Oleh Andika *

Beberapa bulan terakhir fenomena pertambangan rakyat merebak di mana-mana, hampir semua daerah telah berinisiatif untuk mengolah emasnya. Palu-Sigi, Parigi, Buol, Luwuk adalah daerah di Sulawesi Tengah yang kelihatan timbul ke permukaan. Anehnya, stigmatisasi juga seiring sejalan dengan pertumbuhan tambang versi rakyat itu. Merusak lingkungan, pencemaran, dan gejolak sosial adalah tuduhan lazim yang menandakan spektrum pemerintah.

Kepemilikan sumber daya alam, lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi mikro, dan taraf kesejahteraan rakyat sangat kurang diminati dalam diskursus ilmiah, maupun perdebatan terbuka antara rakyat dan pemerintah. Bahkan untuk menguatkan wacana versi pemerintah, berbagai penelitian dilakukan, misalnya dugaan pencemaran dari hasil tes laboratorium oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Hasilnya dugaan pencemaran dari aktivitas tambang tromol yang dilakukan di Kelurahan Poboya semakin menguat. Hal ini pula yang mengembangkan wacana tambang tromol Poboya menjadi sangat liar dan tidak terkendali.

Wacana yang bergulir dari hasil penelitian versi pemerintah, akhirnya telah membawa perhatian kita pada rencana penggusuran tambang Poboya dengan dalih moratorium. Pertemuan pun dilakukan unsur muspida propinsi pada tanggal 7-8-9 Oktober 2009 di gedung Gubernuran Propinsi Sulawesi Tengah. Pertemuan itu membahas beberapa agenda dan tugas dari tim penertiban yang dibentuk, dengan tujuan melaksanakan tugas penertiban tambang Poboya (sosialisasi, tata laksana penertiban). Sementara tanggal 9 Oktober 2009 pertemuan juga berlangsung di kantor Polda Sulteng antara masyarakat Poboya dengan Kapolda Sulteng. Tujuan pertemuan masyarakat Poboya dan pihak Polda Sulteng adalah untuk membahas rencana penertiban aktivitas tambang tromol Poboya, dimana Polda Sulteng sebagai eksekutor yang mungkin akan dibantu oleh aparat Pamong Praja, dan aparat TNI jika diperlukan dengan biaya operasi sekitar 200-an juta.

Justifikasi pemerintah untuk mengintervensi aktivitas tambang tromol di Kelurahan Poboya, adalah untuk menghentikan sementara (moratorium) aktivitas itu. Selain karena alasan lingkungan hidup, tindakan ini juga adalah upaya menata pengelolaan tambang Poboya secara lebih arif untuk kemaslahatan bersama. Alasan itu dalam pandangan sederhana bisa dipahami. Namun lebih jauh dari itu, mungkin penting dilihat dan diketahui masyarakat kota Palu bagaimana konfigurasi politik investasi dan kepentingan di balik kisruh tambang tromol Poboya. Hal itu penting, agar dalam penertiban ini tidak menempatkan masyarakat sebagai obyek penggusuran tetapi untuk menata pertambangan tromol itu sesuai pernyataan walikota pada aksi massa yang dilakukan penambang tromol.

Pertama, Poboya adalah salah satu blok yang dimiliki oleh PT. Bumi Resources melalui anak perusahaannya PT. Palu Citra Mineral (CPM). Dalam Laporan Tahunan 2007, agenda utama dari PT. Bumi Resources adalah segera mempercepat proses eksplorasi dengan perencanaan tahun 2012, untuk segera eksploitasi. Mengingat cadangan emas di Kelurahan Poboya sebesar 2 juta ons, urutan kedua dari konsesi emas Bumi lainnya di Yaman. Cadangan emas Poboya sekaligus salah satu pendongkrak nilai saham Bumi di bursa efek.

Peluang investasi dan jaminan nilai saham memiliki rumus keamanan. semakin banyak tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan didukung secara baik oleh pemerintah, maka sudah pasti lembaran-lembaran saham itu akan mengalami peningkatan. Itu bisa dibuktikan dari sejumlah agenda investasi di Sulawesi Tengah yang seiring sejalan dengan proyek pembangunan kompi-kompi militer dan kepolisian.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuding PT. Bumi Resources dalam upaya penertiban pemerintah terhadap tambang tromol Poboya. Hanya sekedar mengingatkan pemerintah jangan sampai langkah penertiban bukan untuk kepentingan penataan tambang tromol versi rakyat, tetapi justru untuk memuluskan agenda Bumi. Dugaan ini patut untuk dilihat lebih mendalam mengingat ada kemiripan pernyataan antara Gubernur Palu dan Walikota Palu. Mereka sering sekali mengungkapkan bahwa sebelum penataan tambang dilakukan, agar dilakukan moratorium sembari meminta izin pada PT. Bumi Resouces selaku pemilik kontrak karya. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana sikap ketergantungan pemerintah terhadap ketidakberdayaannya, untuk menyatakan sikap secara politik atas penegasan kepemilikan emas Poboya. Sehingga moratorium ini kemungkinan untuk ditunggangi oleh kepentingan Bumi, sangat memungkinkan.

Kedua, penertiban ini juga penting dilihat dalam segala kemungkinan timbulnya praktek kekerasan. Pengerahan aparat keamanan untuk menertibkan tambang tromol Poboya kemungkinan bisa diterjemahkan berbeda oleh masyarakat Poboya maupun penambang lainnya. Pengalaman dari berbagai praktek penggusuran, karena kurangnya sosialisasi dan negosiasi yang seimbang memungkinkan timbulnya gesekan antara aparat keamanan dan masyarakat.

Kebiasaan heroisme dari oknum kepolisian acap kali menimbulkan rasa tidak simpati dari masyarakat, dalih seperti tindakan persuasif dan preventif biasanya sulit juga diartikan oleh oknum aparat keamanan sendiri, apalagi kalau misalnya melibatkan pamong praja, yang secara protap tidak sehebat disiplin kepolisian. Bisa dilihat dari penggusuran yang dilakukan di berbagai tempat, acap kali terlihat keganasan aparat pamong praja.

Penggunaan anggaran sebesar Rp 360 juta untuk biaya penertiban ini dan konon katanya 200 juta untuk biaya operasi yang dilakukan aparat kepolisian bersama jajarannya. Anggaran itu diduga bersumber dari APBNP, bisa jadi akan percuma dan justru berbalik pada situasi yang buruk. Pemerintah harus secara arif bekerjasama dengan masyarakat Poboya dengan melibatkan partisipasi kesadaran mereka untuk mau menerima tujuan pemerintah, demi jalan kesejahteraan bersama. Penetrasi kepentingan berbagai pihak seperti tengkulak, cukong, preman dan lumpen masyarakat lainnya harus diawasi, jangan sampai kepentingan mereka bisa mendominasi, sehingga meruntuhkan semua harapan dan cita-cita masyarakat Poboya yang secara arif mengelola alamnya.

Ketiga, dampak secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Poboya. Moratorium secara istilah adalah jeda aktivitas. Dalam konteks Poboya moratorium dimaksudkan untuk menghentikan sementara seluruh aktivitas yang terkait dengan penambangan tromol di Kelurahan Poboya. Penghentian itu kemudian akan dilanjutkan kembali dengan penataan sistem pertambangan rakyat. Penghentian ini bukan berarti tidak memiliki dampak secara ekonomis terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat maupun pekerja migrasi dari berbagai daerah yang sedang mengais rejeki di Kelurahan Poboya.

Bagi masyarakat Poboya, bertambang adalah jalan ekonomi yang sanggup meningkatkan taraf hidup mereka, meskipun dalam hubungan produksi sebagian besar hanya sebagai pekerja. Mereka mengais rejeki di balik megahnya bangunan tromol dan desingan riuh tromol sebagai pekerja, karena ternyata kepemilikan tromol di Kelurahan Poboya lebih dominan pemodal-pemodal kecil (cukong-cukong) ketimbang masyarakat Poboya. Hal itu bisa dilihat dari komposisi kepemilikan tromol, dimana hanya tiga keluarga Poboya yang memiliki tromol: [1] Keluarga Ali Jalaludin, Ketua Adat; [2] Keluarga Bapak Isra; [3] Keluarga Janggola (Rumpun Keluarga Bupati Parigi Moutong “Longky Janggola”).

Dapat dibayangkan jika penghentian tambang ini (moratorium) berlangsung lama. Sudah secara otomatis akan sangat menyulitkan perekonomian masyarakat Poboya. Mengapa demikian? Perubahan besar secara radikal dari bertani menjadi pekerja tambang adalah konsekuensi pada perubahan basis produksi. Masyarakat Poboya sudah meninggalkan corak pertanian sekitar sembilan bulan yang lalu dan serta-merta melibatkan dirinya dalam mesin tromol. Hal lain adalah kondisi kekeringan dan lahan yang tandus akan menyulitkan mereka untuk mengolah kembali tanah pertanian untuk kebutuhan temporer. Belum lagi sebaran mesin-mesin tromol yang tidak kenal medan, tentu saja akan mengganggu kondisi permukaan tanah.

Memperhatikan hal ini, pemerintah tidak bisa tegesa-gesa dalam melaksanakan kebijakan Moratorium. Apalagi pengerahan aparat keamanan di tengah ketergantungan ekonomi yang tinggi, hal ini akan membuat masyarakat Poboya mengalami penyempitan hak dalam pergaulan tanggung jawab pemerintah, yang dari awal tidak mengintervensi aktivitas tambang ini. Perhitungan berbagai resiko yang terjadi paska moratorium tidak bisa diukur dengan intervensi teknis sebagaimana yang terjadi pada masyarakat translok di Lembah Lore Lindu. Kepastian terhadap basis produksi mereka adalah jawaban tunggal terhadap kepentingan semua tujuan moratorium ini, dan tambang tromol versi rakyat adalah suara mayoritas.

Untuk itu pemerintah dan siapa pun pihak yang terlibat dalam upaya moratorium ini harus kembali pada hak-hak mendasar yang dimiliki oleh masyarakat Poboya. Intervensi pemerintah harus mendorong pada perbaikan taraf kesejahteraan rakyat misalnya pengakuan atau ijin, akses bantuan modal tromol untuk kepentingan bersama (tambang kolektif dan menghapuskan tengkulakisme) dan memberikan gambaran letak kebijakan yang secara arif untuk keadilan bersama dalam pengelolaan sumber daya alam karunia Sang Pencipta.


* Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment