lainnya bisa menjadi refleksi bahwa penegakan hukum di negeri ini seringkali masih berlangsung tanpa mendengarkan hati nurani, yaitu rasa keadilan dan kemanusiaan. Akhirnya Roscou Pond pernah mengatakan “mari kita tidak jadi biarawan hukum, yang hanya menikmati atmospir kemurnian hukum dengan memisahkan hukum dari kehidupan keseharian dan elemen kemanusiaan.”


* Penulis adalah peminat masalah hukum, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment