Oleh : Abdul Rojak*


Upah adalah cermin dalam hubungan majikan dan buruh, karena upah adalah imbalan dari kerja seorang buruh. Upah yang diterima buruh setiap minggu atau bulan adalah akumulasi yang dikumpulkan tiap hari, tetapi upah tersebut bukanlah nilai hasil kerja. Tetaplah upah sebagai imbalan kerja, karena hasil kerja yang sesungguhnya dari buruh kalau dihitung dan diakumulasikan akan memiliki nilai yang sangat besar, jauh dari upah yang diterima buruh.

Dan tiap tahun kaum buruh berjibaku dalam perjuangannya untuk menaikkan upahnya, karena upah yang sesungguhnya masih rendah dan tidak mencukupi kebutuhan buruh tersebut tidak datang begitu saja, tidak naik tiba tiba, sementara kerja di pabrik tiap hari tetap dipaksa hadir dan berproduksi.

Negara Membatasi Nilai Upah

Berbagai aturan dibuat oleh negara untuk menentukan nilai upah yang diterima oleh buruh, termasuk penetapan Komponen Hidup Layak (KHL) yang dijadikan dasar dalam penghitungan upah meliputi 3.000 kkal per hari untuk pangan, perumahan, pendidikan, sandang, dan sebagainya yang tertuang dalam Per-17/Men/VIII/2005 tentang komponen hidup layak untuk pekerja lajang dalam sebulan. Namun kenyataannya kita ketahui banyak juga buruh yang sudah berkeluarga, dan tentu akan berbeda kebutuhan hidup buruh antara yang belum menikah dan yang sudah menikah. Bagi mereka yang sudah menikah dan mempunyai anak tentunya dibutuhkan anggaran yang dipergunakan untuk makan, pakaian, pendidikan dan kesehatan anak dan istri atau suami.

Jika kita lihat komponen hidup layak yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Per-17/Men/VIII/2005, menunjukan bahwa standar kehidupan buruh diukur dari kebutuhan hidup buruh lajang dan terdapat 46 komponen yang dijadikan ukuran dalam menentukan KHL. Kenapa hanya diperuntukkan buruh lajang, karena dalam semua komponen hanya diperuntukkan 1 orang saja dan tidak ada tambahan untuk anak dan istri atau suami. Dalam prosesnya, KHL yang didapat dari hasil survey pasar masih harus diperdebatkan kembali dalam dewan pengupahan yang terdiri dari unsur serikat, pengusaha, dan pemerintah. Tak jarang pula nilai KHL yang diperoleh belum tentu dijadikan sebagai nilai upah yang harus diterima oleh buruh.

Proses survey oleh dewan pengupahan juga belum mencerminkan nilai harga pasar sesungguhnya karena dalam survey petugas memakai seragam dinas sehingga pedagang tidak memberikan harga sesungguhnya. Sasaran survey bukanlah pasar yang biasa dikunjungi oleh kaum buruh tetapi sering di pasar induknya saja. Nilai survey tidak diumumkan secara transparan dan kaum buruh tidak ditanya dalam survey tersebut. Ini bentuk penghalusan untuk menipu kaum buruh agar tergantung upahnya pada pemerintah dan pengusaha. Praktek inilah menunjukkan negara “membatasi” agar upah buruh tetap rendah dan tetap dalam ketegori lajang yang diberikan oleh pengusaha kepada buruhnya.

Sudah Layakkah UMK ?

Seharusnya upah sehari kerja kita dalam kondisi-kondisi normal ialah jumlah yang dibutuhkan oleh buruh untuk mendapatkan bekal-bekal kehidupan yang sesuai dengan standar kehidupan untuk meneruskan keturunannya. Maka UMK bukanlah jawaban untuk pemenuhan kebutuhan hidup layak bagi kaum buruh, begitu juga upah sektoral yang ditetapkan oleh pemerintah dengan sebutan UMSK, karena sejatinya ini adalah strategi rejim untuk memecah kaum buruh.

