Tulisan yang agak panjang kali ini juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr

Catatan A. Umar Said



Hormat setinggi-tingginya

kepada Joesoef Isak

Tulisan ini adalah sekadar sekelumit saja dari apa yang sebenarnya bisa diungkap tentang sejarah hidup Joesoef Isak, yang wafat dalam usianya yang 81 tahun pada hari Sabtu tanggal 15 Agustus dinihari di rumahnya di Jakarta. Ia meninggal sesudah menderita sakit pernapasan (jantung) sejak lama. Sebab, walaupun sudah banyak yang ditulis oleh media massa Indonesia (termasuk buku-buku) dan luar negeri, masih banyak sekali hal-hal menarik dan penting mengenai dirinya. untuk diketahui oleh umum

Joesoef Isak adalah bukan saja seorang mantan wartawan senior yang besar, melainkan juga seorang penulis yang berbakat, dan pemikir yang berbobot. Tetapi, lebih-lebih lagi, yang juga sangat menonjol sekali ialah bahwa ia adalah seorang pendukung besar ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Karena itu, dalam arti tertentu, dengan caranya atau gayanya tersendiri, ia adalah wartawan atau penulis atau pemikir revolusioner, yang kebesaran kalibernya melebihi kebanyakan wartawan-wartawan atau penulis Indonesia lainnya. Kiranya, kalimat ini sama sekali tidaklah berlebih-lebihan atau tidak keterlaluan bahkan juga tidak kebablasan.

Karena itulah, tulisan ini mencoba mengangkat sebagian kecil dari berbagai hal yang berkaitan dengan diri sosok besar revolusioner yang patut menjadi kebanggaan banyak orang, terutama dari kalangan kiri yang mendambakan keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.. Sudah tentu, banyak hal yang masih terus bisa (atau perlu, bahkan, harus !) diungkap oleh berbagai orang, terutama oleh mereka yang pernah mengenalnya dengan baik atau bergaul dengan dekat. Sebab, kebesaran Joesoef Isak sebagai wartawan senior, penulis dan penerbit revolusioner pendukung ajaran-ajaran Bung Karno perlu sekali diketahui oleh khalayak umum, terutama sekali oleh generasi muda sekarang ini, dan juga anak-cucu kita yang akan datang. Karena itu , nama Joesoef Isak sudah sepatutnya, atau selayaknya, dimasukkan dalam bagian sejarah bangsa kita, dalam menentang diktatur rejim militer Suharto dan memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan kebebasan bagi rakyat luas.


Tokoh terkemuka dalam menentang Orde Baru

Joesoef Isak adalah salah satu di antara tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan menentang rejim militer Suharto dan sisa-sisa Orde Baru. Sesudah ia ditahan secara sewenang-wenang oleh militernya Suharto (tanpa pengadilan) selama sekitar 10 tahun di penjara Salemba sejak 1967, dan dibebaskan bersama sejumlah besar tahanan lainnya karena desakan opini internasional, maka mulailah ia secara berangsur-angsur « kiprah » dalam perjuangan, walaupun situasi masih sulit sekali, disebabkan oleh hebatnya repressi rejim militer, terutama terhadap para pendukung politik Bung Karno, termasuk golongan kiri dan yang menjadi anggota atau simpatisan PKI.

Joesoef Isak, yang sampai tahun 1965 menjabat sebagai pimpinan harian Merdeka dan merangkap Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, setelah bebas dari penjara dalam tahun 1977 telah melakukan perbuatan yang berani atau « nekad », untuk pergi ke Eropa (Holland dan Prancis) dan bertemu dengan sahabat-sahabat karibnya S. Tahsin (pimpinan harian Bintang Timur, yang diangkat oleh Bung Karno sebagai Dutabesar untuk Mali) dan A. Umar Said (pemimpin harian Ekonomi Nasional dan bendahara PWI Pusat merangkap bendahara PWAA). Tindakannya ini termasuk « berani », karena waktu itu ia masih dalam status tahanan kota, dan harus melapor ke instansi militer secara teratur, dan kartu penduduknya pun ada tandanya « ET » (eks-tapol). Ia berhasil memperoleh paspor dengan menutupi tanda « ET » itu dengan tipex.

Luas kegiatan Joesoef Isak mulai melebar dan terus meninggi ketika dalam tahun 1980 ia bersepakat dengan Pramudya Ananta Toer dan Hasyim Rachman (pimpinan harian Bintang Timur) , yang dua-duanya baru dibebaskan dari kamp pulau Buru, untuk menerbitkan Bumi Manusia, karya besar Pramoedya selama di pembuangan di pulau Buru. Untuk itu mereka dirikan penerbitan Hasta Mitra, dengan dana yang sebagian besar bisa dihimpun oleh Hasyim Rachman.


Hasta Mitra, Joesoef Isak dan Pramoedya

Sejak berdirinya Hasta Mitra dan diterbitkannya Bumi Manusia, nama Joesoef Isak sebagai penyunting buku Pramoedya dan juga penerbit makin menanjak, di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam jangka lama nama Hasta Mitra, Joesoef Isak, dan Pramoedya Ananta Toer menjadi pembicaraan di kalangan eks-tapol, para korban Orde Baru, dan kalangan kiri umumnya, yang menentang rejim militer Suharto. Tetapi, sebaliknya, ketika nama ini pulalah yang sejak lama sekali - selama puluhan tahun ! - menjadi momok atau kerikil tajam bagi pejabat-pejabat rejim Orde Baru atau penguasa-penguasa militer.

Selama pemerintahan Orde Baru, sampai jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, Hasta Mitra dan Joesoef Isak, mengalami bermacam-macam kesulitan, yang ditimbulkan penguasa militer. Bumi Manusia (dan sebagian terbesar karya-karya Pram lainnya) dilarang diedarkan, sejumlah mahasiswa di Jogya dihukum dan dipenjarakan karena mengedarkan buku Pram, tokobuku-tokobuku diancam bahkan dipersekusi. Dalam jangka lama buku-buku Pram (dan sejumlah buku-buku terbitan Hasta Mitra lainnya) beredar di “bawah tanah” atau secara sembunyi-sembunyi. Sejak itu, Hasta Mitra dan Joesoef Isak menjadi ikon kalangan progresif di Indonesia atau lambang perjuangan menentang kediktatoran rejim militer Suharto yang mengangkangi Indonesia selama 32 tahun.

Dalam “pertempuran” yang sengit dan pelik sejak tahun 1980 sampai runtuhnya rejim militer dalam tahun 1998 inilah Hasta Mitra bersama Joesoef Isak telah keluar sebagai pemenang. Sebab walaupun karya-karya Pram di pulau Buru dilarang oleh Kejaksaan Agung (artinya, penguasa militer) dengan dalih atau alasan yang tidak masuk akal “berbau komunis atau marxisme”, Hasta Mitra dan Joesoef Isak dengan gigih dan berani terus menerbitkan buku-buku yang bercorak atau bernafas progresif, atau berhaluan “kiri”.

Dan walaupun Tap MPRS no 25 tahun 1966 “yang memasung faham Marxisme dan Leninisme” (menurut Gus Dur) masih belum dicabut (sampai sekarang dalam tahun 2009 !!!), Hasta Mitra dengan Joesoef Isaknya tetap menerbitkan banyak buku-buku yang bisa diartikan mengandung ajaran-ajaran Marxisme atau Leninisme. Selama berdirinya (sampai 2009) Hasta Mitra telah menerbitkan sekitar 80 judul buku bermutu yang umumnya berkaitan erat dengan masalah-masalah politik (masalah HAM, demokrasi, perlawanan terhadap imperialisme, masalah-masalah sosialisme, ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno dll dll) Dari segi ini nyatalah sekali besarnya jasa Joesoef Isak dalam mempelopori trobosan terhadap pengepungan atau pembrangusan penguasa militer beserta kakitangannya dengan TAP 25 MPRS 1966.


Kemenangan dalam pertempuran dengan sisa-sisa Orde Baru

Bisa diterbitkannya terjemahan dalam bahasa Indonesia buku Das Kapital, karya besar Marx yang terkenal di seluruh dunia, oleh Hasta Mitra dalam Februari 2005 merupakan “kemenangan” besar Joesoef Isak dalam perjuangannya yang gigih terhadap sisa-sisa Orde Baru. Dalam acara peluncuran buku, -- yang resminya masih “terlarang” ini -- hadir sebagai pembicara utama Gus Dur, ahli filsafat Magnis Suseno, dan sejarawan muda Himar Farid. Peristiwa bisa diterbitkannya Das Kapital itu sendiri merupakan simbul penggalakan lebih berani lagi bagi gerakan kiri di Indonesia, yang makin terang-terangan bicara (atau menulis) tentang marxisme atau sosialisme, sampai sekarang.

Sudah jelaslah kiranya bahwa Joesoef Isak berhaluan kiri atau revolusioner, bahkan sebelum ia ditahan selama 10 tahun di penjara. Pandangannya yang kiri dan revolusiober ini lebih kentara lagi setelah ia mendirikan Hasta Mitra. Ketika Hasta Mitra baru berdiri, berpuluh-puluh eks-tapol dengan antusias membantu berbagai pekerjaan perusahaan penerbitan. Tetapi berhubung kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh repressi rejim militer tenaga yang dipekerjakan makin lama makin dikurangi.

Sambil memimpin Hasta Mitra, Joesoef Isak tetap banyak berhubungan atau kerjasama dengan berbagai organisasi, besar atau kecil, yang berjuang untuk kepentingan para eks-tapol atau para korban Orde Baru, atau berbagai kalangan yang berjuang di lapangan politik untuk demokrasi, HAM, dan melawan Orde Baru serta sisa-sisanya. Oleh karena itulah maka banyak tokoh berbagai organisasi-organisasi (umpamanya, antara lain Pakorba, LPR-KROB, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 –YPKP -, LBH dll dll. Permintaan ma’af kepada semua fihak yang tidak disebutkan di sini) sering berkunjung ke rumahnya di jalan Duren Tiga atau mengadakan pertemuan-pertemuan di situ. Tentu saja, fihak intel militer sudah lama mengetahui atau mengikuti kegiatan-kegiatan itu semuanya, yang sudah berjalan selama puluhan tahun itu.


“Mereka” tidak berani dan tidak bisa (!) bertindak sewenang-wenang lagi

Salah satu di antara banyak ragam partisipasi Joesoef Isak dalam kegiatan politik adalah hubungan yang erat atau dekat dengan berbagai kalangan yang berjuang secara legal atau terbuka maupun yang tidak terbuka. Dalam hal ini adalah menarik hubungan Joesoef Isak dengan angkatan-angkatan lama dalam pimpinan PRD, ketika organisasi militan para muda ini sedang menghadapi repressi yang hebat sekali dari rejim militer Suharto. Waktu itu rumahnya di jalan Duren Tiga sering dijadikan tempat pertemuan, dan Joesoef Isak pernah memberikan macam-macam bantuan, antara lain pengurusan perlengkapan komputer untuk kegiatan PRD.

Meskipun Joesoef Isak selain mempimpin Hasta Mitra juga melakukan bermacam-macam kegiatan, termasuk yang “nyrempet-nyrempet bahaya”, namun para penguasa Orde Baru (dan kemudian juga sisa-sisanya, sesudah Suharto jatuh) tidak berani -- dan juga tidak bisa ! -- bertindak sewenang-wenang seperti semasa hebat-hebatnya kekuasaan Suharto. Sebab, makin lama nama Joesoef Isak juga makin besar di luar negeri seiring dengan makin terkenalnya karya-karya Pramoedya di banyak negeri di dunia. Tindakan gegabah atau sewenang-wenang oleh penguasa militer (atau kaki tangannya) adalah terlalu besar risikonya bagi “nama baik” mereka, yang sudah lama rusak atau busuk selama rejim militer Suharto.

Berbagai wartawan terkemuka dari pers dan televisi dari banyak negeri sering sekali membikin interview atau reportase tentang Joesoef Isak, dan ia diundang untuk berbicara di depan pertemuan-pertemuan penting oleh berbagai kalangan di Amerika, Kanada, Australia, Holland, Jerman, Prancis, Inggris. Dari kalangan wartawan atau penerbit Indonesia tidak banyak orang mendapat perhatian dari banyak kalangan di dunia seperti yang diterima oleh Jusuf Isak.

Kebesaran sosok Joesoef Isak di Indonesia dan juga di luar negeri sebagai pejuang kebebasan menyatakan pendapat dan demokrasi atau HAM diperolehnya karena kegigihannya, keuletannya, dan keberaniannya dalam memimpin Hasta Mitra dengan menerbitkan buku-buku bermutu dan berpandangan progresif atau kiri. Banyak tokoh-tokoh dari kalangan progresif atau kiri (bahkan juga yang tidak “kiri”) di berbagai negeri di dunia mengenal namanya atau pernah berhubungan baik dengannya.


Penghargaan dari berbagai negeri untuk Joesoef Isak

Untuk menghormatinya sebagai pejuang besar inilah ia dalam tahun 2004 (April) menerima penghargaan International Jeri Laber Award dari asosiasi penerbit Amerika. Suatu penghargaan yang tinggi dan penting bagi seorang penerbit Indonesia. Penghormatan serupa atau sejiwa juga telah diterimanya dalam bulan Maret 2005 dari para pengarang dan penulis di Australia yang tergabung dalam Australian Pen Keneally (Sydney Pen). Di samping itu, Joesoef Isak juga telah menerima penghormatan yang tinggi - Wertheim Award - dari Yayasan Wertheim (Stichting Wertheim) dalam bulan Desember 2005. Penghargaan ini diterimanya bersama Goenawan Mohammad, yang upacaranya diselenggarakan di KBRI Den Haag.

Penghargaan yang begitu tinggi dari berbagai kalangan itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia sudah menjadi tokoh internasional, dan dengan prestasi yang begitu tinggi itu ia telah mengangkat juga – secara tidak langsung – penghargaan terhadap seluruh orang yang ikut dalam perjuangan bersama untuk demokrasi, HAM, dan melawan ketidakadilan. Itu jugalah yang menjadi inti ucapannya ketika ia menerima dari pemerintah Prancis (lewat Dutabesarnya di Jakarta) bintang Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres pada tanggal 21 September 2006. Penghargaan terhadapnya dari pemerintah Prancis ini memberi arti yang tersendiri pentingnya bagi Joesoef Isak. Sebab, kalau di masa yang sudah-sudah penghargaan atau penghormatan yang diterimanya adalah kebanyakan dari kalangan non-pemerintah di berbagai negeri (antara lain juga dari perkumpulan Pasar Malam di Paris) , maka kali ini datang dari pemerintah satu negara yang tidak kecil, yaitu Prancis.


Hari ulangtahunnya yang ke-80

Seiring dengan meningkatnya penghargaan banyak kalangan di luar negeri terhadap apa yang telah diperjuangankan Joesoef Isak, maka makin tinggi juga penghormatan yang diberikan oleh berbagai kalangan di Indonesia. Hal yang demikian nampak dengan jelas sekali ketika ia menginjak usianya 80 tahun banyak sahabat dekatnya membentuk panitia bersama, yang dipimpin oleh teman seperjuangannya sejak lama Max Lane (intelektual kiri dari Australia) dan sejarawan muda Boni Triyana, untuk merayakan ulangtahunnya. Pertemuan besar yang diselenggarakan bersama Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ini berlangsung dengan meriah sekali di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juli 2008.

Sebagai tanda yang amat berharga dalam memperingati usia yang ke-80 Joesoef Isak ini telah diterbitlkan buku (setebal 366 halaman) yang berjudul “Liber Amicorum 80 tahun Joesoef Isak, seorang wartawan, penulis dan penerbit”. Buku ini (yang diterbitkan bersama-sama ISAI, Komunitas Bambu, dan perkumpulan Praxis) berisi tulisan-tulisan 22 sahabat karibnya dari berbagi kalangan dan golongan, yang semuanya menyumbang karya mereka sebagai partisipasi dalam merayakan hari ulang tahun tokoh yang langka dalam sejarah bangsa Indonesia. Isi buku Liber Amicorum 80 tahun Joesoef Isak ini juga merupakan ukuran lainnya lagi betapa besar ketokohannya dalam pandangan mereka yang seperjuangan selama beberapa puluh tahun ini.

Itulah sebabnya, ketika terbetik berita tentang wafatnya pada tanggal 15 Agustus 2009 dinihari, maka berita duka ini segera dan sebentar saja sudah beredar di banyak negeri di dunia dan terutama di Indonesia. Rumahnya di jalan Duren Tiga 36, Jakarta Selatan, segera penuh sesak dengan banyak kenalan, teman, sahabat karibnya yang datang melayat. Asni, istrinya, bersama anak-anak dan cucunya, sangat sibuk menerima ucapan belasungkawa atas kehilangan yang amat besar ini. Kehilangan besar ini tidak saja terasa bagi keluarga besarnya, melainkan juga bagi kalangan luas yang menjadi teman atau mitra seperjuangannya.


Cerita tentang saat-saat menjelang wafatnya

Penghargaan dari banyak orang juga nampak ketika dilangsungkan pemakaman jazadnya di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan siang hari itu juga. Pada saat itulah berbicara Max Lane sahabat seperjuangan lamanya , dan juga Goenawan Mohammad sahabat karibnya, yang dua-duanya banyak mengungkap kepada hadirin yang hadir bagian-bagian penting dari sejarah hidup Joesoef Isak. Itu semuanya mencerminkan betapa besar penghargaan dan betapa tinggi penghormatan banyak kalangan kepada sosok Joesoef Isak sebagai pejuang revolusioner.

Kegigihannya dalam mengemban pandangan revolusionernya juga nampak dari apa yang diceritakan Asni, istrinya, melalui tilpun kepada saya, tentang saat-saat dekat menjelang wafatnya. Menurut Asni, sebelum meninggal sekitar jam 1 pagi hari Sabtu, pada hari Jum’at siang sampai sore ia masih menghadiri suatu pertemuan di Redaksi Tempo. Ketika sudah pulang sore hari, pada malam harinya sambil tiduran ia bercerita kepada Asni, bahwa pertemuan di Redaksi Tempo itu untuk membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kehidupan Njoto, Wakil Ketua CC PKI, yang dibunuh secara sewenang-wenang dan secara gelap (tanpa pemeriksaan apa pun) oleh militernya Suharto.

Menurut cerita Asni, keluarga Njoto (antara lain istrinya, Tarni) juga hadir dan bicara juga dalam pertemuan yang berlangsung berjam-jam lamanya. Dalam pertemuan untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan Njoto inilah Joesoef Isak banyak bicara dan sampai berjam-jam pula. Banyak orang sudah tahu tentang kedekatan Joesoef Isak dengan pemimpin PKI yang disenangi Bung Karno ini. Joesoef Isak adalah salah satu di antara banyak pengagum tokoh besar PKI Nyoto, yang dalam umur belasan tahun (dalam tahun-tahun 1946-47-48 sudah menjadi tokoh penting PKI). Baginya, Njoto adalah intelektuil komunis, yang sangat berbakat dalam banyak bidang, tidak hanya dalam politik. Njoto adalah sosok yang juga mumpuni dalam bidang musik, sastra, jurnalistik, kebudayaan, atau bidang-bidang kesenian lainnnya (termasuk pengetahuannya di bidang sepakbola !).

Bahwa Joesoef Isak masih memerlukan datang ke pertemuan Redaksi Tempo untuk berbicara tentang banyak hal yang berkaitan dengan Njoto, dan dalam keadaan ia sedang menghadapi sakit pernapasan dan jantung pula, adalah salah satu indikasi betapa besar artinya – baginya sendiri dan juga bagi kepentingan umum - masalah Njoto diungkap secara selayaknya. Tentang apa saja yang dibicarakan Joesoef Isak (dan Tarni) tentang Njoto dalam pertemuan Redaksi Tempo ini, mudah-mudahan saja kita semua bisa mengetahuinya melalui majalah Tempo tidak lama lagi. Menurut cerita Asni, karena Joesoef Isak terlalu lama dan banyak bicara, dan kelihatan ia sudah terlalu lelah karena pernapasan yang agak sulit, maka ia dipersilakan istirahat oleh moderatornya. Itulah cerita Joesoef Isak kepada istrinya tidak lama (hanya beberapa jam) sebelum wafatnya sekitar jam 1 malam.



Langka ditemukan orang yang sekaliber Joesoef Isak

Semua hal dari sekelumit hidup Joesoef Isak yang diungkap secara singkat-singkat atau sepintas lalu seperti di atas itu kiranya sudah agak mencukupi untuk bisa menilai (relatif) bersama-sama siapakah atau mengukur bagaimanakah sosoknya sebagai pelaku sejarah perlawanan terhadap rejim militer Suharto beserta sisa-sisanya.

Agaknya, satu hal yang sudah jelas dari sejarah hidup Joesoef Isak ialah bahwa ia sudah menjadi tokoh penting (dan besar) dalam perjuangan untuk mempertahankan kebebasan menyatakan pendapat, atau membela demokrasi, memperjuangkan keadilan, melawan imperialisme dan nekolim, membangun kesedaran tentang pentingnya sosialisme, menyebarkan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, dan melawan Orde Barunya Suharto. Di Indonesia langka sekali , atau sukar sekali, bisa ditemukan orang-orang yang kebesarannya sekaliber Joesoef Isak. Di sinilah letak keistimewaannya.

Joesoef Isak telah ikut berjasa dalam mengangkat martabat para esk-tapol, para korban Orde Baru, para pendukung Bung Karno, atau gerakan kiri Indonesia pada umumnya, di hadapan berbagai kalangan di banyak negeri di dunia, termasuk di dalam negeri. Karena itu, kebesaran Joesoef Isak adalah -- secara langsung atau tidak langsung – merupakan kebesaran semua kalangan dan golongan yang menentang Orde Baru. Sudah selayaknyalah bahwa mereka itu ikut merasa bangga atas kebesaran Joesoef Isak. Sebab, dalam hal ini, bolehlah dikatakan bahwa Joesoef Isak justru mewakili mereka itu semuanya.

Tetapi, kalau dilihat secara jauh dan lebih dalam, kebesaran Joesoef Isak di dalam negeri dan juga di luar negeri, pada hakekatnya atau pada akhirnya, merupakan juga hal yang bisa dibanggakan oleh sebagian besar rakyat kita. Dalam arti tertentu Joesoef Isak adalah milik bersama bangsa kita, dan bukan hanya yang eks-tapol, atau hanya yang kiri, dan hanya yang pendukung Bung Karno saja, melainkan juga yang lain-lainnya.


Apa yang perlu diusahakan selanjutnya

Mengingat itu semuanya, kiranya banyak hal yang perlu atau harus kita usahakan bersama-sama. Artikel atau berbagai bentuk karya perlu terus dibuat oleh sebanyak mungkin orang. Buku-buku untuk mengenang apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya dengan menghadapi berbagai kesulitan perlu ditulis. Berbagai pertemuan secara berkala perlu diadakan, untuk melestarikan atau mengingat kembali jasa-jasanya dalam perjuangannya selama lebih kurang 30 tahun. Dan juga Hasta Mitra, sebagai usaha penerbitan yang mempunyai sejarah perjuangan yang cukup panjang dan penting perlu diusahakan terus berdiri dengan menemukan penerus-penerusnya. Dalam rangka usaha bersama melestarikan ingatan kepada perjuangannya, bisa juga difikirkan bersama untuk memberikan fungsi tertentu kepada rumahnya di Jalan Duren Tiga 36, Jakarta Selatan, bagi kepentingan umum.

Di samping itu semuanya perlulah dipikirkan bersama oleh semua fihak yang berminat, mengenai kemungkinan terbentuknya “Yayasan Joesoef Isak” (semacam Yayasan Wertheim) di Indonesia, yang bisa sekali-sekali memberikan “Joesoef Isak Award” (semacam Suardi Tasrif Award, tetapi dengan jiwa dan dimensi yang tidak sama) kepada orang-orang yang berjasa seperti dia. Hal-hal yang demikian itu adalah dengan tujuan untuk melestarikan penghargaan kita bersama terhadap Joesoef Isak, yang penting untuk juga dimiliki oleh bangsa kita, termasuk generasi kita yang akan datang.

Sebab, walaupun Joesoef Isak telah tiada, namun jiwa perjuangan revolusionernya yang besar patutlah kiranya tetap hidup dalam hati dan fikiran kita bersama, dan menjadi sumber inspirasi untuk melanjutkannya dengan berbagai bentuk, cara dan jalan. Nama Joesoef Isak tidak boleh hilang begitu saja ditelan jalannya waktu, dan jangan pula dilupakan oleh banyak orang. Apalagi (!) nama besarnya tidak layak untuk dikerdilkan atau diremehkan atau dikotori oleh para berbagai macam simpatisan Suharto dan penentang ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Jiwa perjuangan revolusioner Joesoef Isak adalah sangat diperlukan untuk dilestarikan oleh kita semua.

Paris, 17 Agustus 2009 malam

0 Comments:

Post a Comment