Oleh Khamid Istakhori *


Negeri ini, sepertinya semakin meneguhkan dirinya sebagai tanah air penindasan bagi buruh dan rakyat pekerja. Gonjang-ganjing yang muncul di permukaan sebagai persetruan para elit berebut kue kekuasaan, berebut uang triliunan rupiah, berebut pengaruh dan saling tikam untuk menunjukkan bahwa dirinya bersih tak terindikasi korupsi. Inilah negeri dengan keteguhan dalam penindasan rakyatnya. Dan buruh, korban yang hari ini mewakili rasa sakit itu.

Simaklah apa yang dituturkan oleh Zubaedah, buruh perempuan yang tegar ini berasal dari Semarang, bekerja di perusahaan terkemuka penghasil merk terkenal berbagai produk garmen. Waktunya habis didedikasikan untuk kemajuan pabrik tempatnya bekerja sampai kemudian petaka itu menjadi berita panas menyengat telinga dan hatinya. Pabrik pailit! Zubaedah hanya tahu secara sepintas saja dari ramai pembicaraan orang bahwa pailit itu bangkrut, miskin dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Pabrik, yang dinyatakan pailit, seharusnya tidak menunjukkan geliat produksi, gerak mesin, lalu lalang orang bekerja, penumpukan order. Yang dia tahu juga, sebuah pabrik dinyatakan pailit, sesuai dengan undang-undang bikinan para dewa di DPR adalah kalau dalam dua tahun tidak menghasilkan keuntungan. Tapi, ini lain katanya. Tanggal 26 Agustus ketika pabrik dinyatakan pailit oleh pengadilan -tempat masyarakat mencari keadilan ini- pabrik ini masih berproduksi, bahkan buruh dipaksa untuk lembur dalam jam kerja yang panjang. “Ini, jelas pembodohan oleh aparatur negara ini!” gugat Zubaedah.

Drama kemudian berlanjut, ketika istilah-istilah aneh harus dipelajari. Kreditur, debitur, penggugat, kurator, hakim pengawas, piutang dan sederet kebingunan itu belumlah seberapa bila dibandingkan dengan keruwetan yang harus dihadapi para buruh. Para buruh, tentu saja pusing tujuh keliling karena upah tak dibayarkan sejak Agustus, THR apalagi. Maka, kemudian pilihan buruh tak lain berjuang mati-matian menguasai pabrik agar tak dijarah “tangan setan” yang rapi menjarah hak buruh, baik terang-terangan melalui preman suruhan pengusaha atau melalui jaring-jaring hukum yang stempelnya dibuat dengan tinta bernama derita buruh: keringat, darah, airmata.

Pabrik dikuasai, pabrik disegel, pabrik diduduki dan semua kunci pabrik dari kunci pintu gerbang sampai pintu WC kami ganti semua. “Kami mengantisipasi dengan cara-cara demikian agar tak kecolongan,” kata Suryandari buruh perempuan lainnya di pabrik itu. Pabrik ini harapan satu-satunya para buruh berjumlah 819 orang, kalau masing-masing punya dua tanggungan istri/suami ditambah satu anak maka jumlah nyawa hidupnya bergantung dari pabrik itu minimal 2.457 orang. Serasa disambar geledek, kepala buruh kembali pusing karena kabar bahwa aset PT. Uni Enlarge akan dilelang di balai lelang di Jakarta. Yang melelang, sesuai aturan hukum harusnya kurator, pihak yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi semacam “pengelola” aset, menyusun daftar aset, menaksir harga, melakukan permohonan lelang dan kemudian menghitung berapa banyak bagian masing-masing pihak yang disebut sebagai kreditur. Tapi yang aneh pemohon lelang adalah PT. Bank Chinatrust, kreditur dalam kasus pailit. Kurator mengatakan bahwa Chinatrust menyatakan kasasi atas putusan pailit PT. Uni Enlarge, tapi kenapa mereka melelang? Dalam pandangan buruh hanya satu saja pemahamannya : Hukum ini tidak jelas! Katanya melanggar tapi kok tetap jalan. “Tak usahlah bicara kasus korupsi para buaya, ngurus duit dan hak buruh yang kecil itu saja nggak becus!” gugat para buruh sambil membandingkan pesimisme penanganan korupsi Bank Century yang konon melibatkan orang-orang kuat di negeri ini: kuat malu alias tak lagi punya malu!

Pilihan satu-satunya adalah membatalkan proses lelang, karena kalau proses lelang tetap berlanjut, maka dipastikan buruh gigit jari tidak mendapatkan apa-apa. Bank Chinatrust, ketika bertemu para buruh, delegasi dalam aksi di kantor Chinatrust kawasan Sudirman mengatakan bahwa hutang adalah hutang, artinya kami akan mempertahankan hak kami dan menjamin tak seorangpun mengurangi hak kami. Ingin rasanya buruh melumat para pengacara muda itu, yang dibayar dengan recehan, remah-remah sisa bank asing itu dan mengajarkan apa itu kepentingan orang tertindas. Pengacara muda itu, mewakili kejumawaan Bank Chinatruts, bank yang menjadi simpul aliran dana keluar masuk dari Taiwan ke Indonesia. Buruh ingin menjejalkan potongan kain ke mulut para pengacara itu agar mereka tak lagi berbusa-busa membela penghisap darah buruh. Bank Chinatrust sebenarnya berhutang pada para buruh. Seharusnya para buruh yang berhak menagih hutang itu sambil mengatakan hutang adalah hutang!

Drama komedi berlanjut, ketika para buruh bertemu dengan anggota Dewan Komisi IX DPR RI. Bukan berlomba-lomba dalam kebaikan membela para buruh mereka justru saling cakar dengan sesamanya. Partai saya, paling komitmen membela buruh. Perintah ketua partai sangat jelas untuk menjadikan buruh sebagai pihak yang harus dibela. Tapi para buruh tidaklah bodoh, mereka tahu ketua partai itulah yang tangannya membubuhkan tanda tangan pengesahan undang-undangn setan bernama UU no. 13 tahun 2003. Kemudian partai pemenang pemilu 2009, melalui wakil di Komisi IX berbusa-busa mengatakan saya prihatin dengan nasib buruh. “Tapi saya khan masih baru, sedang belajar menjadi pembela rakyat. Mohon dimaklumi kalau saya masing belum cekatan.” Para buruh bertanya, apa yang diharapkan dari wakil rakyat model gini? Komentar wakil rakyat yang lain? tak usahlah ditulis panjang-panjang: sama saja. Penuh retorik, dangkal, kosong dan tidak bermakna.

Pilihan para buruh, kemudian menginap di Kantor Depnakertrans, kantor menteri urusan tenaga kerja. Baru semalam menginap, para punggawa kantor sudah ribut. Bertanya-tanya kapan buruh akan pulang? Berapa lama lagi menginap? Departemen ini pasti akan mengurusi nasib buruh, tapi mohon jangan lama-lama menginap. Tolong bantu kami memperbaiki citra. Belum lagi sebulan pak menteri duduk, kursinya masih panas. Apa komentar buruh? Zubaedah bilang, “XL banget!” apa itu ? Extra Lebay, berlebih-lebihan. Buruh akhirnya meninggalkan kantor Depnaker. Tapi tolong dicatat, bukan karena menuruti kemauan para pejabat teras itu, tapi buruh bersiap-siap untuk menyusun kekuatan baru, nanti menjelang lelang di balai lelang kami pasti akan menginap lagi. Dan, para punggawa kantor mentri itu, lagi-lagi ciut memohon, mohon pengertiannya demikian rayu mereka.

Ternyata, kasus Uni Enlarge menjadi pintu pembuka! Tak lama kasus ini mencuat, tiba-tiba kami mendapatkan telepon dan kontak dari serikat-serikat lain bahwa nasib mereka sama. Korban keputusan pengadilan: pailit. Sebutlah pabrik PT. Uni Enlarge yang berlokasi di Tanjung Priok. Pabrik ini, pemiliknya sama, dan nasibnya sama dipailitkan. Akan juga dilelang asetnya tanggal 11 Desember 2009. Lalu, datang lagi serombongan buruh dari PT. Mutiara bertemu di Depnaker. Mereka bilang bahwa pabrik kami juga korban efek domino tsunami pailit. Karena 10 % sahamnya dimiliki PT. Uni Enlarge, dan 90 % dikuasai Bruce sehingga kemudian PT ini juga terancam akan disita, dan buruh terancam di-PHK.

Inilah gonjang-ganjing pailit yang hari ini mendera buruh. Kerja bertahun-tahun, pabrik mengeruk keuntungan kemudian kongkalikong dengan pengadilan dinyatakan pailit lalu lepas tangan tidak menunaikan hak buruh. Itu juga yang kemudian terjadi pada PT. Istana, pabrik yang lebih dari dua tahun dikuasai buruhnya dan di bawah kuasa KOMPAP (Komite Pengambilalihan Pabrik) ini juga serasa disambar geledek. Tiba-tiba pengusaha memohon pailit ke pengadilan. Lalu itu juga yang terjadi dengan TPI, stasiun televisi yang digemari ibu-ibu dan mungkin juga para buruh itu juga dalam proses pailit. Kejadian ini, tentu saja bukan main-main dan serba kebetulan, tapi pasti telah melalui skenario dimana negara ikut terlibat. Para buruh tidak paham apa National Summit, pertemuan kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha serta elit-elit organisasi massa rakyat yang telah menggadaikan kepentingannya, para buruh juga belum sampai memahami apa itu skenario negara menyelamatkan pengusaha melalui bailout dan lain-lainnya. Yang mereka tahu, nasib semakin terancam saja, tidak jelas apa yang akan dihadapi hari-hari ke depan.

Tapi, kejadian beruntun ini, PT. Uni Enlarge, Istana, Mutiara, TPI adalah sinyal bahwa bola salju akan menggulung kehidupan buruh. Pertanyaannya kemudian apakah kita akan diam saja ? Asyik dengan diri kita dan masih merasa hidup dalam sekat-sekat berbeda sehingga merasa pula berasal dari kelas yang berbeda? “Pailit ini haruis dilawan, bukan saja untuk mendapatkan hak ekonomi para buruh tapi kita, harus menggelindingkan perlawanan sehingga menjadi bola salju yang lebih besar untuk melawan semua itu,” tegas Zubaedah. Pertanyaan Zubaedah ini, tamparan bagi kita untuk segera tersadar dan bergegas menyusun kekuatan, sebelum semuanya menjadi runyam, serunyam-runyamnya seperti cerita para buaya yang kelimpungan di pusat negeri.


* Penulis adalah Sekretaris Jenderal KASBI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment