Oleh : Muhammad Djali *

Grasi adalah salah satu hak presiden di ranah yudikatif yang dapat memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Sedangkan remisi adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan landasan inilah, hampir 300 lebih narapidana kasus korupsi pernah mendapat grasi dan remisi dari pemerintah.

Langkah pemerintah ini menuai kritik banyak pihak. Keputusan pengurangan masa pidana penjara itu bahkan diartikan bahwa pemerintah lebih berpihak pada koruptor dibanding memberi rasa keadilan hukum. Karena grasi dan remisi yang diberikan kepada narapidana tindak pidana korupsi menjadi hadiah dari pemerintah yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Grasi yang diterima mantan Bupati Kartanegara Syaukani Hassan Rais dikatakan sebagai pengecualian karena yang bersangkutan sakit. Semestinya hal ini tidak dilakukan karena apapun alasannya kasus korupsi merupakan kejahatan melawan kemanusiaan. Sedangkan sakitnya ini tidak boleh menjadi alasan negara memaafkan. Kalau alasan kemanusiaan, negara bisa merawat di rumah sakit tertentu dengan jaminan pelayanan yang layak.

Kebijakan ini memang terasa diskriminatif bagi narapidana lain. Kalau alasan kemanusiaan semestinya pemerintah juga memberi grasi kepada narapidana yang sakit tak tersembuhkan. Setahu saya, sampai saat ini pemerintah belum pernah memberikan grasi terhadap narapidana karena terinfeksi HIV/AIDS. Padahal HIV/AIDS merupakan salah satu faktor penyebab angka kematian di penjara.

Bagaimana dengan remisi? Remisi antara lain diberikan pada Aulia Pohan, besan Presiden SBY. Koruptor lainnya seperti Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan Widjanarko Puspoyo juga mendapat pengurangan hukuman. Sangat terasa jika Presiden SBY tidak memiliki komitmen dengan aksi pemberantasan korupsi yang telah berulang-ulang disampaikan dalam pidatonya. Justru para pelaku korupsi dapat menggunakan alasan apapun untuk lepas dari tuntutan hukuman.

Banyak celah yang disediakan oleh pemerintah untuk kasus korupsi. Sehingga pemberian remisi dan grasi bagi koruptor merupakan wujud ketidakseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Presiden SBY dianggap bermain-main dengan janjinya sendiri soal komitmen pemberantasan korupsi, padahal isu ini menjadi salah satu jualan politiknya saat kampanye Pilpres yang lalu. Pemberian grasi dan remisi terhadap para koruptor, juga dianggap melukai hati rakyat yang menginginkan penegakan hukum seadil-adilnya.


Opera Show Korupsi

Memang ada celah dalam perundang-undangan kita, sehingga pemerintah bisa memberikan grasi dan remisi ke siapapun. Sehingga, payung hukum pemberian ampunan (grasi) dan pengurangan hukuman (remisi) perlu dievaluasi ulang. Salah satunya harus memuat pencabutan pemberian remisi dan grasi bagi terpidana kasus korupsi. Sebab, pemberian grasi dan remisi pada koruptor tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.

Namun, jika undang-undang masih mengatur dan belum dicabut semestinya pemerintah bisa berpandangan lebih luas dalam menyikapi korupsi tanpa melanggar undang-undang. Kebijakan pemerintah tersebut justru berangkat dari cara pandang koruptor sebagai terpidana (yang selalu mohon ampun), bukan berangkat dari rakyat secara luas sebagai korban praktek korupsi (yang ingin koruptor jera). Justru kita melihat kualitas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar yang tidak menunjukkan rasa keberpihakannya kepada proses pemberantasan korupsi dalam remisi narapidana korupsi ini.

Sejak awal, pemerintah seharusnya melakukan tindakan represif bagi para koruptor. Grasi dan remisi hanya akan membuat para pencuri uang rakyat tersebut tidak kapok. Hukuman-hukuman bagi koruptor harus ditingkatkan, hingga penerapan sanksi sosial. Misalnya pelaku koruptor harus dimiskinkan, hukuman akumulatif seperti pidana maupun perdata, narapidana koruptor tidak boleh lagi menjabat sebagai pejabat publik. Kita perlu mencontoh di negeri Thailand, di negeri gajah tersebut, koruptor dihukum sekeras-kerasnya dan tidak diperkenankan menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah bebas.

Upaya- uapaya ini semestinya dilakukan oleh pemerintah kita. Saat ini wajah korupsi di Indonesia seperti opera show dalam penanganannya. Misalnya kasus kekerasan terhadap aktivis ICW yang melaporkan indikasi korupsi. Presiden sendiri yang turun tangan menjenguk dan memberikan pernyataan keras terhadap kekerasan dan korupsi. Namun, hingga saat ini kasus tersebut tidak ada baunya. Hal yang sama terhadap kriminalisasi KPK sebagai lembaga antibodi yang menjadi mandat konstitusi. Hingga sekarang presiden tidak mengambil sikap tegas atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi bahkan dilakukan oleh Kejagung dan Kapolri dalam persoalan rekaman Ari-Ade. Pemerintah nampaknya masih tidak bisa keluar dari opera show korupsi.


Daur Korupsi dan Upaya Melawan

Maka, Indonesia seperti menjadi negara subur korupsi dan aman bagi pelakunya. Selain karena tuntutannya yang ringan, setelah di penjara bisa menikmati fasilitas yang berbeda sesuai keinginan kita. Jika mau, kita bisa mengajukan grasi atau pengampunan dan juga remisi atau pengurangan. Setelah itu, kita bisa menjadi pejabat publik kembali tanpa ada sanksi apapun dari masyarakat dan negara. Dan tentu saja bisa korupsi kembali. Daur korupsi ini menujukkan jika memang kita lemah dalam persoalan pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Melihat situasi ini, penting kiranya kita melakukan berbagai langkah aksi. Pertama, mendorong sanksi sosial yang lebih efektif untuk membuat efek jera. Konsep ini perlu didorong dan dikampanyekan dengan berangkat dari pengalaman negara-negara lain yang sukses dalam memberantas korupsi, misalnya pemiskinan koruptor, kerja sosial bagi koruptor, pelaku korupsi dilarang menjadi pejabat publik. Kedua, mengawasi dan mengontrol institusi kejaksaan dan kepolisian agar serius dalam menangani kasus-kasus korupsi. Ketiga, kampanye hukuman sosial bagi pelaku koruptor, misalnya tidak mensholatkan jika mati, tidak mengajak berkomunikasi.

Berbagai aksi ini harus dilakukan untuk membantu pemerintah yang tidak lagi memilki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Kelompok masyarakat sipil dari ormas, akademisi, organisasi komunitas, dan aktor-aktor di luar negara lainnya harus bergerak dan peduli terhadap isu korupsi ini. Praktek ”koruptornya terus diburu tapi juga terus dimaafkan” seperti saat ini harus dihentikan.


* Penulis adalah Program Manajer PUNDEN Nganjuk, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang-Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment