Oleh Hadi Purnomo *

Menjelang akhir tahun, biasanya isu tentang upah buruh mencuat. Demonstrasi buruh banyak terjadi menolak penetapan upah di tahun yang akan datang. Buruh menilai bahwa upah tersebut tidak layak bagi kehidupan mereka. Mengapa ini terus terjadi?

Upah adalah bentuk dari imbalan yang diberikan kepada buruh atas tenaga yang telah dijualnya agar pengusaha bisa tetap berproduksi dan mengambil keuntungan atas produksi tersebut. Perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh, bahwa pengusaha harus menekan pengeluaran ongkos produksi termasuk upah buruh agar keuntungan yang diterimanya menjadi berlipat ganda. Sedangkan buruh menginginkan imbalan yang layak menjamin pemenuhan kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Perbedaan kepentingan inilah yang mengakibatian permasalahan pengupahan selalu panas dalam setiap penentuan kebijakannya baik di daerah maupun juga di skala nasional. Tuntutan akan kenaikan upah setiap tahun diteriakkan oleh kaum buruh di kota/kabupaten di seluruh penjuru negeri. Meski berbeda varian tuntutan tapi semuanya mengarah pada persamaan yaitu upah yang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya.

Jaminan negara terhadap pengupahan yang layak ini sebenarnya sudah ada dalam UUD 1945 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan upah dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 88 menyebutkan bahwa setiap buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk mewujudkannya pemerintah perlu menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi buruh. Meliputi antara lain upah minimun berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), upah lembur, struktur dan skala upah yang proporsional dan upah untuk pembayaran pesangon. Upah buruh juga merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), dimana dalam kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia bahwa upah harus dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya dengan layak dan negara yang bertanggung jawab untuk menjaminnya.

Sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa upah minimum bertujuan untuk memenuhi KHL. Standar KHL sendiri diatur dalam Permenakertrans No. 17/2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan layak baik secara fisik maupun non fisik untuk kebutuhan satu bulan buruh lajang dan bekerja di bawah satu tahun dan itu berarti sebetulnya upah minimum tidak boleh diterapkan oleh buruh yang telah berkeluarga atau buruh yang telah bekerja lebih dari satu tahun. Bagi perusahaan yang belum mampu, mekanisme penangguhan pun telah ada dengan batas maksimal penangguhan selama satu tahun sesuai dengan Kepmennakertrans No.231/2003 tentang tata cara penangguhan upah minimum.

Melihat dasar hukum perlindungan pengupahan di Indonesia harusnya problematika tahunan dalam penetapan upah minimum tidak perlu terjadi. Tetapi fakta di lapangan berkata lain penetapan nilai nominal upah minimum setiap tahun selalu menjadi medan perang buruh yang wajib harus dilakukan dan pertanyaanya mengapa? Ini semua terkait dengan kebijakan upah murah yang selalu menjadi alasan untuk melindungi investasi ataupun untuk menarik investasi masuk ke negara ini. Kita tentu ingat dalam penetapan UMK 2009 dengan berdalih krisis ekonomi global, pemerintah melalui menteri-menterinya membuat kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri yang isinya adalah melakukan intervensi terhadap pengupahan di daerah agar besaran nominalnya tidak melebihi batas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6%.

Tentu kebijakan ini memancing reaksi penolakan karena kebijakan tersebut berlawanan dengan hukum tentang perlindungan upah. Maka lagi-lagi buruhlah yang jadi korban kebijakan penetapan upah murah tersebut. Belum lagi mekanisme penentuan upah minimum di daerah-daerah rawan akan korupsi dan manipulasi. Kenapa demikian? Karena dewan pengupahan sebagai lembaga yang legal dalam hal penentuan upah minimum yang terdiri dari tiga unsur pemerintah, pengusaha dan buruh dengan komposisi 2:1:1. Dari unsur buruh keanggotaan dewan pengupahan di banyak daerah didominasi oleh elit serikat buruh kuning (gadungan) yang jelas keberpihakannya pada pengusaha.

