Oleh: KJPL

Kalimantan  | Nasib masyarakat Dayak di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa Indonesia harus melindungi hak-hak masyarakat adat,  jika ingin mencapai target ambisius dalam mengurangi emisi dari deforestasi.

Masyarakat Dayak Benuaq di Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat,  saat ini diserang oleh dua perusahaan sawit yang menggusur lahan adat mereka dengan agresif. Masyarakat bersama Telapak berjaga di pos terdepan sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan hutan terakhir dari kehancuran.

Minggu ini, EIA (Environmental Investigation Agency) – organisasi lingkungan yang berbasis di London- telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana perjuangan masyarakat Muara Tae, dan bagaimana kearifan lokal mereka dalam memanfaatkan hutan dapat membantu Indonesia untuk mencapai target ambisius mengurangi emisi gas rumah kaca.

Forest Team Leader EIA, Faith Doherty mengatakan, ”Terdapat lebih dari 800 kepala keluarga di Muara Tae yang bergantung pada hutan sebagai sumber makanan, air, obat-obatan, budaya dan identitas. Sederhananya, mereka harus menjaga hutan mereka untuk dapat bertahan hidup.”

“Retorika dari Presiden Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mengurangi deforestasi sangat kuat. Namun di garis depan, dimana masyarakat adat mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan hutan mereka tidak ada tindakan nyata dari Pemerintah. Memberikan hak pada masyarakat adat seperti masyarakat Dayak Benuaq ini merupakan langkah vital untuk mengurangi bencana deforestasi di Indonesia,” kata Faith.

Presiden Indonesia telah berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020, melawan prinsip bisnis dan di saat yang bersamaan menyumbang pertumbuhan ekonomi yang substansial.

Ekspansi perkebunan tidak dapat dihindari akan menjadi elemen pertumbuhan yang signifikan, namun sejarah membuktikan bahwa ekspansi telah menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Seperti yang telah diketahui dan diakui bersama bawa untuk menghindari hal tersebut, saat ini ekspansi perkebunan harus diarahkan ke lahan yang telah terdegradasi.

Lemahnya perencanaan spasial telah menyebabkan hutan Muara Tae teridentifikasi sebagai wilayah APL (Area Penggunaan Lain). Hal tersebut berarti hutan Muara Tae tidak termasuk dalam ‘wilayah hutan’ dan terbuka untuk dieksploitasi.  Pencurian hutan adat juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai bentuk pembangunan seperti apakah yang ditawarkan oleh perusahaan perkebunan.

Masyarakat adat Dayak Benuaq di Muara Tae memiliki sumber daya hutan yang paling bernilai. Kearifan lokal mereka dalam mengelola hutan yang berkelanjutan, diteruskan dari generasi ke generasi, dan menjaga hutan tersebut tetap ada.

Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak mengatakan, ”Bersama dengan masyarakat, kami tidak hanya melindungi hutan terakhir mereka tetapi juga menanam bibit pohon Ulin dan Meranti untuk melestarikannya. Masyarakat disini merupakan penjaga sejati dari hutan dan nasib mereka bergantung pada hutan ini.”

Selama 20 tahun terakhir, Muara Tae telah kehilangan lebih dari separuh lahan dan hutan yang digunakan untuk perusahan pertambangan. Dampaknya tak dapat dihindari, sumber air masyarakat menjadi kering dan kini mereka harus berjalan 1 kilometer untuk mendapatkan air bersih.

Hutan yang tersisa merupakan rumah dari sejumlah besar jenis burung, termasuk burung rangkong yang erat kaitannya dengan budaya dan adat suku Dayak di Kalimantan. Terdapat sekitar 20 spesies reptil dan hutan tersebut juga menjadi habitat dari beruang madu dan bekantan.

Perampasan lahan terakhir telah berlangsung sejak Januari 2010 ketika Bupati Kutai Barat, Ismail Thomas memberikan izin pada dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP) yang dimiliki oleh Malaysia dan PT Borneo Surya Mining Jaya, anak perusahaan dari konglomerat perusahaan kayu, perkebunan dan pertambangan Sumatera,  Surya Dumai.

Pemerintah Norwegia telah mendukung usaha mengurangi deforestasi di Indonesia dengan memberikan bantuan finansial. Namun di saat yang bersamaan, mereka juga telah berinvestasi di perusahaan induk PT MWJP melalui dana pensiun.

Pak Singko, Tetua adat Dayak Benuaq di Muara Tae mengatakan, ”Kami memohon bantuan dari semua masyarakat dan siapapun untuk membantu melindungi hutan dan tanah leluhur kami. Kami telah dikepung dari berbagai sisi oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan. Ini adalah hutan terakhir kami yang masih tersisa dan lahan terakhir yang harus kami pertahankan. Jika hutan kami habis, maka habislah hidup kami.“ [Telapak | KJPL]
Sumber Artikel by KJPL | Gambar by Yayak Yatmaka

0 Comments:

Post a Comment