Penyusunan Upah Yang Manipulatif

Membahas soal proses penyusunan upah ini ada sebuah proses yang tidak berdiri sendiri. Tidak banyak buruh yang mengetahui bagaimana upah ditentukan. Ada sebuah badan tersendiri yang menyusun pembentukan upah di setiap daerah, yaitu dewan pengupahan kota/kabupaten/propinsi/ nasional. Ada sebuah persyaratan yang diperuntukkan agar bisa menjadi anggota dewan pengupahan, yaitu syarat minimal pendidikan yang minimal D3/S1. Jelas ini tidak ada keterkaitan yang signifikan tentang pendidikan dengan kinerja dewan pengupahan.

Proses penentuan upah adalah sebuah sikap keberpihakan bukan hanya sekedar data statistik. Walaupun yang kelak duduk di dewan pengupahan hanya berpendidikan SMA, serikat buruh pasti akan menopang dan tentunya keputusan soal upah bukan hanya keputusan pribadi anggota dewan pengupahan, tapi keputusan organisasi. Selain soal keterwakilan, proses penyusunan upahpun sangat tertutup dan ini adalah sebuah pembodohan. Proses panjang penentuan hidup buruh dilakukan secara tertutup bahkan berkembang sebuah pemikiran bahwa proses ini adalah rahasia. Dalam kenyataan ekonomi sosial kehidupan buruh, kita melihat bahwa kenaikan harga, inflasi, harga sembako tidak terkendali adalah sebuah kenyataan sehari-hari yang dapat dilihat dengan jelas. Termasuk di sini yang luput dari komponen upah adalah pengeluaran sosial, seperti sumbangan, hajatan dan kegiatan sosial.

Upah Yang Layak Bagi Buruh

Dalam proses penyusunan upah harus melibatkan semua komponen buruh, tidak ada pembedaan yang diterapkan. Buruh harus mengetahui secara langsung proses penetapan upah, karena akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Upah adalah sebuah perjuangan politik kaum buruh. Kekuatan serikat buruh dalam proses pengawalan penetapan upah sangat berpengaruh terhadap hasil keputusan upah yang akan diterima oleh kaum buruh. Tidak lagi kita berbicara soal upah hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, tapi upah yang mencukupi untuk kebutuhan hidup layak buruh. Jika dari hasil survey lapangan soal kebutuhan hidup buruh tinggi, maka memang sejatinya itulah standar kehidupan buruh, bukan suatu hal yang direkayasa. Buruh sebagai manusia juga mempunyai hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi kehidupan dan kesejahteraannya dalam keberlangsungan hidup.

Upah adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah, karena ini adalah sebuah kepentingan dan posisi tawar kaum buruh. Sudah saatnya kita bicara upah yang layak bagi kerja yang layak. Kerja layak adalah lamanya kerja dan intensitas kerja tanpa melanggar batas kapasitas kerja yang sama untuk hari berikutnya. Modal tidak akan menghasilkan sebuah nilai tanpa kerja, dan kerja itu dilakukan oleh buruh. Sehingga seharusnya upah kerja dibayarkan dari hasil kerja itu, dan buruh dibayar dari hasil kerjanya itu sendiri.

Permasalahan upah adalah permasalahan yang akan selalu menimbulkan pertentangan antara pihak-pihak yang berkepentingan, dan buruh adalah pihak yang tanpa perlindungan dan akan selalu menjadi korban. Pengusaha sudah seharusnya juga berpikir, bahwa tanpa upah layak, buruh tidak bisa sehat dan tidak bisa bekerja dengan baik. Maka, “Bayarlah Upah Buruhmu Dengan Layak, Sebelum Kering Keringatnya.”


* Penulis adalah Pengurus FSPEK Karawang (anggota Konfederasi KASBI), Divisi Pengembangan Organisasi, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment