Oleh : Heru Yuanta*


Hidup di negeri ini, bagi sebagian besar warganegaranya, lebih banyak energi yang keluar daripada yang masuk, dengan kata lain sirkulasinya tidak seimbang, terutama energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hidup di negeri ini harus memiliki banyak energi apalagi bagi mereka yang sudah mempunyai anak usia sekolah atau bagi yang sering sakit-sakitan, karena biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal.

Hal ini bertolak belakang dengan Indonesia yang kaya akan energi tapi rakyatnya banyak yang kekurangan energi, tiba-tiba terdengar berita bahwa ada sebuah keluarga yang harus makan rumput dan siput untuk memenuhi kebutuhan energi tiap harinya. Karena begitu penting dan “langkanya” energi di negeri ini maka tidak heran kalau produk-produk penambah stamina makin banyak beredar, dari yang berbentuk cair sampai yang berbentuk padat seperti sandal bakiak. Makin banyak pula orang-orang yang mencari jalan pintas untuk memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.

Energi di negeri ini harusnya mampu untuk mencukupi kebutuhan energi rakyatnya, tapi yang terjadi hanya bisa nikmati oleh segelintir golongan (oligarki). Pemberian subsidi bahan bakar dan lain-lain menjadi hal yang aneh karena konon katanya negeri ini memiliki kekayaan yang berlimpah bahkan pemilik dan pengelolanya sudah dituangkan dengan jelas dalam Pembukaan Undang-undang dasar 1945 dan secara khusus di dalam UUD 1945 yang dalam Pasal 28 G ayat 1, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2, ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Serta pada ayat 3, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Serta ayat 4, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Tetapi hal ini tidak serta-merta membuat rakyatnya bebas dari rasa khawatir akan kekurangan energi. Kenaikan harga-harga: harga listrik, bahan bakar minyak, sembako, pupuk, masih menjadi momok yang selalu menteror kehidupan warganegaranya. Seolah-olah kita adalah negara yang sangat miskin dan bodoh sehingga memerlukan campur tangan swasta sebagai boss dalam pengelolaannya.

Pemerintah justru merestui berlakunya sistem pasar di bidang energi dengan mengijinkan penglolaannya kepada swasta. Hal ini bisa dilihat dalam UU Ketenagalistrikan yang baru (UU No 30/2009), kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) telah dipangkas. Artinya pemerintah daerah, koperasi dan pemilik modal dapat melakukan bisnis di bidang ketenagalistrikan, yang sebelumnya menjadi monopoli PLN (milik negara).

Masyarakat kelas bawah kini tambah pusing ketika tarif dasar listrik mengalami kenaikan karena kenaikan TDL akan berimbas terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. Rakyat tidak pernah tahu kenapa harga listrik selalu naik, pihak PLN dan pemerintah selalu berkata bahwa mereka selalu merugi. Walaupun merugi tapi mereka masih bisa menikmati gaji yang tinggi, segala macam jaminan hidup, dan fasilitas yang mewah. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) Ahmad Daryoko, keuntungan PLN pada 2009 mencapai 10,355 triliun rupiah. Karena itu, tidak sepantasnya jika PLN menaikkan TDL pada tahun ini.

Keputusan pemerintah menaikkan TDL itu, tidak lepas dari adanya agenda tersembunyi dari pihak-pihak tertentu yang tetap ngotot untuk menjual PLN Jawa-Bali, setelah batalnya Undang-undang No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. (MediaIndonesia.com,01/07/10). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (30/6/2010), bahwa kenaikan TDL itu berarti sejalan dengan komitmen G-20 untuk mengurangi subsidi energi (Detikfinance.com, 30/06/10). Hal ini menjadi masuk akal karena energi listrik merupakan salah satu kebutuhan yang memberikan keuntungan besar kepada PT.PLN (Persero) sebagai pihak yang memonopoli/menguasai selama ini.

Rakyat tidak pernah tahu kenapa tarif dasar listrik selalu naik padahal bukan lagi menjadi rahasia umum kalau kinerja PT.PLN (Persero) masih sangat buruk yang berarti tidak pernah ada perbaikan. Kita masih mengalami “byar-pet” alias listrik mati-hidup, masih banyak daerah belum dapat aliran listrik, manajemen yang tidak profesional. Kita bisa menemukan 609.000 tulisan kalau kita mencari tentang kinerja PT.PLN di Google dengan kata kunci “Kinerja PLN buruk.” Lalu pertanyaan dari masyarakat adalah apa saja yang mereka (pemerintah dan PT.PLN) kerjakan selama ini. Gas dan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik PT. PLN justru dijual keluar negeri dengan alasan lebih mahal dan menguntungkan.

Indonesia kaya akan energi tapi pemerintahnya tidak serius mendukung perkembangan energi alternatif yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu: energi panas bumi, angin, gas metan/biogas, ombak, pohon jarak, dan sinar matahari. Inisiasi pembangunan instalasi biogas justru hadir dari inisiatif warga, jauh sebelum banyak tabung gas yang meledak. Entah sampai kapan lagi rakyat kelas bawah Indonesia harus mengeluarkan energi ekstra untuk mengadakan energi dan membangkitkan listrik di rumahnya.


* Penulis adalah anggota Jagongan Buruh (Sekolah Buruh) Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment