Oleh Alfa Gumilang *

Tanggal 5 Oktober. Pada tanggal ini mungkin orang Indonesia secara umum akan lebih banyak mengingat sebagai hari berdirinya TNI. Tak salah memang ingatan itu, melihat begitu banyak peristiwa dan sejarah negeri ini yang berhubungan dengan kemiliteran. Entah mungkin tentang begitu heroiknya tentara dalam cerita perang melawan penjajahan, atau bahkan cerita tentang seribu satu macam pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang melibatkan intitusi tersebut.

Tapi mungkin hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pada tanggal tersebut ada peristiwa lain yang tak kalah penting bagi perkembangan HAM di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1990, Konvensi Hak Anak (KHA) pertama kali berlaku di Indonesia, setelah sebelumnya melalui Keputusan Presiden No. 36/1990, tertanggal 25 Agustus 1990, Indonesia meratifikasi KHA.

Dalam sejarahnya, konvensi ini bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada saat berakhirnya perang dunia pertama. Hal ini muncul ke permukaan sebagai reaksi atas apa yang terjadi setelah perang dunia pertama tersebut usai. Sebuah kondisi dimana akibat dari perang tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khusunya penderitaan yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian baik oleh publik dan tentunya perhatian yang lebih pula oleh negara atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia, seringkali diteriakkan oleh para aktivis perempuan.

Adalah Eglantyne Jebb, salah seorang aktivis perempuan yang kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak. Yang selanjutnya pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Dan selanjutnya pada tahun 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak. Tahun 1979 yang merupakan Tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Lalu sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak berhasil diselesaikan dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Konvensi Hak Anak. Namun demikian pemberlakukan KHA sebagai hukum internasional baru dimulai pada tanggal 2 September 1990.

Melihat rentetan tahun bersejarah tersebut, begitu panjang perjuangan masyarakat sipil agar anak mendapatkan sebuah pengakuan dan perlindungan secara khusus atas hak-haknya. Karena anak sebagai individu yang belum matang secara fisik, mental maupun sosial, acap kali kondisinya dan beresiko terhadap tindak ekploitasi, kekerasan, penelantaran dan lain-lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan, dalam waktu sebelum KHA itu diberlakukan sebagai hukum internasional, telah banyak jutaan anak yang menjadi korban, baik korban perang yang masih terus berlangsung, atau korban eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, korban perdanganan ataupun bentuk-bentuk eksploitasi lainya.

Lalu bagaimana implementasi KHA itu di Indonesia?

Pertanyaan tersebut selakayaknya adalah negara dalam hal ini pemerintah yang harusnya mampu menjawabnya. Karena yang punya kewajiban untuk melakukan implementasi terhadap KHA adalah negara yang telah melakukan ratifikasi KHA, dan Indonesia adalah salah satu dari 188 negara yang telah melakukan ratifikasi KHA (sampai tahun 1996). Secara legislasi, pemerintah telah melakukan upaya implentasi dengan dikeluarkanya Keppres No. 36/1990, UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 23 tahun 2003 mengenai Perlindungan Anak, serta aturan-aturan terkait lainya. Langkah ini memang selayaknya mendapatkan apresiasi sebagai wujud upaya pemenuhan hak-hak anak.

Namun demikian, seperti pada persoalan-persoalan lainnya, secara praktis, upaya tersebut sangatlah buruk di lapanganya. Karena terbukti sampai sekarang, masih banyak sekali persoalan-persoalan yang menyangkut atas hak-hak anak yang belum mampu dipenuhi oleh negara/pemerintah. Belum lagi persoalan perlidungan terhadap anak akan kekerasan yang sangat besar terjadi di daerah-daerah yang berkonflik, persoalan eksploitasi anak sebagai tenaga kerja untuk mendapatkan buruh yang murah dan semata-mata untuk keuntungan pengusaha saja. Lalu eksplotasi secara seksual juga masih banyak terjadi di negeri ini, khususnya perdagangan anak untuk tujuan seksual atau anak yang dilacurkan.

Menelaah lebih jauh tentang eksploitasi seksual komersial terhadap anak merupakan salah satu pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak, yang dalam bentuknya terdiri atas prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Pelanggaran tersebut bisa berbentuk kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan terhadap anak. Dimana anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah obyek seksual dan sebagai obyek komersial serta merupakan bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak yang mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. Data dari IPEC-ILO tahun 2004, menyebutkan bahwa sekurangnya ada 27% anak yang masih di bawah umur (usia 18 tahun ke bawah sesuai dengan KHA) atau sekitar 2.329 anak dari sekitar 8.440 pekerja seks komersil yang ada di wilayah Dolly, Surabaya. Sementara Saleemah Ismail dari UNIFEM menyatakan lebih dari 40% dari sekitar 19.000 pekerja seks di Batam berusia di bawah 18 tahun.

Keberadaan anak dalam bisnis prostitusi ini tentunya tidak lahir dari keinginan anak untuk berada di sana. Namun melainkan adalah dari sebuah bentuk perdagangan anak. Dimana adanya proses perekrutan, pemindahtanganan, penampungan dan penerimaan anak. Dari pantauan media massa yang dilakukan oleh tim gugus tugas anti trafficking, pada tahun 2006 saja setidaknya tercatat ada 184 korban perdagangan yang 35 di antaranya adalah anak-anak untuk ditempatkan di wilayah prostitusi di Surabaya. Dan kebanyakan dari korban perdagangan anak tersebut, berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, kemudian berpendidikan rendah, atau dari keluarga yang tidak lengkap.

Upaya pencegahan seharusnya mampu secara nyata dan aktif bisa dilakukan oleh institusi pemerintahan dalam hal ini adalah kepolisian untuk melakukan penyidikan dan peneyelidikan terhadap para pelaku kejahatan perdagangan anak. Apalagi payung hukum yang tersedia juga sudah ada. Begitu pula upaya pencegahan dari hulu yang harus cepat dilakukan oleh pemerintah. Karena melihat dari latar belakang para korban yang umumnya adalah dari keluarga yang miskin atau tidak mampu dan juga para korban yang berpendidikan rendah. Artinya kesejahteraan bagi rakyat harus menjadi prioritas utama dari pemerintah, yang tentunya adalah dalam bentuk pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial. Karena jika hal ini dilakukan, maka tidak hanya persoalan anak dan perdagangan anak saja yang akan teratasi, tapi juga akan berimbas pada seluruh persoalan masyarakat lainnya. Jika kita menengok strategi dan perspektif pemerintah dalam pembangunan ekonomi negeri ini, sangatlah berorientasi dan sangat berpihak pada kepentingan pemilik modal atau pengusaha serta keuntungan semata. Tanpa kemudian memperhatikan hal-hal yang menyangkut pemerataan pembangunan di daerah-daerah, pembukaan lapangan kerja yang bersifat massal dari industri yang kuat, serta pemenuhan upah yang layak bagi kehidupan para pekerja. Sehingga anak pun bisa mendapatkan hak-hak dasarnya seperti pendidikan yang berkualitas, karena tingkat pendidikan yang rendah juga merupakan faktor dari terjadinya pelacuran terhadap anak dan juga perdagangan anak.

Paradigma pembangunan ekonomi yang seperti inilah yang kemudian berdampak sangat besar terhadap persoalan ekonomi masyarakat yang berlanjut pada banyaknya kasus perdagangan manusia (trafficking) dan ekspoitasi terhadap anak dalam banyak hal untuk kepentingan komersial.

Ekonomi sebagai dasar kehidupan manusia harus terpenuhi secara layak dan bermartabat serta berkeadilan sosial adalah hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memenuhi hak-hak anak. Selain pula juga terus melakukan upaya praktis dan aktif untuk menanggulangi perdagangan anak dan pemenuhan hak-hak anak. Karena anak bukanlah sebuah komoditi untuk diperdagangkan, anak bukanlah sebuah obyek untuk dinikmati secara seksualitas. Karena anak haruslah terpenuhi hak-haknya untuk mempunyai identitas, anak haruslah terpenuhi haknya atas pendidikan dan kesehatan. Anak haruslah mendapatkan perlindungan hukum dan kasih sayang, anak pula harus mendapatkan haknya untuk bermain, berekreasi, berfikir, berpendapat dan berkarya, serta tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif.


* Penulis adalah pekerja di Yayasan Anak dan Perempuan (YAP) di bidang trafficking, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment