Oleh : Ign Mahendra K*

Teknik interogasi diperbaiki (enhanced interrogation techniques) diadopsi oleh Pemerintahan George W Bush di Amerika Serikat untuk menggambarkan metode interogasi yang digunakan oleh intelijen militer AS dan Central Intelligence Agency (CIA) untuk mengambil informasi dari individu yang ditangkap dalam War on Terror segera setelah kejadian 11 September 2001.

Sementara pemerintahan Inggris menyatakan bahwa beberapa teknik tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan di bawah hukum Eropa. Penggunaan istilah “enhanced interrogation” itu sendiri, pertama kali muncul pada memo tahun 1937 oleh Kepala Gestapo Heinrich Muller. Istilah tersebut untuk menggambarkan penggunaan suhu dingin yang ekstrim, perampasan tidur, pemukulan berulang-ulang, sel yang dingin, waterboarding dan sengaja membuat lelah di antara berbagai teknik interogasi lainnya.

Menurut pengungkapan dari mantan maupun agen-agen aktif CIA salah satu teknik yang paling efektif adalah menempatkan subyek dalam posisi stres. Posisi stres adalah menempatkan tubuh manusia dengan cara tertentu sehingga sejumlah besar beban ditempatkan hanya pada satu atau dua otot. Salah satu bagian dari teknik posisi stres yang paling efektif adalah berdiri dalam jangka waktu yang lama.

Dalam cara tersebut subyek dipaksa untuk berdiri, diborgol dan kaki mereka dibelenggu di lantai selama lebih dari 40 jam. Teknik tersebut menghasilkan rasa sakit luar biasa, pergelangan kaki membesar, kulit menjadi “tegang dan sangat menyakitkan,” melepuh dan mengeluarkan cairan bening, detak jantung meningkat tinggi, ginjal berhenti bekerja dan khayalan semakin dalam.

Apa yang digambarkan di atas serupa dengan apa yang saya alami dengan kawan saya pada tanggal 14 November 2010. Keterpaksaan memaksa kami memasuki ruangan tersebut. Kapasitas ruangan tersebut seharusnya sekitar 100 orang namun diisi oleh lebih dari 150-an orang. Bahkan ada yang duduk dan tiduran di lantai, kamar mandi sempit pun sesak dengan orang-orang. Beberapa yang beruntung bisa menggunakan koran sebagai alas untuk melawan dinginnya lantai besi ruangan tersebut.

Sejak pertama kali masuk kami tidak mendapatkan tempat sama sekali untuk bergerak. Kami terpaksa harus berdiri di antara kerumunan sesak orang. Selama lebih dari 12 jam kami harus berdiri sering di atas tumit kaki kami. Pada beberapa jam pertama saya masih kuat untuk berdiri di kedua kaki saya, namun setelah itu sakitnya tidak tertahankan lagi. Saya mencoba mengistirahatkan satu kaki saya sementara menggunakan yang satunya untuk berdiri, namun teknik itu juga tidak bertahan lama.

Di tengah kesesakan dan kelelahan terpaksa mencari cara untuk mencoba menggeser posisi orang lain atau meminta orang lain untuk bergantian berdiri. Sehingga setidaknya dapat sekejap duduk atau bahkan jika beruntung (sayangnya saya tidak seberuntung itu) dapat berbaring.

Kamar mandi sama sekali tidak dapat kami gunakan. Satu-satunya waktu dimana kami bisa membuang hajat adalah ketika kami dapat keluar dari ruangan tersebut. Namun ternyata ketika kami dapat keluar dari ruangan tersebut ada ratusan orang yang juga bertujuan sama dengan kami. Kamar mandi yang adapun tidak cukup menampung ratusan orang tersebut. Orang kemudian menggunakan sembarang tempat yang ada, bahkan tempat terbuka.

Dengan begini maka mereka yang paling menderita adalah kaum perempuan. Karena mereka yang mengalami kesulitan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Semua itu harus dilakukan dengan cepat karena dengan ratusan orang, waktu dan ruang menjadi sangat terbatas. Jika kita terlambat maka ruang tersebut akan hilang meninggalkan kita. Jika begitu maka masalah baru akan kita hadapi, dan nyatanya seorang perempuan mengalami hal tersebut di akhir perjalanan kami.

Pada akhir perjalanan, tidak berarti penderitaan kami berakhir. Ya, karena ketidakmampuan PT Kereta Api Indonesia maka walaupun tujuan kami adalah ke Yogyakarta kami terpaksa turun di Solo. Kami membeli tiket kereta ekonomi Gaya Baru dari stasiun Jatibarang dengan tujuan Lempuyangan, Yogyakarta. Namun ketika kereta tersebut datang, kondisinya begitu penuh sesak sehingga banyak penumpang yang tidak dapat naik ke dalam kereta.

Maka kami dipaksa untuk memilih menunggu kereta ekonomi Gaya Baru berikutnya, yaitu pada keesokan hari atau menggunakan kereta ekonomi berikut yang akan datang. Kereta ekonomi berikut yang dijadwalkan datang adalah Kereta Matarmaja. Kereta yang melewati jalur utara dan stasiun pemberhentian terdekat dengan tujuan kami adalah Stasiun Solo Jebres. Ketika kami bertanya pada kepala stasiun Jatibarang bagaimana kami bisa melanjutkan perjalanan dari Solo ke Yogyakarta dia hanya berpaling dan mengatakan nanti coba tanya Kepala Stasiun Solo Jebres atau tunggu saja besok untuk naik kereta Gaya Baru.

Dengan menggunakan Kereta Gaya Baru seharusnya tiba di Lempuyangan pada pukul 21:31. Namun Kereta Matarmaja baru akan tiba di Solo Jebres pada pukul 00: 26, itu yang seharusnya terjadi menurut jadwal yang dikeluarkan oleh PT KAI. Namun nyatanya kami tiba di Solo Jebres sekitar pukul 2 dini hari. Setelah sepanjang perjalanan kami berdiri, dengan segala kelelahan, kepenatan dan keterbatasan kami pun harus melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.

Penderitaan yang dialami oleh rakyat pengguna kereta api ekonomi bukanlah satu kebetulan semata. Ini sudah menjadi pola yang berulang-ulang. Penumpang yang sering menggunakan jasa kereta ekonomi mengetahui di stasiun mana mereka sebaiknya turun untuk pergi ke kamar mandi. Demikian juga para penjual makanan di stasiun-stasiun tertentu telah menunggu persis di samping rel dan mengajak para penumpang kereta api untuk turun dan makan. Karena hanya di stasiun-stasiun tersebutlah kereta ekonomi akan berhenti cukup lama. Sehingga memungkinkan penumpang untuk ke kamar mandi ataupun mendapatkan makanan hangat.

Semua “pelayanan” (penyiksaan) tersebut bertolak belakang dengan besarnya gaji yang diterima oleh direksi PT KAI. Rata-rata direksi BUMN mengantongi take home pay di atas Rp 100 juta per bulan. Para direktur BUMN tersebut juga mendapatkan berbagai fasilitas seperti asuransi, fasilitas mobil mewah, bahan bakar dan sopir pribadi, hingga pulsa, telepon rumah, kartu kredit unlimited hingga gaji pembantu semua ditanggung oleh Negara.

Saya teringat kelakar kawan saya dalam perjalanan tersebut, dia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara modal bukan negara demokrasi. Buktinya kereta api ekonomi dengan penumpang yang jauh lebih banyak dari kereta api eksekutif diharuskan mengalah agar kereta api eksekutif dapat melaju lebih dahulu. Kalau ini demokrasi maka suara penumpang kereta api ekonomi jauh lebih banyak dari suara penumbang eksekutif. Tapi karena penumpang kereta api eksekutif membayar lebih banyak maka kekuatan modal mereka yang menang mengalahkan demokrasi.

Modal adalah sesuatu yang aneh, menjijikkan dan mungkin juga lucu. Semakin besar modalmu semakin kita didorong untuk mengakumulasikannya lebih banyak. Semakin besar modalmu juga maka semakin besar aksesmu kepada kenikmatan duniawi di tengah masyarakat kapitalis ini. Modal juga bisa memberimu akses kepada kekuatan politik yang besar. Tanpa modal yang cukup maka kau akan menjadi seperti tahanan War on Terror yang dipaksa masuk ke ruang penyiksaan (kereta api ekonomi).

Perspektif modal tidak mengenal belas kasihan, rasa kemanusiaan dan modal pasti bertentangan dengan perspektif kerakyatan. Kekayaan alam yang demikian besar ditambah sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini nyatanya tidak berujung pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Puluhan juta rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan, puluhan juta buruh mendapatkan upah yang jauh dari layak, jutaan pemuda menganggur dan tidak dapat sekolah.

Mungkin fit and proper test untuk pimpinan PT KAI bisa dilakukan dengan melihat kemampuan mereka bertahan di dalam kereta ekonomi dari Jakarta ke Surabaya. Yang paling jauh bertahan, berdiri, berdesak-desakan, tidak ke kamar mandi berjam-jam itulah yang paling cocok menjadi pimpinan PT KAI. Sehingga mereka memahami bagaimana penderitaan rakyat kecil menggunakan kereta api ekonomi dan memahami layanan yang harus diberikan oleh PT KAI.

Pun itu saja tidak akan cukup. Kita tetap harus berpikir bagaimana membangun sistem yang memungkinkan sumber daya, kekayaan bangsa ini dapat digunakan untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat. Termasuk salah satunya adalah menyediakan saranan transportasi yang layak, nyaman, aman, murah untuk rakyat.


* Penulis adalah Pengurus Perhimpunan Rakyat Pekerja, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment