SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 208 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

PEMELIHARAAN ALUTSISTA TUA HARUS DIHENTIKAN



Oleh Oslan Purba *

Peristiwa jatuhnya pesawat Hercules C-130 bernomor A-1325 di Desa Geplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur yang terjadi pada 20 Mei 2009 lalu telah mengakibatkan bertambahnya kembali korban tewas di kalangan TNI setelah sebelumnya dua pesawat angkut TNI AU juga mengalami kecelakaan total lost; Cassa C-212 di Gunung Salak Bogor (Juni 2008) dan Fokker F-27 di Bandung (April 2009). Selain bertambahnya korban jiwa, peristiwa ini juga telah mengurangi jumlah pesawat TNI AU yang layak terbang (operasi). Berbagai tanggapan, respon dan opini bermunculan, faktor manusia, alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah tua, minimnya anggaran hingga kanibalisme suku cadang dan pasar gelap dalam pengadaan komponen pesawat terbang.

Namun dari berbagai komentar itu, rasa keprihatinan yang paling dalamlah yang mengemuka terhadap berbagai peristiwa kecelakaan yang dialami oleh TNI dari berbagai matra. Jumlah prajurit yang meninggal dan cacat akibat kecelakaan dalam penggunaan alutsista pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2009 saja (sampai Mei) sudah 76 prajurit yang meninggal. Entah untuk waktu yang akan datang berapa prajurit lagi yang akan mengalami nasib serupa?

Secara keseluruhan jika menilik kemampuan alutsista yang dimiliki oleh TNI, maka performance pertahanan kita sangat menurun. Ini terjadi dalam beberapa tahun terakhir karena ketidakmampuan negara untuk menyediakan berbagai jenis alutsita baru yang sangat dibutuhkan oleh TNI. Penggunaan alutsista yang berusia sangat tua dan tua masih terus dipakai dalam upaya pengamanan wilayah teritorial Indonesia dari masuknya penyelundupan, pencurian maupun pelanggaran wilayah pertahanan yang dilakukan oleh negara lain seperti masuknya kapal perang Malaysia ke wilayah perairan Indonesia di Ambalat serta tertangkap radar 2 pesawat F-16 nya Amerika Serikat di wilayah udara di Sulawesi Selatan.

Persoalan Anggaran Pertahanan

Situasi ini harusnya menuntut pemerintah mencari terobosan yang progresif untuk menghentikannya. Respon berbagai pihak yang berpandangan bahwa penyebab seringnya terjadi kecelakaan ini semata-mata disebabkan karena minimnya anggaran pertahanan yang dialokasikan pemerintah sangatlah disesalkan. Minimnya anggaran sesungguhnya hanya salah satu faktor penyebab serangkaian kecelakaan yang dialami oleh TNI. Faktor lain yang penting untuk dicermati adalah penentuan skala prioritas dalam pembangunan pertahanan dan strategi pembiayaan pembangunan pertahanan, yang selama ini luput dalam pembahasan strategi raya pertahanan nasional. Pentingnya restrukturisasi terhadap sistem koter yang menyerap banyak anggaran, bukan pada pengadaan dan pemeliharaan alutsista dan kesejahteraan prajurit harusnya menjadi pertimbangan serius dari pemerintah maupun pemerintahan yang akan datang pasca Pemilu 2009.

Dari 35,3 trilyun rupiah, TNI Angkatan Darat mendapatkan alokasi anggaran sebesar 17 trilyun, TNI Angkatan Laut mendapatkan alokasi sebesar 5 trilyun, sedangkan TNI Angkatan Udara mendapatkan alokasi anggaran 3,5 trilyun sedangkan Dephan mendapatkan sekitar 6 trilyun dan Mabes TNI mendapatkan alokasi anggaran 4,5 trilyun. Dari jumlah anggaran tersebut 15 trilyun dialokasikan untuk gaji prajurit, 8 trilyun untuk pemeliharaan senjata dan 3 trilyun untuk fasilitas militer. Maka dari jumlah di atas terlihat anggaran pertahanan lebih banyak dialokasikan untuk TNI AD dan membayar gaji prajurit.

Memang anggaran militer Indonesia dikategorikan kecil jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar, Laos dan Kamboja, sementara TNI harus menjaga wilayah teritorial yang luas dari Sabang hingga Marauke. Apalagi dari budget anggaran TNI di atas harus dipangkas 15% menjadi sekitar 33,6 trilyun rupiah. Namun di tengah-tengah minimnya anggaran tersebut, kita masih melihat bagaimana alokasi anggaran yang disusun belum mencerminkan kebutuhan utama dalam penyelenggaraan sistem pertahanan Indonesia dimana pembiayaan terhadap Koter (TNI AD) menyerap lebih dari 50% anggaran pertahanan. Sementara itu pengadaan alutsista terutama kapal dan pesawat tempur bagi TNI AL dan TNI AU terkesan dikesampingkan, belum lagi berbagai praktek penggunaan anggaran yang tidak efisien dan korupsi yang masih terjadi di lingkungan internal TNI.

Selain itu, ketiadaan dana dalam APBN tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan pembiayaan pembangunan pertahanan. Karena selama ini, pemerintah mampu mengalokasikan anggaran untuk pembayaran hutang hingga mencapai 200 trilyun, meningkatkan modalnya pada lembaga keuangan Internasional seperti Asian Development Bank dan World Bank bahkan menyediakan dana untuk stimulus fiskal bagi pengusaha. Persoalannya terletak pada penentuan skala prioritas APBN dengan distribusi yang tepat di tiga matra TNI.

Korupsi, Bisnis TNI dan Komersialisasi Alutsista Melemahkan Kemampuan Pertahanan

Selama ini Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI menggambarkan betapa seluruh pembiayaan yang dibutuhkan TNI tidak pernah dapat dipenuhi negara dengan maksimal. Angka yang selama ini dikemukakan selalu berkisar 25-30 % dari total budget yang bisa dipenuhi negara, dan dari nilai tersebut sekitar 70 % terserap untuk pembiayaan prajurit dan overhead kantor. Selebihnya habis untuk pembiayaan perawatan peralatan dan fasilitas militer. Sehingga dengan demikian TNI berinisiatif memenuhinya dengan mencari sumber-sumber pemasukan lain melalui bisnis.

Padahal bisnis yang dijalankan oleh TNI ternyata tidak memberikan sumbangan yang signifikan dalam pembangunan kekuatan pertahanan, faktanya dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan TNI, dapat dicurigai bahwa jumlah dan struktur pembiayaan anggaran pertahanan yang disampaikan bukanlah angka yang sebenarnya. Pun juga tidak pernah diungkap sumber-sumber pembiayaan pemerintah lainnya di luar anggaran pertahanan. Misalnya dana-dana non-budgeter untuk keamanan (pemilu, event internasional), dana-dana operasi militer dan dana-dana penanganan bencana alam. Pembiayaan militer dari sumber-sumber alternatif seperti barter dan kredit ekspor atau dana-dana subsidi pemerintah. Sebagai contoh, kredit ekspor yang digunakan untuk pengadaan peralatan militer bernilai total US$ 160 juta pada tahun 2002, US$ 448 juta pada tahun 2003 dan US$ 449 juta pada tahun 2004. Statistik yang disampaikan pejabat militer juga tidak menyebutkan sumber-sumber pembiayaan dari perusahaan-perusahaan yang mengunakan jasa keamanan TNI. Bantuan-bantuan militer luar negeri, meskipun berupa grants, subsidi atau dukungan peralatan juga patut dianggap sebagai sumber pembiayaan TNI di luar budget pertahanan atau income tambahan.

Pada peristiwa jatuhnya pesawat Hercules 20 Mei 2009 lalu ditemukan warga sipil yang ikut dalam penerbangan pesawat militer ini dengan membeli tiket. Padahal komersialisasi alutsista semacam ini tidak dibenarkan oleh undang-undang. Selain membahayakan keselamatan sistem pertahanan juga membahayakan keselamatan warga sipil. Kehadiran warga sipil yang menggunakan fasilitas militer bukanlah baru sekali ini terjadi, sebelumnya pada peristiwa jatuhnya pesawat helikopter TNI di Pekan Baru – Riau tahun 2008 yang lalu ditemukan seorang pengusaha kenamaan asal Singapura yang tewas pada peristiwa itu. Dalam bisnis semacam ini, seringkali tidak diketahui dengan pasti, berapa besar keuntungan yang diperoleh. Bisnis-bisnis ilegal biasanya menghasilkan keuntungan lebih besar, tapi tidak pernah ada perkiraan keuntungan yang dinyatakan terbuka. Dalam beberapa kasus, prajurit atau perwira militer yang berbisnis juga memberikan setoran kepada rangkaian ‘posisi penting’ di atasnya atau mereka yang ‘mendukung’ kegiatan bisnis tersebut.

Bisnis-bisnis militer disebutkan sebagian besar ditujukan untuk meningkat kesejahteraan prajurit. Prajurit militer sejauh ini memang tidak mendapatkan penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya. Gaji bulanan yang diterima prajurit masih dalam kategori rendah. Lalu bagaimana signifikansi seluruh bisnis dan kegiatan komersial yang menggunakan fasilitas alutsista TNI terhadap peningkatan kesejahteraan prajurit TNI? Bahkan kegiatan bisnis semacam itu akan mengalihkan perhatian TNI untuk membangun profesionalisme dan pembangunan pertahanan secara keseluruhan. Mengalihkan perhatian terhadap peningkatan alutsista dan reformasi di sektor keamanan.

Selain problem kesejahteraan parajurit yang seringkali diabaikan, juga terkait dengan keselamatan prajurit. Sebagai satuan tempur, para prajurit telah berikrar dan bersumpah untuk siap mengorbankan jiwa dan raganya demi bangsa dan negara. Tidak ada pilihan bagi mereka selain membunuh atau terbunuh (kill or to be killed) di medan pertempuran. Akan tetapi, para prajurit juga perlu diberikan alat perlindungan yang maksimum selain untuk melindungi keselamatannya juga meningkatkan semangat dan kemampuan tempurnya seperti dibekali dengan senjata modern, tekhnologi, rompi anti peluru, makanan yang cukup dan lain sebagainya. Paling tidak dengan kemampuan yang ada, para prajurit harus mendapatkan dukungan yang cukup sesuai dengan kebutuhan standar minimal dalam pertempuran.

Jangankan kebutuhan TNI yang semacam itu yang didapat, untuk menggunakan alutsista yang ada saja –apalagi setelah peristiwa jatuhnya pesawat Hercules- para prajurit mulai enggan karena akan mengancam jiwanya, para orangtua prajurit telah bereaksi atas keselamatan jiwa anak-anak mereka yang mungkin tewas bukan pada pertempuran tapi pada kecelakaan karena menggunakan alutsista yang tidak layak dan sudah tua. Oleh karenanya, dalam jangka pendek pemerintah harus segera melakukan audit secara menyeluruh kekuatan pertahanan Indonesia. Selanjutnya melakukan reduksi senjata tua dan mengurangi diversifikasi senjata yang jumlahnya terlalu banyak dan membebani biaya maintenance. Apalagi ada indikasi dalam pemeliharaan pesawat-pesawat TNI seringkali menggunakan komponen-komponen bekas yang berorientasi pada keuntungan pribadi yang sudah lama terjadi.

Menghidupkan Kembali Industri Pertahanan Strategis

Untuk jangka panjang pemerintah harus mulai memberikan perhatian yang serius dalam riset dan pengembangan/penguasaan teknologi pertahanan. Pengembangan dan pembangunan industri strategis dalam negeri yang ditujukan untuk membangun kemandirian nasional di bidang teknologi pertahanan, harus dijadikan prioritas dalam agenda pembangunan secara menyeluruh.

Sejauh ini, komitmen pemerintah untuk membangun dan meningkatkan kemampuan industri pertahanan strategis seperti PT.DI yang diharapkan mampu memproduksi pesawat-pesawat angkut bagi TNI seperti pesawat CN 235, PT.Pindad yang selama ini juga telah memproduksi berbagai senjata termasuk juga panser dan overcraft serta PT. PAL yang diharapkan mampu memproduksi kapal-kapal patroli bagi TNI. Dari ketiga perusahaan tersebut, kelihatannya sedang terancam eksistensinya karena modal yang terbatas serta pesanan yang kurang dari luar negeri maupun dari pemerintah.

Memang tidak mudah untuk menghidupkan kembali industri strategis pertahanan yang selama ini terkesan mati suri, selain persoalan modal juga terkait dengan sumber daya manusia dan bahan baku seperti baja, produksi bahan kimia, alumunium dan lain sebagainya, karena industri yang berkaitan dengan bahan-bahan tersebut dikuasai oleh investasi asing dan digunakan untuk kebutuhan luar negeri (ekspor). Alih tekhnologi serta penguatan riset juga menjadi bagian yang penting sementara kegiatan semacam ini kurang dikembangkan oleh pemerintah. Padahal, jika industri strategis pertahanan ini dapat dihidupkan kembali maka ketergantungan Indonesia terhadap impor persenjataan bahkan pembelian alutsista bekas yang seringkali spesifikasinya tidak cocok dengan geografi di Indonesia dapat dikurangi bahkan memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi negara dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Peran DPR Dan Pemerintah Dalam Reformasi Sektor Keamanan

Komitmen politik pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam perumusan dan pengambilan keputusan serta alokasi anggaran, merupakan faktor penting sebagai penentu keberhasilan dalam pembangunan pertahanan. Komitmen politik pemerintah untuk menyediakan solusi-solusi ekonomi bagi industri pertahanan yang selalu berada dalam pasar monopsoni (negara sebagai pembeli utama) menjadi salah satu indikator dari komitmen pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan negara. DPR terutama kepada Komisi I harus melakukan pengawasan terkait dengan proses pengadaan alutsista TNI, sehingga dapat dipastikan bahwa transparansi dan ketepatan dalam penentuan skala prioritas anggaran pertahanan yang terbatas ini dapat berdaya guna secara maksimal.

Departemen pertahanan diharapkan lebih bersungguh-sungguh melakukan reformasi di dalam tubuh TNI dengan membuat kebijakan pertahanan yang tepat serta solutif terkait dengan pengadaan alutsista maupun terkait dengan postur, strategi dan doktrin pertahanan Indonesia. Sehingga kehadiran dephan yang merupakan representasi otoritas sipil atas TNI menjadi kenyataan untuk masa yang akan datang.

Penutup

Untuk meningkatkan kemampuan pertahanan, profesionalisme serta memberikan perlindungan terhadap prajurit TNI yang menggunakan alutsista maka diperlukan upaya yang serius dari pemerintah dengan tidak lagi menggunakan alutsista tua serta mengganti peralatan dengan yang baru. Untuk mewujudkan hal ini maka harus ada upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan pengawasan terhadap TNI terutama terkait dengan akuntabilitas dan kapabilitas TNI serta mengambil langkah-langkah strategis seperti yang sudah diuraikan di atas. Kesemuanya itu untuk menuju TNI yang profesional di masa yang akan datang.

* Penulis adalah Sekjend Federasi KontraS periode 2008 – 2010, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment