Oleh : Sunarno*


Awal bulan ramadhan atau bulan puasa bagi umat Islam di dunia terjadi kejutan walau belum membesar. Di antara kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) dan melambungnya harga kebutuhan rakyat yang semakin memperpuruk kehidupan rakyat Indonesia, ada usulan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberi gelar kehormatan “Bapak Kesejahteraan.” Usulan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) Ricky Rachmadi (Matanews.com,12/8/2010).

Berita di atas tentu bisa kita cari makna yang ada di dalamnya. Dan tentu bisa kita simpulkan bahwa usulan tersebut mengandung kebohongan besar kepada seluruh masyarakat sekaligus menunjukkan sikap cari muka, dan yang lebih penting semakin menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintahan neoliberalisme.


Ukuran Kesejahteraan?


Kebohongan publik dilakukan oleh si pengusul agar SBY menjadi Bapak Kesejahteraan, karena alasan yang diajukan terbantahkan oleh fakta-fakta yang ada saat ini. Alasan yang diutarakan, “Seperti misalnya sebagai Bapak Kesejahteraan karena berbagai programnya yang pro peningkatan kesejahteraan rakyat, di antaranya pemberian dana bantuan langsung tunai (BLT), skim investasi untuk rakyat kecil seperti PNPM dan KUR, dan seterusnya...”

Benarkah rakyat sejahtera karena program tersebut? Fakta menunjukkan bahwa program tersebut didanai dari utang. Dan seperti diketahui, utang pemerintah Indonesia periode Januari-Juli 2010 tercatat sebesar Rp 1.625,63 triliun atau 26% dari PDB. Angka itu bertambah Rp 34,97 triliun dari posisi akhir tahun 2009 yang sebesar Rp 1.590,66 triliun. Secara persentase terhadap PDB memang utang Indonesia terus turun, namun secara nominal terus meningkat (detikfinance.com,12/08/2010).

Selain itu program tersebut tidaklah mengangkat kehidupan masyarakat, terbukti pengangguran masih besar dan bahkan tidak berkurang tetapi semakin bertambah. Dalam bulan ini saja 100 juta penduduk Indonesia mengalami kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan hidupnya yang melambung tinggi harga-harganya (metrotv,13/08/2010).

Artinya selain tidak mandiri dalam menjalankan program untuk rakyat, pemerintahan SBY tidak mampu mengeluarkan rakyat dari kesulitan hidup dan kemiskinan. Program yang didengung-dengungkan oleh CIDES semakin memperlihatkan ketergantungan negara pada utang dan melilit rakyat pada situasi sulit, bukan sebuah jalan keluar.

Ukuran lain dari kesejahteraan di Indonesia sebenarnya bisa kita lihat dari fakta lainnya, yakni cukup banyaknya penggusuran terhadap rakyat, khususnya pedagang kaki lima, masyarakat kecil serta rumah-rumah dinas pejuang. Ketidakpastian hukum untuk rakyat juga menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan SBY terhadap hukum yang berpihak kepada rakyat, contoh kasus Prita, nenek Minah, kasus Manisih di Batang hanyalah sedikit kasus hukum yang menyengsarakan rakyat.

Belum lagi melihat yang lebih besar, seperti tidak adanya kebijakan melindungi buruh/pekerja dari ancaman PHK, sistem kerja kontrak dan outsourcing serta upah murah. Tidak ada perlindungan buat melindungi petani dari tengkulak dan perlindungan harga jual serta ketersediaan pupuk dan bibit murah buat petani. Itu semua menunjukkan tidak berpihaknya SBY pada rakyat dan sebaliknya memihak kepada pemodal.


Membohongi Publik

Dengan fakta di atas menunjukkan usulan tersebut jelas merupakan bentuk keberpihakan CIDES kepada program neoliberalisme yang dijalankan oleh SBY di Indonesia. Karena bagaimanapun, mengusulkan SBY sebagai Bapak Kesejahteraan memiliki arti mendukung kebijakan pemerintahan di bawah SBY, termasuk pengesahan UU PMA dan UU Privatisasi.

Selain itu, usulan dengan argumentasi yang sudah di sebut diatas menunjukkan sebuah upaya kebohongan publik terhadap seluruh rakyat Indonesia serta sejarah kehidupan bangsa ini. Maka tidak ada kata lain selain menolak usulan terebut dan harus dijadikan salah satu alat perekat persatuan rakyat melakukan perlawanan, bukan saja perlawanan terhadap Sistem neoliberalisme, tetapi juga pemerintahan SBY serta lembaga-lembaga pendukungnya.

Bukan Bapak Kesejahteraan yang seharusnya diberikan kepada SBY, tetapi Bapak Neoliberalisme.


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi KASBI-Divisi Litbang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment