Oleh : R. Suharyanto *


Draft Rancangan Undang Undang Keistimewan Yogyakarta (RUUKY) telah resmi diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas. Bola panas terkait Keistimewaan Yogyakarta ada di tangan DPR mengingat selama diluncurkan RUUKY telah menyulut kontroversi baik dalam lingkup politik nasional maupun lokal. Salah satunya menyangkut status Sri Sultan Hamengkubowono sebagai gubernur dan Sri Paku Alam sebagai wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Apakah langsung ditetapkan atau mengikuti prosedur demokrasi dengan pemilu kepala daerah langsung.

Dalam draft RUUKY yang merupakan inisitatif pemerintah tertuang bahwa Sri Sultan Hamengkubowono dan Sri Paku Alam akan otomatis menempati posisi sebagai Parardhya. Di mana Parardhya merupakan kepala daerah yang mempunyai kewenangan meliputi pertanahan, kebudayaan, tata ruang dan pemerintah yang terkait dengan keistimewaan. Sosok Sri Sultan Hamengkubowono dan Sri Paku Alam hanya menjadi simbol kultur sebagai identitas keistimewaan Yogyakarta. Sedangkan Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung melalui mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Gubernur dan Wakil Gubernur hasil pilkada inilah yang akan menjalankan tugas dan kewenangan sebagai kepala daerah tingkat provinsi.

Memanasnya RUUKY dimulai dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan dalam rapat terbatas kabinet terkait dengan tidak boleh adanya monarki absolut dalam sistem demokrasi. Semua kepala daerah mulai dari gubernur, walikota/bupati harus melalui mekanisme pilkada langsung. Sontak ucapan Presiden SBY itu memancing reaksi keras dari banyak pihak terutama masyarakat Yogyakarta. Banyak pihak menuding bahwa Presiden SBY melupakan kesejarahan dan peran penting Yogyakarta dalam masa revolusi perang kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak hanya itu saja, ribuan massa turun ke jalan menuntut adanya penetepan secara langsung Sri Sultan Hamengkubowono X sebagai Gubernur dan Sri Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagi masyarakat Yogyakarta, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dalam konteks budaya semata tapi juga menyangkut tata pemerintahan. Posisi Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur tanpa harus melalui mekansime pilkada. Namun tampaknya pemerintah pusat menanggapi respon masyarakat terkait RUUKY secara reaksioner. Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi bahkan tanpa tedeng aling mempertanyakan keterwakilan aspirasi masyarakat Yogyakarta dalam aksi massa rakyat Yogyakarta. Tidak hanya itu saja, hasil keputusan DPRD Provinsi Yogyakarta yang menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dam Sri Paku Alam IX langsung ditetapkan menjadi gubernur dan wakil gubernur ternyata tidak digubris oleh pemerintah pusat.

Dalam berbagai forum diskusi, baik di pusat maupun Yogyakarta, isu RUUKY menjadi sebuah jurang pemahaman berdemokrasi antara kemauan pemerintah pusat dan keinginan masyarakat luas yang tidak pernah bertemu. Pemerintah pusat memaksakan kemauannya dengan berlandaskan sederet peraturan perundang-undangan, di sisi lain masyarakat mengutarakan keinginannya dengan menjabarkan fakta-fakta historis.

Namun yang terjadi, respons pemerintah pusat ini seakan menjadi bukti bahwa memang pemerintahan di bawah Presiden SBY tidak pernah paham atas aspirasi rakyatnya. Setiap kondisi, keunikan lokal, catatan kesejarahan atas sebuah wilayah terpaksa harus dihilangkan dan tunduk kepada undang-undang semata. Padahal dalam konstitusi, UUD 1945 tertuang jelas bahwa negara harus melindungi dan mengayomi kearifan maupun budaya lokal baik dalam konteks sosial budaya maupun juga politik.


Bias Kepentingan

Sayangnya dalam dinamika kontroversi RUUKY yang seharusnya bisa dijadikan wahana pembelajaran berpolitik dan berdemokrasi bagi rakyat mengalami pergeseran makna. Isu RUUKY terjebak dalam konteks konflik elite-elite politik dan mengabaikan peran maupun hak partisipasi dari rakyat (khususnya masyarakat Yogyakarta) untuk mengurus diri sendiri tanpa harus memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persoalan RUUKY hanya masuk dalam substansi jabatan kekuasaan politik belaka. Melupakan nilai-nilai budaya dan historisitas yang menjadi akar dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat bergeser maknanya menjadi pemerintahan elite-elite politik. Pergeseran ini terlihat jelas ketika seolah-olah ada konflik antara Presiden SBY dengan Sri Sultan Hamengkubuwono. Komentar maupun pernyataan yang dikeluarkan oleh dua tokoh nasional ini tidak pernah memberikan pencerahan politik. Karena yang terjadi adalah masing-masing saling merasa paling benar dan paling tahu. Tidak berhenti di situ saja, mundurnya Prabukusumo dari jabatan dan struktur Partai Demokrat menjadi penanda nyata bahwa RUUKY hanya menyulut konflik kepentingan elite-elite politik.