Sedangkan unsur pemerintah sendiri yang komposisinya lebih banyak harusnya bisa mengambil peranan untuk melindungi proses penentuan upah. Tapi hal itu tidak dilakukan, justru yang terjadi bekerja sama untuk memanipulasi data agar upah bisa ditetapkan dengan murah. Hal ini bisa mereka lakukan dengan leluasa karena proses penentuan upah mulai dari survei harga sampai dengan rekomendasi angka ke walikota/bupati dilakukan secara tertutup. Buruh hanya tahu angka jadinya saja yang diusulkan oleh walikota/bupati kepada gubernur untuk ditetapkan. Ketertutupan proses penentuan upah minimum inilah yang menyebabkan rawannya manipulasi angka karena adanya konspirasi di dalam dewan pengupahan untuk menghasilkan nilai upah yang rendah/murah.

Permasalahan belum selesai sampai di situ. Upah Minimum Kota (UMK) seharusnya hanya menjadi batas minimum pemberian upah dan itupun diberikan untuk buruh lajang yang telah bekerja di bawah satu tahun. Tapi kenyataannya berbeda, upah minimum kini bukan lagi minimum melainkan sudah menjadi garis batas maksimum. Itulah yang menyebabkan mengapa setiap tahun buruh selalu turun ke jalan untuk mendesak penetapan nilai nominal upah minimum. Karena penetapan upah minimum tersebutlah yang akan menentukan nasib mereka dalam satu tahun ke depan.

Kondisi ini ditambah dengan lemahnya pengawasan tentang pemberlakuan upah minimum di daerah-daerah dan secara nasional kondisinya sama. Padahal sesuai dengan pasal 185 Undang-Undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan, “Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum termasuk tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan atau denda paling sedikit sepuluh juta rupiah dan paling banyak empat ratus juta rupiah.”

Tetapi ironisnya sampai dengan hari ini sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun pengusaha di Indonesia yang bisa dipidanakan dan dikurung karena melanggar ketentuan tentang kewajiban membayar upah minimum. Padahal banyak kita tahu bahwa tidak semua buruh mendapatkan upah minimum. Hanya golongan buruh tertentu saja yang sudah mempunyai organisasi serikat buruh yang kuat di dalam perusahaannya atau buruh dengan status kerja tetap saja yang mampu menikmatinya. Padahal keanggotaan buruh secara nasional yang menjadi anggota serikat buruh kurang dari 10%. Jadi dimungkinkan yang menikmati proses penentuan upah setiap tahunnya hanya segelintir kecil dari kaum buruh. Lemahnya peran pengawasan ini disebabkan karena kebijakan politik upah murah yang diterapkan oleh pemerintah ditambah dengan besarnya peran kepala daerah di era otonomi daerah. Kebijakan upah murah adalah hal manis yang bisa ditawarkan kepada pengusaha meski itu berarti harus mengorbankan nasib kaum buruh.

Melihat kondisi di atas, kaum buruh tidak bisa berpangku tangan begitu saja. Kita tidak bisa menyerahkan begitu saja proses penentuan upah hanya pada elit serikat buruh gadungan yang duduk dalam dewan pengupahan dan mengatasnamakan kaum buruh. Perlu ada agenda pengawalan upah minimum baik mulai dari proses survei, penghitungan, usulan, penetapan dan sampai dengan pemberlakuan. Standarisasi tentang upah minimum pun selayaknya harus diganti karena upah yang dihitung berdasarkan kebutuhan hidup buruh lajang tentu saja tidak manusiawi bila diberlakukan pada buruh yang sudah berkeluarga.

Oleh sebab itu kita perlu untuk merumuskan gagasan alternatif tentang pengupahan yang layak bagi buruh dan keluarganya. Bersama-sama dengan agenda pengawalan upah minimum, rumusan upah layak harus terus diwacanakan dan diperjuangkan untuk mendapat dukungan secara meluas dari kaum buruh dan pada akhirnya nanti hanya kaum buruhlah yang mampu merubah nasibnya sendiri. Mengorganisir dan terus bergerak adalah hal yang terus dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi pengupahan agar lebih berkeadilan dan layak bagi kaum buruh itu sendiri.

* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan - Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

1 Comment:

  1. Rock said...
    Selamat tahun baru sobat...

Post a Comment