Oleh : Minardi*


“Sosialisme jauh lebih baik ketimbang imperialisme yang diusung Amerika.” (Maradona)

Euforia kemenangan Tim nasional sepakbola Indonesia di ajang Piala AFF 2010 melanda rakyat Indonesia, khususnya pecinta bola. Lima kemenangan menuju final dan memberi peluang juara, memberikan “hiburan di tengah himpitan kesulitan hidup” bagi para penggila bola negeri ini. Kemenangan di lapangan hijau itu menimbulkan kebanggaan dalam berbangsa, rasa nasionalisme seolah lahir kembali. Di mana-mana kita temukan kibaran merah putih dan lambang Garuda serta teriakan, “Indonesia…Indonesia…”

Walau masih dalam bentuk simbol-simbol nasionalisme, seharusnya bisa menjadi awal yang baik bila terus dikembangkan menuju arah yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Namun melihat perkembangannya, rasa nasionalisme yang mulai tumbuh akan menuju pada kualitas buruk, yakni dijadikan lahan para elite politik berkampanye dan kapitalisasi olahraga makin menguat.

Prestasi timnas harus diacungi jempol dan diberikan apresiasi kepada pelatih beserta seluruh tim. Namun, sepakbola atau juga cabang olahraga lainnya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari segala kepentingan. Sebagai bagian dari dunia hiburan maka berbagai kepentingan akan menggunakannya sebagai alat mencapai tujuan yang paling mudah, apalagi mayoritas rakyat negeri ini mulai memberikan dukungannya.


Politisasi Timnas

Saat komptetisi bergulir, SBY mendatangi latihan Timnas sebelum berangkat ke Surabaya, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan saat Timnas berlatih. Dan menonton pertandingan saat semifinal di gelora Bung Karno berturut-turut dengan membawa seluruh rombongan lebih dari 100 orang serta pengamanan super ketat.

SBY yang sebagai presiden dan pembina salah satu partai politik tentu punya kepentingan besar dengan antusiasme rakyat Indonesia terhadap timnas. Maka kedatangannya saat latihan menjadi alat pencitraan yang paling mudah dengan dalih kepedulian terhadap sepakbola tanah air. Dan ini ditindaklanjuti dengan menonton pertandingan di stadion, bahkan pada semifinal kedua kita bisa lihat ada ketua partai politik dan beberapa menteri. Pertanyaanya, kenapa ini tidak dilakukan saat timnas terpuruk dan juga pada cabang olahraga lainnya, seperti bulutangkis, tenis, tinju.

Pencitraan ini memiliki minimal tiga segi keuntungan bagi SBY. Pertama, gratis karena semua dibiayai oleh negara, bisa jadi ini diindikasikan penyalahgunaan uang negara. Kedua, mampu menutup isu-isu miring karena pernyataan SBY sebelumnya tentang keistimewaan Jogjakarta yang telah mendapat reaksi keras rakyat Jogja. Ketiga, konsolidasi. Ujung dari pencitraan ini adalah konsolidasi dukungan atas kepemimpinan dan masa depan partainya. Lihat saja di laga kedua semifinal, terdapat para pimpinan partai dan menteri.

Pencitraan SBY tidak sendirian, di lain waktu ketua umum Golkar Aburizal Bakrie mengundang seluruh timnas beserta pengurus PSSI di kediamannya. Tidak hanya itu, Bakrie juga memberi bantuan tanah 25 Ha untuk dijadikan tempat latihan timnas dan dalam jangka dekat memberikan fasilitas penerbangan pribadi bagi timnas menuju Malaysia untuk pertandingan final.

Seolah peduli, memperhatikan prestasi timnas sepakbola. Padahal dalam sejarahnya grup Bakrie gagal membangun tim sepakbola yang berprestasi walau mendatangkan pemain internasional di era 1995-an. Kenyataan itu menambah sakit bagi korban Lumpur Lapindo, yang rumahnya terendam dan belum mendapat ganti rugi.

Ironi selanjutnya adalah pencitraan di kalangan PSSI. Dari awal turnamen, spanduk bertebaran di seputar Stadion Utama Bung Karno, yang isinya mendukung Nurdin Halid. Di lain pihak, para penonton digeledah agar tak membawa poster, spanduk dan semua barang yang mengkritik PSSI. Seperti diketahui, kalangan suporter dan kalangan pecinta bola di Indonesia sudah cukup lama meminta Ketua Umum PSSI mundur dari jabatannya karena berbagai kasus, khususnya kasus korupsi yang membawanya masuk penjara.

Tuntutan Nurdin mundur sempat menggema bahkan begitu menggelegar di dalam Stadion Bung karno saat pertandingan Indonesia melawan Laos, tetapi perlahan menghilang dan puja-puji mulai datang termasuk dari media massa. Prestasi timnas ini jelas kerja keras tim pelatih dan pemain, tetapi seolah ini keberhasilan pengurus PSSI dan pemerintah. Bahkan hal ini disadari penuh oleh pelatih timnas Indonesia, Alfred Riedl dimana tampak pada sebuah TV memberikan pernyataan “Kalau tim ini berhasil maka Ketua Umum PSSI dan pengurusnya yang dipuja-puji, tetapi bila gagal pasti caci-maki tertuju pada saya sebagai pelatih.”


Kapitalisasi Olahraga dan Lambang Negara

Di tengah euforia sepakbola dengan prestasi timnas, muncul gugatan soal pemakaian lambang negara yakni Garuda di dada kaos timnas. Lepas dari tepat tidaknya sesuai hukum, tetapi yang menarik dilihat adalah bahwa Garuda itu disejajarkan dengan logo perusahaan sponsor.

Bila kita tilik negara-negara lain, tidak ada yang menaruh lambang negara di kaos olahraga dan apalagi sejajar dengan logo perusahaan sponsor. Kita paling hanya melihat pemasangan bendera di kaos timnas negara lain atau logo organisasi olahraganya.

Patut kita sebut sebagai tindakan keblinger atas proses kapitalisasi olahraga di negeri ini, yang telah menguras uang negara tetapi masih mengambil sponsor yang disejajarkan dengan lambang Negara.

Sepatutnya kapitalisasi Garuda kepada pihat sponsor dihentikan dan itu harus beriringan dengan penghentian atas pencitraan di atas prestasi timnas. Karena yang terpenting adalah sepakbola harus dibangun selaras dengan kepentingan ekonomi politik untuk kemandirian bangsa dan kepentingan seluruh rakyat. Itulah sejatinya nasionalisme yang harus dibangun melalui olahraga.


* Penulis adalah pecinta bola dan pengurus serikat buruh di Cimahi, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment