Oleh : Lae Gumbara*


Sekira delapan tahun yang lalu, satu persatu dari (awalnya berjumlah) seratus empat pengrajin mebel ini membangun lapak-lapaknya di sepanjang bantaran kali garang, kota Semarang, Jawa Tengah. Dahulu, mereka membeli petak lahannya dari warga sekitar bantaran. Keputusan mereka untuk coba mengadu nasib lewat usaha per-mebel-an bukanlah tanpa sebab, lapangan pekerjaan yang tak kunjung didapatkan di kota Semarang menjadi alasan paling pokok dari pilihan mereka. Dan di waktu itu usaha mebel cukup menjanjikan, bukan saja untuk usaha perorangan tetapi sebagai kelompok dan pendapatan pajak pemda.

Situasi mulai berubah drastis awal tahun 2009, hari yang tadinya selalu mereka isi dengan kreativitas dan inovasi dengan hasil karya produk mebel yang kebanyakan dikonsumsi golongan ekonomi menengah ke bawah ini, berubah menjadi hari yang mencekam. Ketidakpastian bagi kenyamanan berkarya, kehilangan lapak untuk berusaha pun menjadi ancaman yang semakin nyata hari demi harinya. Sumbernya adalah kebijakan Pemda Kota Semarang yang akan menggusur penghuni bantaran kali dengan dalih penataan kota.

“Sudah hampir dua tahun, sejak proyek banjir kanal barat dimulai, kami dihantui oleh ancaman penggusuran dan pembongkaran paksa lapak-lapak tempat kami berusaha. Padahal sedikit pun tidak ada niatan dari kami untuk menghambat atau menghalang-halangi proyek penanggulangan banjir kota Semarang ini. Alasan kami tetap bertahan adalah demi sesuap nasi karena sampai sekarang belum ada tawaran konkrit yang diberikan oleh pihak Pemerintah Kota Semarang bagi kelangsungan hidup kami dan keluarga ke depannya,” tutur Kardi, salah seorang pemilik lapak.

Dua tahun bukan waktu pendek, masyarakat menyadari ada bahaya dan mencoba membangun kekuatan. Usaha berdialog ke semua unsur pemda sudah dilakukan, tetapi janji demi janji telah menjadi pelangi yang indah tanpa bisa direngkuh. Dan ujungnya adalah senin pagi (6/12) mendadak menjadi riuh, terlebih saat puluhan anggota Satpol PP membongkar paksa lapak-lapak milik para pengrajin mebel yang ada di sepanjang bantaran kali. Perlawanan (terakhir) pun dilakukan para pengrajin untuk coba mempertahankan kelangsungan hajat hidupnya alias lapak-lapak usahanya. Jumlah pun tak berimbang sekitar lima puluhan pengrajin mebel bantaran Kali Garang yang masih bertahan ini tidak kuasa menghadang keberingasan Satpol PP dan Polres Kota Besar Semarang. Lapak-lapak itu pun rata dengan tanah pagi itu.

Sakit dan benci itu menyatu, lapak sebagai tempat kerja produksi mereka telah hancur tanpa usaha memindahkan pada tempat yang sesuai dengan kemauan warga, tempat yang representatif untuk usaha. Dan jelas perilaku pemda dengan menggunakan kekuatan Satpol PP sangat bertolak belakang dengan semangat Perda No. 04 Tahun 2008 tentang penanggulangan kemiskinan di Kota Semarang yang menyebutkan dengan tegas bahwa warga miskin (di Kota Semarang) mempunyai hak atas pekerjaan dan berusaha.

Inilah sekilas potret dari salah satu daerah di Semarang, kawasan Jalan Basudewo, pinggiran Kali Garang.

***

Masyarakat kini tak berhenti dari perjuangannya, walau tempat telah sirna tetapi kesadaran baru telah muncul, bahwa pemda tidak lagi memihak kepentingan warga masyarakat. Termasuk pengetahuan baru bahwa masyarakat harus berorganisasi, berkumpul menyatukan kekuatannya melawan setiap usaha penindasan. Pengetahuan baru pun didapat dari para pelaku hukum yang mengaku membela rakyat, ternyata lari dari kenyataan saat terjadi represif.

Kini harapan itu dibangun kembali di atas keyakinan agar masyarakat bisa mandiri mengatur kehidupannya. Memperkuat organisasinya di tempat baru, dalam kekuatan yang tersisa. Menjadi pelajaran penting saat kekalahan digusur dan dibuang begitu saja oleh pemda, karena alasan penataan kota. Padahal oleh warga diyakini salah satu sebab penggusuran karena mebel mulai kalah bersaing dengan produk pabrikan dari Cina dan pemkot memberi banyak peluang investasi ke pengusaha dari negara Cina.

Problem penggusuran tidak berdiri sendiri, selalu menghadirkan problem baru kepada warga yang digusur secara ekonomi, sosial dan psikologi. Ketahanan dari hal tersebut yang harus dipersiapkan oleh warga masyarakat menghadapi ”gilanya” rezim ini menerapkan pembangunan. Penggusuran selalu tidak berdasarkan kebutuhan warga masyarakat dan pembangunan yang menyejahterakan tetapi selalu bersandarkan kepentingan modal yang dibawa oleh pengusaha. Masyarakat harus menyadarinya untuk kepentingan ekonomi, sosial dan psikologinya di masa depan.


* Penulis adalah aktivis yang sedang mengadvokasi kasus penggusuran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment