Oleh: Yayak Yatmaka

"Aku, Menolak Takluk"

Namaku Tukijo, atau Parmin, atau Marni atau apapun lah kau sebut. Tinggal di kampung dekat pantai mengandung pasir besi, awalnya adalah berkah dan selalu membawaku dekat dengan Tuhanku. Bahkan menyatu.

Aku menolak takluk, karenanya sekarang tinggal di kotak sepi dan beku ini. Terlalu kecil untuk dibilang ruang. Meski ada jendela kecil, itupun hanya tempat untuk tanda masih adanya angin dan udara di bumi ini. Kadang dibuat gelap, kalau saja aku marah dan mengamuk. Karena, aku selalu saja menolak dibilang salah hanya karena membela tanamanku, menjaga kampungku, menghormati warisan leluhurku sekuat tenagaku.  Dan tak terima ditempatkan disini, di kotak berjeruji besi ini. Aku menolak takluk dan disinipun tak membuatku menyerah. Karena ada ombak di semangatku, ada api di kepalku, ada matahari di dadaku. Bergulung. membara, menyala.

Aku menolak membacai ceritera pendek atau panjang atau puisi atau essay atau feature ataupun ceracau2 dikoran2 atau majalah , apalagi di Internet. Bukan hanya karena tak ada, tapi memang percuma. Utamanya tulisan kaum muda. Yang karena telah belajar sampai setinggi2nya tempat belajar, justru makin membutakan hati dan perhatian mereka atas kemanusiaan . Barangkali karena sangking tololnya, tak mengerti aku kenapa mereka mau membuang banyak waktu. tenaga dan uang mereka untuk duduk di depan mesin komputer, tanpa henti, sambil mencari2 ilham, berkeliling jagad maya, hingga rela menjauhkan diri dari tubuhnya sendiri, dari masyarakat di sekelilingnya dan dari kerja2 nyata yang menyehatkan diri mereka, seperti halnya kerjaku: bertani. Muak aku pada mereka itu. Mereka yang bersemangat untuk menipu dirinya sendiri dengan kenyataan2 palsu atau rekaan yang juga benar2 palsu. Sementara itu, orang senasibku, lebih dari dari seribu nyawa meregang, terancam jiwa dan hidup mereka, ada di sekitar mereka. Bertanah air sama. Berbahasa sama.Sedang membangun ceritera nyata,bahkan sejarah peradaban umat manusia, tapi terlewat dari mata, kuping dan hati para penulis terpelajar itu. Bukan aku pengin dikenal, tapi perkara nyata yang kami hadapi akan tercatat sepanjang umur bumi. Hingga kalau kami mati di tengah perjuangan kami, ada lah tinggalan yang bisa dipelajari. Tentang kesungguhan, tentang semangat, tentang kesetiakawanan, tentang rasa cinta tanah air, tentang kehormatan diri dan penolakan untuk membiarkannya jadi korban penindasan, penjajahan, pelemahan hati untuk terus siap berlawan. Kalau saja mereka, para penulis itu menyukai diri mereka menjadi korban, maka mereka itu memang mahluk tak berguna! Setidaknya, untuk aku.

Aku menolak untuk takluk, karena itulah aku ada disini. Aku menolak tanah kelahiranku di aduk2. Aku menolak tanamanku, yang membuatku gembira saat setiap daun dan bunganya bertumbuhan, hingga umbi dan buahnya bisa kupetik dan menghidupi keluargaku. Aku menolak tanah airku dikuasai orang2 asing antah berantah, yang pasti tak peduli pada kesengsaraanku, dan orang2 sekampungku, karena kebun yang kami buat, dari menggali dan menyingkirkan pasir secangkulan demi secangkulan, lalu kita tanami dengan sepenuh cinta yang kami punya, akan dirusaknya. Aku menolak diusir dari situ dengan semena2, karena aku diajarkan untuk menghormati dan melaksanakan ajaran para leluhur, para guru serta pahlawan, untuk tidak dikuasai oleh para penjajah dan penindas jiwa, pikiran dan tubuhku. Siapapun dia.

Namaku Tukijo, atau Parmin, atau Murni atau apapun lah kau sebut, dengan ini bernyata diri: "Di atas tanah leluluhur kami, di atas kebun kami, kami siap bilang:

"Sesentuhan jari dikening pun,
sejengkal tanah di bumi milik kami pun,
akan kami pertahankan sampai mati!".
Aku, menolak takluk!
Aku, menolak tunduk!

(2012)

*Catatan untuk Tukijo yang ditahan Kepolisian Yogya karena memimpin perlawanan menolak penambangan pasir vesi di Kulon Progo. Juga untuk rakyat di pantai Kebumen yang 10 Feb kemarin diancam, diintimidasi oleh preman2 PT MNC dan tentara, tapi tak bergeming. Terus melawan.

"Tolak Pertambangan Pasir Besi di Sepanjang Pesisir Selatan Jawa!", 2012. 9 Februari 2012, Perusahaan Tambang Pasir Besi PT MNC di Kebumen, mengerahkan Preman untuk mengintimidasi Rakyat setempat yang menolak keberadaan Tambang yang merusak ekosistem dan ladang pertanian rakyat setempat. Penolakan yang sama terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa. Pemda setempat, rata2 mendukung adanya penambangan itu (Perusahaan Lokal dan Asing). Penghianatan UUD'45 Ps.33 terus berlanjut. Mohon dukungan pada perjuangan rakyat itu.....Sebelum darah tumpah mempertahankan tanah air milik bersama!

0 Comments:

Post a Comment