Darto Sangoro *

“Jangankan menghormati warga negara lain, warga negara sendiri saja dibiarkan,” begitulah pernyataan salah satu orang yang nonton berita TV tentang pengungsi Tamil di Pelabuhan Merak yang terlantar dan dijaga ketat oleh Angkatan Laut dan Kepolisian Banten.

Pengungsi Tamil dari Sri Lanka yang ingin mendapat suaka ke pemerintah Australia dikarenakan mendapatkan perlakuan rasis di negaranya, hidup dalam tekanan tanpa keamanan sedikitpun. Kenapa pilihannya Australia, karena negara ini yang menandatangani konvensi PBB tentang pengungsi. Tentulah ini pilihan sulit.

Pengungsi ini berjumlah 253 orang dan hidup di atas kapal motor berbulan-bulan, mereka digiring oleh kepolisian dan angkatan laut RI setelah dicegat di Kalimantan Barat untuk “diparkir” di Pelabuhan Merak dan tidak boleh melanjutkan ke Australia. Tentu menjadi manusia kapal bukan pilihan mereka.

Potret di atas menunjukkan bahwa pemerintah RI tidak punya rasa sosial sedikitpun menolong warga negara lainnya. Bahkan pengungsi Tamil ini juga tidak bisa turun dari kapal untuk sekedar mencari angin. Seperti pernah diberitakan, para pencari suaka itu rencananya akan ditempatkan di pulau tempat penahanan sementara di Bintan yang dibiayai Australia. Pemindahan ini dilakukan secara rahasia. Mereka menolak rencana pemindahan itu dan melancarkan aksi mogok makan. Sebelumnya, Kevin Rudd sudah menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rudd meminta bantuan Indonesia untuk menanggulangi membanjirnya pencari suaka ke Australia.

Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Australia yang terkait dengan pengungsi Tamil in dikenal dengan nama ”Indonesian Solution.” Di dalamnya termaktub janji dari pemerintah Australia untuk mengucurkan dana ke Indonesia dengan syarat para pengungsi ini tidak boleh masuk ke wilayah teritori Australia.

Salah seorang anggota Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Pencari Suaka dan Pengungsi, Ignatius Mahendra menyatakan bahwa Indonesian Solution menjadikan Indonesia sebagai bemper bagi Australia. Pengungsi yang masuk ke Australia akan ditahan di Indonesia karena Australia sudah mengucurkan uangnya. Di samping itu pemerintah Indonesia belum menandantangani Konvensi PBB tentang pengungsi. Dari sini dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia lebih mementingkan kepentingan ekonomi dari pada kepentingan pengungsi Tamil.

Cara-cara represif terhadap pengungsi ini juga ditunjukkan pemerintah RI terhadap warga negaranya sendiri. Perlakuan terhadap TKI yang dideportasi selama ini, menunjukkan bahwa pemerintah memperlakukan TKI deportasi sebagai pesakitan. Padahal bila kita runut, TKI yang dideportasi adalah korban penipuan dan human trafficking (perdagangan orang).

Perlakuan pemerintah selama ini terhadap TKI yang dideportasi adalah hanya sekedar memulangkan ke kampung halamannya saja dengan fasilitas transportasi serta penampungan selama belum pulang. Urusan seperti itu diserahkan ke Departemen Sosial, seolah-olah ini rasa kasihan dan bentuk tanggung jawab sosial pemerintah. Hal dasar yang membuat mereka dideportasi tidak pernah dibongkar dan diselesaikan. Padahal hampir setiap minggu TKI yang dideportasi cukup banyak, rata-rata 200 orang per minggu.

Nah, dua hal di atas yakni TKI yang dideportasi dan pengungsi dari negara lain selayaknya patut disamakan dalam memberikan penanganannya. Karena solidaritas antar bangsa akan memberikan nilai terhadap bangsa itu sendiri. Patutlah rakyat berteriak bahwa pemerintah berpihak pada pemodal, karena kasus deportasi yang bermula dari penipuan para calo (petugas pelaksana PJTKI) dalam rekruitmen di daerah-daerah tidak dibongkar.

Selayaknya dan secepatnya desakan kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap warganya melalui undang-undang dan praktek langsung harus diperkuat dan diperluas. Bagaimanapun ”buaya” (sebutan untuk semua perilaku buruk, korupsi, penipu dll) harus dibabat habis. Percaloan dan penipuan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisah. Dan sumber dari hal ini adalah adanya PJTKI yang merupakan perusahaan outsourcing dari pemerintah/Depnaker dan agensi luar negeri. Penyelsaiannya adalah dengan membuat UU Perlindungan TKI yang mengharuskan pengurusan, pengiriman dan perlindungan diambil alih oleh negara. Serta kerja sama pengiriman TKI seharusnya dilakukan antar pemerintah (program G to G).

Untuk pengungsi, bagaimanapun tetap harus diberikan perlindungan. Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Pencari Suaka dan Pengungsi yang terdiri dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Human Rights Working Group (HRWG) sedang menggalang solidaritas internasional bagi para pengungsi Tamil. Pemerintah Indonesia dituntut untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tentang pengungsi.

Menelantarkan pengungsi yang membutuhkan tempat tinggal yang aman karena negaranya menerapkan sistem yang rasis, maka sama saja negara ini ikut berbuat rasis dan dzalim terhadap manusia lainnya.


* Penulis adalah anggota Forum Keluarga Buruh Migran Indonesia (FKBMI) Subang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment