Oleh : Hadi Purnomo*

Derita buruh migran memang seakan-akan tidak pernah ada habisnya. Kasus penyiksaan dan pembunuhan terhadap pahlawan devisa Sumiati dan Kikim di Arab Saudi membuat reaksi beragam di dalam negeri. Berbagai kecaman datang ditujukan ke Pemerintah Arab Saudi yang dianggap memperlakukan buruh migran ini layaknya budak.

Berbagai kritik dan aksi protes digelar untuk mengecam tindakan tersebut dan lemahnya pemerintah Indonesia dalam melindungi bangsanya sendiri. Atas peristiwa itu kedaulatan negara dan harga diri sebagai bangsa Indonesia dipertanyakan. Isu tentang nasionalisme dan kebanggaan atas Indonesia mencuat kembali ke permukaan seolah-olah menutup kekecewaan rakyat terhadap kemiskinan dan penindasan terhadap buruh yang terjadi selama ini. Isu ini seakan untuk melupakan bahwa selama ini ternyata di dalam negeripun rakyat setiap hari dilecehkan oleh penguasanya sendiri.

Isu tentang nasionalisme memang dengan mudah dihembuskan oleh para elite borjuasi karena memang dalam sejarahnya republik ini diproklamirkan dengan semangat nasionalisme melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) Belanda. Sayang kondisi itu kini dimanipulasi hingga rakyat pekerja tidak mampu lagi mengenali mana perspektif nasionalisme ala rakyat pekerja yang sebenarnya. Segala keributan dan sentimen nasionalisme yang dikobarkan oleh para elite politik belum tentu membuktikan kalau mereka sungguh-sungguh memiliki semangat kebangsaan yang sejati dan konsisten.

Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan bahwa, “Nasionalisme bangsa Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit melainkan nasionalisme yang terbuka dan tumbuh subur dalam taman sari internasionalisme.” Sikap ini menegaskan sikap para pendiri bangsa akan perlunya persatuan internasional untuk melawan segala bentuk penjajahan seperti yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.

Pertanyaannya apakah benar sekarang bangsa ini telah terlepas dari penjajahan? Jangan-jangan justru ketika kita asyik menghujat Pemerintah Arab saudi, justru di dalam negeri harga diri dan harta kekayaan hasil perjuangan antinekolim, dirampok di depan mata kita. Privatisasi dengan penjualan aset-aset hasil perjuangan para pendahulu kita, telah terjadi atas nama investasi.

Privatisasi juga disertai eksploitasi kekayaan alam dan politik upah murah dengan standar Labour Market Flexibility (pasar buruh/pekerja yang lentur). Pemerintah mengkondisikan semua ini sebagai sesuatu yang wajar sehingga tidak membuat kita tergerak untuk mempertahankannya. Padahal demikianlah praktek neoliberalisme (penjajahan bentuk baru) yang nyata-nyata telah menghisap rakyat pekerja dan memiskinkan negeri yang kaya-raya ini.

Dalam prakteknya, rakyat pekerja seringkali didominasi oleh pemahaman tentang nasionalisme yang sempit dengan tujuan melindungi “pekerjaan mereka” berhadapan dengan “saingan“ rakyat pekerja lainnya. Kita bisa melihat sikap sektarian bernuansa politik ketenagakerjaan yang mencuat dalam berbagai sentimen anti imigran asing.

Kondisi ini juga terjadi pada tahun 1948 ketika terbangun sentimen anti- Irlandia yang dianut oleh buruh-buruh Inggris dengan kepentingan untuk menolak kehadiran mereka karena Buruh Irlandia bersedia bekerja dengan upah yang lebih murah.

Tidakkah kondisi itu masih berlaku sampai sekarang? Banyak terbentuk ormas (organisasi kemasyarakatan) yang berbasis rakyat pekerja, namun prakteknya justru terkooptasi oleh elite borjuasi yang menonjolkan identitas sektarianismenya. Akibatnya adalah muncul perjuangan menuntut kesejahteraan dari proses pembangunan di daerahnya saja tanpa memperjuangkan sistem ekonomi-politik yang lebih adil dan berpihak bagi kepentingan rakyat pekerja.

Oleh karena itu, rakyat pekerja harus membangun kesadaran nasionalismenya sendiri sehingga siap bertarung dengan perspektif nasionalisme ala elit borjuasi yang semu. Cita-cita sejati gerakan buruh adalah persatuan internasional kelas pekerja. Karena sejatinya, penindasan dan penghisapan bukan hanya terjadi dalam satu wilayah negara, melainkan di semua belahan dunia ini.

Praktek neoliberalismelah yang mengendalikan akumulasi modal dan persaingan antara borjuasi-borjuasi lokal yang kerap kali menyeret pemahaman rakyat pekerja terhadap isu-isu sektarian. Praktek ini menyebabkan rakyat pekerja melupakan pertarungan sesungguhnya yang terjadi karena penghisapan kapitalisme.

Lantas bagaimana sikap rakyat pekerja berhadapan dengan isu nasionalisme sempit yang sering dipakai oleh para elit borjuasi? Sebagai Internasionalisme gerakan rakyat pekerja harus mendukung persatuan yang membawa buruh terhadap kehidupan yang homogen dan demokratis.

Persatuan tersebut membutuhkan sebuah federasi sosialis sebagai esensinya yang dibangun atas dasar suka rela dan tanpa paksaan. Konsep ini harus dibangun sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Gagasan ini bukanlah seperti otonomi daerah yang hanya mampu menciptakan raja-raja kecil yang ada di daerah.

Federasi sosialis tersebut harus mampu menjawab kebutuhan rakyat pekerja dan mampu mempersatukan seluruh rakyat pekerja yang ada di Indonesia. Dan tentu denagn mulai membangun kekuatan solidaritas secara internasional untuk mengkampanyekan dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan termasuk perlawanan terhadap proyek neoliberalisme.

Pemahaman nasionalisme rakyat pekerja harus ditempatkan pada kemandirian dan penguasaan atas sistem ekonomi-politik secara nasional seperti pada gerakan buruh tahun 1957. Tahun itu, kaum buruh mampu melakukan tindakan pengorganisiran politik dan penguasaan atas modal kolonial Belanda. Mereka menuntut pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan nasionalisasi atas perusahaan- perusahaan asing.

Meski kini kondisi pemerintahan berbeda dan praktiknya justru menghamba pada kepentingan modal tetapi perjuangan tidaklah boleh menjadi surut. Cita-cita perjuangan nasional rakyat pekerja harus disandarkan pada prinsip keadilan sosial dengan pengelolaan secara mandiri atas sumber daya manusia dan alam. Pengelolaan yang dilandasi semangat untuk kesejahteraan bersama tanpa eksploitasi dan kerakusan akumulasi modal.

Jika perjuangan itu bisa terwujud maka kita tidak perlu lagi menghinakan diri untuk bekerja sebagai budak di negeri orang. Kekayaan alam yang didukung industrialisasi nasional yang kuat dari Hulu ke hilir dan dikontrol oleh rakyat pekerja akan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan rakyat seperti amanat dan cita-cita UUD 1945.


* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment