Oleh : Mahendra Kusumawardhana*


Kereta holocaust adalah kereta api yang digunakan oleh Nazi dan para pendukung mereka untuk mendeportasi paksa orang-orang ke kamp konsentrasi. Tanpa transportasi massal dengan menggunakan kereta api tersebut maka skala besar holocaust yang dilakukan oleh Nazi tidak mungkin terjadi.

Gerbong-gerbong kereta tersebut sejatinya dipergunakan untuk mengangkut ternak sehingga tidak ada tempat duduk ataupun fasilitas lainnya. Menurut manual SS, sebuah organisasi paramiliter terbesar Nazi, dihitung bahwa satu rangkaian kereta membawa 55 gerbong. Sementara satu gerbong dimuati oleh 50 orang, sehingga satu kereta membawa sekitar 2.750 orang. Namun biasanya satu kereta membawa hingga 300 persen dari kapasitasnya. Maka berjejalan 8.250 orang berada dalam satu kereta.

Kereta tersebut pertama kali beroperasi pada tanggal 16 Oktober 1941 membawa orang-orang ke pembantaian ke barat Jerman. Perjalanannya mampu memakan waktu berhari-hari bahkan paling lama adalah 18 hari. Ini tidak terlepas karena prioritas bagi kereta tersebut sangatlah rendah hingga harus membiarkan didahului oleh kereta-kereta yang lainnya. Tidak ada air ataupun makanan yang disediakan, demikian juga untuk buang air hanya disediakan ember.

Dengan kondisi seperti itu tidak mengherankan ketika banyak yang mati karenanya. Dalam sebuah laporan ditulis bahwa dari 45 gerbong yang membawa sekitar 6.700 orang, kurang lebih 1.450 meninggal dunia saat tiba di tempat tujuan.

Pada bulan Juli yang lalu, saya dan seorang kawan menaiki kereta api ekonomi Progo, jurusan Yogyakarta-Jakarta. Ada beberapa perubahan yang saya ketahui dari kereta Progo tersebut. Jadwal keberangkatan kereta tersebut memang pada pukul 17:00 namun kita harus bersiap-siap jauh sebelumnya, sekitar pukul 14:30 atau bahkan pukul 13:30 jauh lebih baik.

PT Kereta Api Indonesia tidak menjual tiket dengan nomor tempat duduk, sehingga tidak jelas berapa ratus orang yang naik ke kereta tersebut. Mungkin seribu orang lebih dijejalkan dalam satu rangkaian kereta dengan 9 gerbong tersebut. Demikian pula pada sekitar pukul 15:00 sebagian gerbong akan bergerak dahulu menuju Klaten untuk mengangkut penumpang. Maka semakin banyak penumpang yang diangkut oleh kereta tersebut.

Kami menyusuri gerbong demi gerbong untuk mendapatkan tempat duduk namun tak juga mendapatkannya. Hingga kami menemukan gerbong terakhir, gerbong kosong melompong tanpa kursi, hanya lantai besi tanpa alas apapun yang tampak seperti gerbong untuk mengangkut barang. Di sana sudah nampak puluhan orang yang terpaksa duduk berselonjor di lantai beralaskan koran. Semakin lama semakin mendekati keberangkatan, semakin banyak orang yang masuk ke gerbong.

Ketika kereta berjalan, sekitar seratusan orang berdesak-desakan. Beberapa orang terpaksa jongkok atau duduk bersila, sementara yang lainnya mengecilkan badannya untuk dapat tidur. Dinginnya lantai besi kereta begitu terasa karena alas koran sama sekali tidak memberikan perlindungan yang memadai. Demikian pula begitu sulitnya bagi seseorang untuk bergerak sekedar meluruskan kaki atau bahkan untuk bisa bergerak ke toilet. Demikianlah selama hampir 12 jam kondisi tersebut dialami oleh seluruh penumpang hingga tiba tujuan akhir di Pasar Senen, Jakarta.

Masih di bulan yang sama, diberitakan seorang penumpang Kereta Api Kertajaya yang penuh sesak penumpang dengan jurusan Jakarta Kota-Pasar Turi Surabaya, meninggal dunia. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, penumpang tersebut sempat muntah darah dan tak sadarkan diri. Terlepas bahwa menurut berita bahwa penumpang tersebut memiliki riwayat penyakit paru-paru namun kondisi harus berdesak-desakan, duduk ataupun tidur di lantai bukanlah kondisi yang manusiawi ataupun sehat. Walaupun korbannya belum separah kereta holocaust Nazi tapi satu nyawa manusia saja tetap merupakan sesuatu yang harus dihargai.

Tragedi ini seharusnya menjadi peringatan bagi PT Kereta Api Indonesia yang harga tiketnya selalu bertambah mahal terutama ketika masa libur dan mudik tiba. Dimana dipastikan akan ada ratusan ribu rakyat Indonesia yang menggunakan jasa kereta api untuk mudik ke kampung halamannya.


* Penulis adalah Ketua Badan Pekerja Nasional - Komite Penyelamat Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



0 Comments:

Post a Comment