Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, “Janganlah kamu biarkan satu patung pun melainkan harus kamu hancurkan, jangan pula kubur yang ditinggikan melainkan harus kamu ratakan.“ (Hadits ini shahih. Diriwayatkan Muslim (3/61), Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj (2/33/15), Abu Daud (3218), An Nasa’I (1/285), Tirmidzi (1/195), Baihaqi (3/4), Thoyalisi (155) )

Dari Abu Hayyaj berkata; Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku dengannya? (yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang meninggi melainkan kamu ratakan.” (HR Muslim 1609)

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Imam Sayyidina Ali maupun perintah Imam Sayyidina Ali kepada Abu Hayyaj adalah akan diutus mereka untuk menyebarkan Islam ke sebuah negeri yang mana penduduknya memang menjadikan patung dan kuburan sebagai sesembahan. Dengan kata lain perintah untuk menghancurkan kuburan orang-orang musyrik.

Adapun umat Islam, maka tak pernah sekalipun ada sejarahnya umat Islam menyembah kubur. Umat Islam membina kubur hanya untuk memuliakan ahlul qubur (terlebih kubur orang yang sholeh), menjaga kubur daripada hilang terhapus zaman, dan memudahkan para peziarah untuk berziarah, dalam menemukan kubur di tengah-tengah ribuan kubur lainnya, juga sebagai tempat berteduh para peziarah agar dapat mengenang dan menghayati dengan tenang orang yang ada di dalam kubur beserta amal serta segala jasa dan kebaikannya.

Lafaz sawwaitahu bukan berarti “ratakan dengan tanah” atau bahkan hancurkan, namun artinya adalah luruskanlah, sebagaimana sesuatu yang bengkok atau miring kita luruskan menjadi tegak.

Jadi artinya bukanlah kita diperintahkan untuk meratakan kuburan dengan tanah. Justru hal itu bertentangan dengan sunah. Sebagaimana para fakih berfatwa kita dimustahabkan untuk meninggikan kuburan paling tidak satu jengkal dari tanah.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,

“Aku melihat makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)

Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”.

Kemungkinan arti yang lain dari sawwaitahu adalah larangan membentuk (tanah) kuburan sebagai bentuk tertentu sebagaimana orang orang Romawi

Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir Ahmad bin Amru Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Amru bin Harits -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa’id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Amru bin Harits -sementara dalam riwayat Abu Thahir- bahwa Abu Ali Al Hamdani telah menceitakan kepadanya -sementara dalam riwayat Harun- bahwa Tsumamah bin Syufay telah menceritakan kepadanya, ia berkata; Kami pernah berada di negeri Romawi bersama Fadlalah bin Ubaid, tepatnya di Rudis. Lalu salah seorang dari sahabat kami meninggal dunia, maka Fadlalah bin Ubaid pun memerintahkan untuk menguburkannya dan meratakan kuburannya. Kemudian ia berkata; Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakan kuburan.” (HR Muslim 1608)

Kemungkinan arti yang lain dari sawwaitahu adalah meluruskan atapnya, yakni jangan dibiarkan atap bangunan seperti punggung ikan atau onta yang berliku atau bentuk-bentuk tertentu sebagai penyembahan, namun diluruskan menjadi datar. Makna inilah yang diakui oleh ulama besar Ahlu Sunah, seperti Imam Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i.

Oleh karena itu tidak bisa menjadikan hadits tersebut sebagai alasan menghancurkan bangunan-bangunan kuburan. Lagi pula jika memang benar Ali bin Abi Thalib berkata seperti itu, lalu mengapa saat ia menjadi khalifah, sejarah tidak mencatat ia pernah memerintahkan agar makam para Nabi dan makam para wali-wali Allah seperti yang di Baitul Maqdis agar dirobohkan atau diratakan sebagaiman kaum pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab meratakan pemakaman Al Baqi.

Rabu 8 Syawal 1345 Hijriah bertepatan dengan 21 April 1925 mausoleum (kuburan besar yang amat indah) di Jannatul al-Baqi di Madinah diratakan dengan tanah atas perintah Raja Ibnu Saud. Di tahun yang sama pula Raja Ibnu Saud yang Wahabi itu menghancurkan makam orang-orang yang disayangi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (ibunda, istri, kakek dan keluarganya) di Jannat al-Mualla (Mekah). Penghancuran situs bersejarah dan mulia itu oleh Keluarga al-Saud yang Wahabi itu terus berlanjut hingga sekarang.

Sejak 1205 Hijriah hingga 1217 Hijriah Kaum Wahabi mencoba menguasai Semenanjung Arabia namun gagal. Akhirnya 1217 Hijriah mereka berhasil menguasai Thaif dengan menumpahkan darah muslim yang tak berdosa. Mereka memasuki Mekah tahun 1218 Hijriah dan menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur Zamzam.

Tahun 1221, Kaum Wahabi masuk kota Madinah dan menajiskan al-Baqi dan semua mesjid yang mereka lewati. Kaum Wahabi bahkan mencoba menghancurkan pusara Rasulullah , namun entah dengan alasan apa usaha gila itu dihentikan. Di tahun-tahun berikutnya jemaah haji asal Irak, Suriah dan Mesir ditolak untuk masuk kota Mekah untuk berhaji. Raja al-saud memaksa setiap muslim yang ingin berhaji harus menjadi wahabi atau jika tidak akan dicap sebagai kafir dan dilarang masuk kota Mekah.

Al-Baqi pun diratakan dengan tanah tanpa menyisakan apapun, termasuk nisan atau pusara .Belum puas dengan tindakan barbarnya Kaum Wahabi memerintahkan tiga orang kulit hitam yang sedang berziarah ke pusara Nabi untuk menunjukkan tempat persembunyian harta benda. Raja Ibnu Saud merampas harta benda itu untuk dirinya sendiri.

Ribuan Muslim melarikan diri dari Mekah dan Madinah . Mereka menghindari kejaran Kaum Wahabi. Muslim seluruh dunia mengutuk tindakan Saudi dan mendesak khalifah kerajaan Otoman menyelamatkan situs-situs bersejarah dari kehancuran.

Dibawah pimpinan Muhammad Ali Basha mereka menyerang Hijaz , dengan bantuan suku-suku setempat, akhirnya mereka menang.lalu ia mengatur hukum dan pemerintahan di Hijaz, khususnya Mekah dan Madinah. Sekaligus mengusir keluarga al-Saud. Muslim di seluruh dunia bergembira. Di Mesir perayaan berlanjut hingga 5 hari! Tak diragukan lagi kegembiraan karena mereka bisa pergi haji dan pusara mulia pun diperbaiki lagi.

Tahun 1818 Masehi Khalifah Ottoman Abdul Majid dan penggantinya Abdul Hamid dan Mohammad, merekonstruksi semua tempat suci, memperbaiki semua warisan Islam yang penting. Dari 1848 hingga 1860, biaya perbaikan telah mencapai 700 ribu Poundsterling. Sebagian besar dana diperoleh dari uang yang terkumpul di makam Rasulullah.

Kerajaan Ottoman telah mempercantik Madinah dan Mekah dengan memperbaiki semua bangunan keagamaan dengan arsitektur bercita rasa seni tinggi. Richard Burton, yang berkunjung ke makam rasulullah tahun 1853 dengan menyamar sebagai muslim asal Afghanistan dengan nama Abdullah mengatakan Madinah dipenuhi 55 mesjid dan kuburan suci. Orang Inggris lain yang dating ke Madinah tahun 1877-1878 melukiskan keindahan yang setara dengan Istambul. Ia menulis tentang dinding putih, menara berhias emas dan rumput yang hijau.

Tahun 1924 Wahabi masuk ke Hijaz untuk kedua kalinya Untuk kedua kalinya pula pembantaian dan perampasan dilakukan. Orang-orang di jalan dibantai. Tak terkecuali perempuan dan anak-anak jadi korban. Rumah-rumah diratakan dengan tanah.

Awn bin Hashim menulis: lembah-lembah dipenuhi kerangka manusia, darah kering berceceran di mana-mana. Sulit untuk menemukan pohon yang tidak ada satu atau dua mayat tergeletak di dekat akarnya.

Madinah akhirnya menyerah setelah digempur habis Kaum Wahabi. Semua warisan Islam dimusnahkan. Hanya pusara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang tersisa.

Ibnu Jabhan (Ulama Wahabi) memberikan alasan mengapa ia merasa harus meratakan makam Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ” Kami tahu nisan di makam Rasulullah bertentangan dengan akidah dan mendirikan mesjid di pemakamannya adalah dosa besar’.

Pusara Sang Syahid Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi) beserta syahid perang Uhud lainnya dihancurkan. Masjid Nabi dilempari. Setelah protes dari Kaum Muslim dunia Ibnu saud berjanji akan memperbaiki bangunanbersejarah tersebut. Namun janji itu tidak pernah ditempati. Ibnu saud juga berjanji Hijaz akan dikelola pemerintahan multinasional, khsusnya menyangkut Madinah dan Mekah. Namun janji itu tinggalah janji.

Tahun 1925 giliran Janat al-Mulla pemakaman di Mekah dihancurkan. Ikut juga dihancurkan rumah tempat Rasulullah dilahirkan. Sejak itulah hari duka untuk semua muslim di jagat raya.

Apa yang dilakukan mereka sama dengan apa yang dilakukan Zionis Yahudi Israel menghancurkan 220 makam para sahabat Rasulullah di kompleks pemakaman Maman Allah, Baitul Maqdis. Pemakaman Maman Allah pemakaman Islam bersejarah yang telah ada sejak 14 abad lalu, pada masa pemintahan khalifah kedua. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/10/22/141651-zionis-hancurkan-makam-sahabat-nabi

Tak satupun upaya pencegahan dari mereka yang mengaku-aku mengikuti dan mencintai para Sahabat, Tabi'in , Tabi'ut Tabi'in yang sedang "menjajah" dua tanah suci terhadap penghancuran kompleks pemakaman Maman Allah oleh kaum Zionis Yahudi. Hal ini memperpanjang pertanyaan kaum muslim apakah mereka memang bersahabat dengan kaum Zionis Yahudi sebagaimana mereka bersahabat dengan Amerika yang merupakan representatif kaum Zionis Yahudi ? Wallahu a'lam

Hal yang perlu kita ingat bahwa perlakuan ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau Sayyid , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap makam-makam kaum muslim adalah merupakan hasil pengajaran orang tua-orang tua mereka yang tersambung kepada pengajaran Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Begitupula apa yang terlihat dari makam para Wali Songo adalah bentuk perlakuan kaum muslim yang mendapatkan pengajaran agama Islam dari para ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam

Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah seperti Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka

***** awal kutipan ****

“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.

Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.

Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.

Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadra- maut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.

Kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu alaihi wasallam, Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”

****** akhir kutipan ******

Wassalam
Sumber:

0 Comments:

Post a Comment