Oleh : Maria Sentika*

Mari berjalan kaki di sepanjang jalan raya Jakarta, Bandung atau Surabaya. Maka kita seperti menghadapi ancaman begitu besar pada jiwa kita. Pejalan kaki seperti tidak berharga sama sekali, harus mengalah dari kendaran motor dan mobil. Bahkan ketika mau menyeberang pada jalan yang tidak tersedia jembatan penyeberangan, pejalan kaki harus mengalah pada kendaraan untuk lewat dahulu, padahal tempat menyebrang itu terdapat zebra cross. Kejadiian ini menjadi sebuah budaya hidup yang sangat penuh ironi, sepertinya pemilik kendaraan ikut alur pemikiran pemerintah, abai pada keselamatan jiwa mereka yang lebih lemah.

Walaupun pemerintah membangun trotoar bagi pejalan kaki, namun hanya sekedar formalitas. Selain lebarnya yang tidak sesuai, juga kegunaan trotoar banyak yang bergeser tanpa kontrol dari negara. Banyak pedagang menggunakan trotoar, karena pedagang tidak diberi tempat berdagang oleh negara. Mereka sering digusur oleh pemerintah, tetapi pedagang membayar pungutan uang ke aparat. Hal ini jelas menimbulkan kerugian kepada pihak pejalan kaki dan pedagang kecil. Dari sini sering timbul konflik horisontal antar masyarakat awam.

Di lain hal adalah kondisi infrastruktur jalan yang mayoritas tidak memberikan ruang keselamatan pada pemakai jalan, yang sesungguhnya adalah pemilik negeri ini. Pembayar pajak sekaligus pekerja/buruh yang menggerakkan ekonomi riil negeri ini. Kondisi jalan yang sangat parah, cepat rusak karena hujan atau beban mobil besar atau tidak tersedianya pemisah jalan antara mobil dengan motor roda dua. Bahkan sekarang jalan raya tidak ada ruang untuk jalur sepeda dan pembatas jalan untuk pejalan kaki.

Akibat itu semua bisa kita lihat dan rasakan. Salah satu media nasional merilis berita, ”Hingga saat ini kecelakaan jalan raya masih memegang predikat ”pembunuh” terbesar ketiga di dunia, setelah penyakit jantung dan TBC. Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan, sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan. Dari jumlah tersebut, total korban meninggal dunia di lokasi mencapai 28 ribu orang. Itu berarti, tiga jiwa melayang setiap tiga jam, atau setiap 20 menit ada satu nyawa yang hilang di jalan raya.”

Dari fakta di atas bisa kita tarik sebuah kesimpulan dan arah positif untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Trotoar sebagai tempat pejalan kaki di pinggir jalan hanya salah satu faktor saja untuk memberikan tempat dan perlindungan bagi pejalan kaki. Tetapi semua itu harus didukung oleh penggunaan akan fungsi, pengamanan dan kontrol yang tepat. Selain harus mulai diterapkan pembagian jalan dengan tepat, antara mobil besar, motor dan sepeda. Tanpa pengaturan yang jelas selalu akan terjadi kecelakaan, kemacetan dan korban jiwa yang berjatuhan.

Infrastruktur Berbasis Rakyat

Problem pokok dalam transportasi dan tingkat kecelakaan tinggi adalah pembangunan infrastruktur jalan yang tidak berperspekstif pembangunan untuk masyarakat. Tetapi selama ini pembangunan menggunakan perspektif “kejar untung” bagi pengusaha dan pemerintah, sehingga mengorbankan masyarakat luas.

Pembangunan infrastruktur secara umum dan jalan secara khusus tidak pernah didasarkan atas kebutuhan besar masyarakat, tetapi lebih memberikan fasilitas kepada pengusaha, dalam hal ini investor. Karena “kejar untung” tersebut, maka penilaian atas kebutuhan masyarakat, kondisi tanah dan proses yang lebih manusiawi. Maka, banyak proses pembangunan mengorbankan masyarakat dengan penggusuran paksa.

Seharusnya masyarakat sudah mulai sadar akan bahaya yang setiap saat menantinya, bentuk nyata atas kerakusan pembangunan ala kapitalisme, yang menjadi korban adalah masyarakat. Dalam ranah praktis seperti ini, maka seharusnya mulai menyatukan kekuatan bersama agar pembangunan yang dijalankan pemerintah berbasis kebutuhan masyarakat dengan proses keterlibatan penuh dan aktif dari masyarakat.

Dengan keterlibatan dan berbasis kebutuhan maka keselamatan dan kegunaan akan infrastruktur maupun jalan menjadi pertimbangan pokok serta proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara yang manusiawi, negosiasi dan tidak saling merugikan.

Sekarang dituntut kesadaran dan keberanian kita sebagai masyarakat untuk menekankan proses pembangunan infrastruktur tersebut. Karena proses tersebut tidak terpisah dari kontrol masyarakat dalam setiap proses pembangunan yang berasal dari uang rakyat.


* Penulis adalah buruh pabrik yang tergabung pada Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB-KASBI) Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment