Oleh Triyanti Widiastuti *

Pemilu legislatif (pileg) telah selesai dengan menyisakan banyak problematikanya. Kini perhatian para elit politik dan pimpinan partai politik beralih menyiapkan diri menyambut pemilu presiden (pilpres). Melesatnya perolehan Partai Demokrat (PD) melewati Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam perolehan suara sementara yang juga diperkuat dengan hasil hitung cepat semua lembaga survey, pada akhirnya merubah semua konstelasi politik dan kalkulasi pada pilpres yang akan digelar bulan Juli mendatang.
Dalam rentang waktu dua bulan tentu konstelasi dan kalkulasi politik bisa berubah cepat setiap waktu. Pada musim kampanye pileg, parpol pengusung capres bisa saling serang dan bisa dengan tiba-tiba membangun koalisi. Atau sebaliknya, yang semula sangat mesra menjadi saling berseberangan. Dan tentunya, ada parpol yang diam-diam saja menunggu “keberuntungan” untuk memasukkan orangnya ke dalam kabinet atau mendapat keuntungan lainnya, siapapun presidennya dan apapun programnya. Di sinilah oportunisme politik sangat terlihat dipraktekkan. Lalu, Bisakah kita menghitung kemungkinan dalam pilpres kali ini?
Konstelasi awal sebelum pileg mencuat ada 5 capres masuk nominasi atas yakni SBY dari PD, JK dari PG, Mega dari PDIP, Prabowo dari Gerindra, Wiranto dari Partai hanura. Namun dengan hasil hitung cepat dan hasil sementara penghitungan KPU merubah semua konstelasi tersebut. Semua capres dan parpol yang ambisius langsung ancang-ancang membangun koalisi sebagai sarana masuk dalam “ring” pilpres.
Dari hasil penghitungan sementara ini, SBY dan PD menjadi kelompok yang diuntungkan dan pegang kendali, walau tidak menang telak namun dengan 20,6% perolehan suara akan lebih mudah mengajak parpol lainnya berkoalisi mengusung SBY sebagai capres. Sehingga di awal selesai hitung cepat, PG merapat ke PD. Sementara PDIP merangkul parpol yang meraup suara di level tengah. Beberapa capres “mundur teratur” tanpa konfirmasi kepada publik, seperti Wiranto, Sultan, Rizal Ramli. Sehingga fase awal menunjukkan pertarungan pilpres seolah-olah antar Mega versus SBY.
Tetapi, semua menjadi berubah ketika PG mundur dari koalisi dengan PD dan tetap akan mengusung JK sebagai capres. Sementara Mega terus mensolidkan barisannya dengan Prabowo dan beberapa parpol menengah-kecil. Di lain pihak Prabowo diusung oleh 12 parpol kecil dan menengah. Parpol yang mendapat suara sedang tetapi lolos electoral threshold, seolah menunggu redanya badai persaingan sambil melihat “pusaran persaingan” yang menguntungkan mereka. Di antaranya adalah PKB dan PKS yang sudah pasti merapat ke PD. Ada lagi PAN dan PPP yang belum menentukan pilihannya untuk koalisi. Sikap seperti ini juga diambil oleh partai yang mendapatkan suara di atas 1% seperti PPRN, PBR, PKPB, PDS dan PKNU. Mereka merasa perolehan suaranya akan menentukan terjadinya koalisi untuk mendongkrak suara persyaratan mengusung capres. Berbeda dengan PBB yang mendapatkan 1,9% tetapi langsung merapat ke PD untuk mengusung kembali SBY.
Dengan kondisi di atas dan mendasarkan persyaratan UU Pilpres No 42 tahun 2008 pasal 9 yakni parpol atau gabungan parpol pengusung capres harus memperoleh kursi di DPR RI sebanyak 20% atau suara keseluruhan sebesar 25%. Maka, capres yang akan muncul dalam pilpres nanti:
Kemungkinan pertama ada tiga pasangan capres. Yakni, capres SBY yang kemungkinan cawapres dari PKS diusung secara pasti oleh PD (20,6%), PKS (8,2%), PKB (5,1%), PBB (1,9%) dan total suara 35,8%. Capres Mega kemungkinan berpasangan dengan Prabowo diusung oleh PDIP (14,4%), Gerindra (4,3%), Hanura (3,6%) dan total suara 22,3%. Kekurangan suara 2,7% bisa diambil dengan menarik PPP (5,3%) atau partai kecil lainnya seperti PKNU (1,5%), PPRN (1,2%) dan PDS (1,2%) bila PPP merapat ke koalisi lainnya. Capres JK dengan cawapres Sutrisno Bachir dari PAN yang diusung oleh PG (14%), PAN (6,3%), PPP (5,3%) dan total suara 25,6%.
Kemungkinan kedua, formasi SBY tidak berubah dengan total suara 35,8%. Mega berpasangan dengan JK, diusung oleh PDIP dan PG dengan total suara 28,4%. Kemungkinan capres Prabowo yang diusung oleh partai medioker dan kecil.
Kemungkinan ketiga adalah formasi seperti kemungkinan pertama, tetapi ada tambahan dari parpol memaksimalkan perolehan kursi hingga 20%. Sehingga kemungkinan ada empat capres.
Namun, apapun kemungkinan yang terjadi di atas, jelaslah konstelasi tersebut tidak merubah nasib rakyat Indonesia. Semua bentuk koalisi hanya berorientasi kekuasaan, tidak mendasarkan platform ideologi dan politik parpol. Semua penuh oportunisme dan yang jelas tidak ada landasan bagi semua parpol dan capres untuk memandirikan Indonesia secara ekonomi, politik dan budaya keluar dari tekanan neoliberalisme karena terikat kuat oleh utang.
Ada sebuah kemungkinan lain, yang paling tragis dalam sejarah demokrasi liberal negeri ini adalah pilpres gagal. Ini bisa terjadi apabila dengan sengaja parpol lain tidak mengajukan calonnya. Karena syarat dari pilpres menurut UU Pilpres nomor 42 tahun 2008 harus ada calon pasangan lebih dari satu. Kondisi tersebut bisa terjadi dengan kemungkinan parpol lain ingin semua proses pemilu diulang karena banyak kekurangan (dan kecurangan) atau parpol lain ingin men-delegitimasi SBY. Semuanya ada resiko, baik resiko politik, resiko ekonomi dan sosial.


* Penulis adalah pekerja sektor jasa di Bogor, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

1 Comment:

  1. Blog Watcher said...
    CAPRES DAN CAWAPRES MULAI SALING SERANG

    Hardikan, kecaman, hinaan mulai dilakukan para capres dan cawapres. Tim sukses pun tak mau ketinggalan, mulai melancarkan aksi balasan.

    Mendengar kata demi kata aksi tersebut, hati serasa miris jadinya. mereka saling memburukkan, membingungkan saling serang mempertontonkan pola kampanye yang tidak sehat.

    Sempitnya fikiran tim sukses pemenangan capres dan cawapres tentang strategi dan karakter calon yang diusung semakin terlihat jelas. Mereka tidak menjelaskan kepada publik apa visi dan misi capres dan cawapresnya. Yang terjadi saling serang, saling memburukkan, debat kusir. Semua yang dilakukan justru akan semakin memperparah keadaan.

    Dalam mata khayal, terbayang bagaimana jika budaya saling menyerang ini berimbas ke tingkat bawah. Semua bisa menimbulkan gesekan antar simpatisan calon. Yang kalah akan terjajah, marah, sehingga menimbulkan tawuran antar pendukung.

Post a Comment