Partai-partai politik yang beroposisi dengan pemerintah, terkait draft RUUKY, menjadikan mainan politik baru untuk menekan pemerintah dan meraih simpati massa. Partai-partai politik yang berseberangan itu tidak ragu-ragu untuk menyerang kebijakan pemerintah tanpa harus memahami bahwa pendidikan dan pencerahan politik sangat penting untuk membangun kedewasaan berdemokrasi bagi rakyat kebanyakan.

Di sisi lain, feodalisme yang selama ini mengungkungi dinamika masyarakat Yogyakarta pun membuat situasi dan kondisi politik menjadi semakin runyam. Bagi masyarakat Yogyakarta, sultan adalah raja yang mempunyai hak istimewa sekaligus pemimpin daerah yang harus dipatuhi secara mutlak. Konsep orang jawa, kedudukan sultan bukan hanya sekedar sebagai simbol pemimpin tapi juga panutan dan imam. Apapun yang dikatakan oleh raja harus dilaksanakan. Ibaratnya, setiap perkataan yang keluar dari sultan adalah sabda pandita ratu. Bagi siapapun yang tidak melaksanakan titah raja niscaya akan mengalami malapetaka.

Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono dianggap melakukan kesalahan atau merugikan rakyat maka rakyat tidak boleh protes. Rakyat harus nrimo ing pandum dan tidak berhak menyalahkan rajanya. Sebagai catatan, pada saat gempa melanda Yogyakrta pada tahun 2006 lalu ternyata pascabencana terjadi korupsi besar-besaran yang melibatkan aparat pemerintahan terutama aparat desa. Jumlah yang dikorupsi mencapai miliaran rupiah. Tapi peristiwa itu ternyata tidak menjadi sebuah persoalan bagi Sri Sultan yang juga menjabat sebagai gubernur. Padahal rakyat yang sedang tertimpa musibah akibat gempa sangat membutuhkan biaya untuk membangun kembali rumah yang hancur.

Selain itu, ketika terjadi penggusuran tanah di kawasan Parang Tritis dan Sepanjang Pantai Kulon Progo, yang notabene merupakan tanah Sultan Ground dan Pakualam ground, tidak ada sikap keberpihakan dari kedua tokoh terkait dengan kepentingan rakyat banyak. Padahal ribuan petani selain harus rela kehilangan hak atas tanah yang selama ini garap, juga harus menelan pil pahit menjadi pengangguran. Gubernur dan wakil gubernur yang seharusnya memberikan solusi atas penggusuran itu ternyata tidak pernah dan terkesan tidak mau tahu. Yang penting investasi masuk dan tumbuh walaupun harus mengorbankan nasib rakyat.


Rembug Rakyat

Kontroversi RUUKY yang menyeret kepada konflik elite politik dan cenderung mengabaikan hak maupun kepentingan masyarakat harus segera diakhiri. Semua pihak harus mau duduk bersama dan berjiwa besar untuk melakukan dialog setara menyangkut keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Kesultanan Hamengkubuwono dan Paku Alam, para tokoh masyarakat nasional maupun Yogyakarta, para perwakilan masyarakat Yogyakarta dari berbagai wilayah di Yogyakarta, para akademisi/pakar, mau duduk setara melakukan rembug bersama.

Rembug bersama atau rembug rakyat merupakan forum tertinggi menyangkut nasib, status dan masa depan Yogyakarta. RUUKY tidak hanya dilihat dari masa sekarang saja, tapi juga harus melibatkan masa lalu, dan bagaimana menatap masa depan Yogyakarta. Benang merah dari masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan, terkait dengan keistimewaan Yogyakarta, tidak lain dan tidak bukan adalah kepentingan rakyat banyak.

Yogyakarta selama ini terkenal sebagai kota pendidikan mau pun kota budaya yang dihuni oleh beragam etnis suku bangsa. Yogyakarta merupakan miniatur dari Indonesia. Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya semata pada penetapan atau pemilihan kepala daerah saja. Tapi yang paling hakiki adalah bagimana menjaga roh keberpihakan masyarakat Yogyakarta untuk selalu menjadi bagian dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


* Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Harian Paguyuban Kawula Alit “Mrantasi Gawe“ Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



0 Comments:

Post a Comment