Oleh : Musrianto*

Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Menilik dari kalimat tersebut, tentunya merupakan sebuah amanat konstitusi tertinggi di Republik Indonesia sebagaimana termaktub di Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Dari kutipan kalimat tersebut pun, baik calon orang tua siswa maupun calon siswa sepertinya dapat bernafas dengan lega dan bebas dari beban biaya yang kerap kali mengganggu pikiran. Namun pertanyaannya kemudian adalah, apakah amanat tersebut benar-benar dijalankan dan dapat dinikmati oleh seluruh warga Negara Indonesia?

Setiap memasuki tahun ajaran baru sekolah, perhatian dan energi orang tua siswa benar-benar terkuras. Bagaimana tidak terkuras habis energinya bila setiap orang tua siswa berusaha memperjuangkan anak-anaknya dapat mendapatkan pendidikan sebaik mungkin dan “gratis.” Namun ternyata untuk mendapatkan pendidikan “gratis” tersebut, tidak semudah dengan yang dibayangkan dan mungkin saja bisa tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Untuk mendapatkan pendidikan secara gratis dari pemerintah pusat atau daerah yang disediakan di sekolah-sekolah negeri, orang tua siswa dan siswa harus melalui proses kompetisi yang cukup ketat persaingannya. Persaingan yang ketat dimaksudkan adalah jika seorang siswa yang baru lulus dari Sekolah Dasar (SD) hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), harus memiliki Nilai Total Surat Keterangan Hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (SKHUASBN) yang cukup tinggi. Karena jika seorang siswa lulusan SD memiliki Nilai Total SKHUASBN rendah, maka harapan untuk bisa mendapatkan SMPN dan menikmati pendidikan “gratis” dari pemerintah menjadi sangat kecil kemungkinannya.

Mengapa demikian? Karena sistem yang diterapkan oleh masing-masing pemerintahan daerah bisa jadi berbeda-beda. Sebagai contoh, misalkan untuk wilayah DKI Jakarta yang telah menerapkan sistem seleksi otomatis oleh komputer. Maka sebagaimana telah disampaikan di atas, bagi calon siswa yang nilai SKHUASBN-nya rendah akan tergeser dengan sendirinya oleh calon siswa yang mendaftar dengan nilai tinggi. Tahun ini jumlah lulusan Sekolah Dasar di DKI Jakarta mencapai sekitar 129.881 siswa, sementara untuk daya tampung SMPN yang ada di DKI Jakarta hanya mampu menampung sebanyak 54.386 siswa. Artinya masih tersisa puluhan ribu siswa lulusan SD di DKI Jakarta yang tidak akan tertampung di SMPN DKI Jakarta, lantas kemanakah siswa lulusan SD yang tidak tertampung tersebut akan melanjutkan jenjang pendidikannya? Jika kita pertanyakan kepada pemerintah daerah (DKI Jakarta) tentu jawabannya ada, seperti memilih SMPN terbuka, madrasah tsanawiyah, pendidikan kesetaraan, atau SMP swasta.

Bagi orang tua siswa yang memiliki penghasilan besar atau ekonominya berkecukupan, mungkin tidak akan mengalami kendala keuangan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta atau di luar sekolah negeri. Tapi bagaimana kemudian dengan calon orang tua siswa yang penghasilan rendah atau minimum seperti buruh, serta rakyat miskin kota lainnya. Biaya yang dibutuhkan untuk ke sekolah swasta atau sejenisnya tidaklah sedikit, mulai dari uang formulir, uang pangkal, uang sekolah, uang seragam/kaos olah raga, uang pendidikan dan uang ekstrakurikuler. Apakah hal ini pun diperhitungkan oleh pemerintah dan dana sebesar 20% dari APBN dapat memenuhi biaya kebutuhan pendidikan? Apakah pemerintah pusat, daerah serta pejabat-pejabat lembaga negara lainnya memperhatikan dan mengambil sebuah kebijakan yang dapat melepaskan rakyat miskin dari beban untuk tetap dapat menikmati pendidikan?

Benar bahwa telah ada sebuah produk hukum mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjadi Undang-Undang BPJS. Namun, bisa kita lihat bersama bahwa tidak ada satu pasal pun dalam kedua undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa adanya pemberian jaminan sosial pendidikan bagi anak buruh. Sementara, kaum buruh wajib mengiur. Seyogyanya, Jaminan Sosial Nasional mencakup perlindungan seluruh aspek kebutuhan hidup manusia. Tidak sebatas kepada kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan pensiun. Namun juga, mencakup aspek pendidikan, perumahan dan pengangguran.

Bagi kalangan buruh sendiri, walaupun telah menjadi peserta progam jaminan sosial, untuk pendidikan anak-anaknya belum bisa dinikmati secara merata. Hal ini karena berdasarkan kebijakan internal Direksi PT. Jamsostek sebagai badan penyelanggara yang menentukan adanya peringkat untuk bisa mendapatkan beasiswa. Batasan peringkat adalah 5 besar (untuk anak pengurus serikat buruh yang menjadi peserta) dan 3 besar (untuk anak buruh yang menjadi peserta). Untuk anak buruh yang tidak masuk dalam kategori peringkat maka tidak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari Jamsostek.

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, Jamsostek memberikan beasiswa kepada kepada 11.400 siswa dari empat jenjang pendidikan dari SD, SMP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi, senilai Rp 22 miliar. Tentu, masih banyak anak buruh yang belum mendapatkan pendidikan gratis, bila kita melihat 28 juta buruh yang menjadi peserta Jamsostek.

Jadi penting untuk kalangan buruh untuk memperhatikan haknya yang berada di Jamsostek, kemudian menentukan skala prioritas perjuangan dalam rangka perubahan atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Perjuangan untuk perubahan akan sangat bermanfaat dan besar faedahnya ketika dapat dirasakan langsung oleh keluarga termasuk untuk anak. Perjuangan perubahan tidak saja sebatas untuk mendapatkan hak jaminan pensiun, namun hak atas jaminan pendidikan untuk anak-anak buruh yang menjadi peserta Jamostek secara merata, tanpa diskriminasi, tanpa pembatasan karena peringkat, merupakan hak dasar dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Program beasiswa yang sudah berjalan selama ini oleh Jamsostek dapat ditingkatkan lagi agar mencakup ke seluruh pesertanya. Oleh karenanya, Jamsostek wajib mengalokasikan anggaran untuk pemberian beasiswa kepada seluruh anak buruh yang menjadi peserta Jamsostek. Penulis sangat meyakini bahwa dengan pemberian jaminan sosial pendidikan bagi anak-anak buruh sebagai peserta Jamsostek, akan memberikan dampat positif yang besar bagi peningkatan jumlah kepesertaan Jamsostek.

* Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat - Gabungan Serikat Buruh Mandiri, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment