Oleh : Eka Pangulimara Hutajulu*


Hidup adalah pilihan! Mengartikulasi sebuah kehidupan memang dapat dilakukan dalam beragam makna. Ada yang memilih mimpi hidup mapan. Ada pula yang ingin mendedikasikan hidup untuk suatu perubahan sosial. Begitu juga yang dilakukan Sondang. Dia tak pernah membayangkan sebelumnya, kalau kehidupannya akan dikenang sebagai orang pertama yang memilih mengakhiri masa depannya, tepat di ring satu, depan istana presiden.

Membincang ribut-ribut sebab musabab kematian Sondang dileleh api, dari kaca mata agama tentu saja habis perkara! Ketika kehidupan perlu disyukuri dan lain-lain. Terdapat nilai tersendiri, kalau kita menelusuri sejenak saksi-saksi terdekat kegiatan sehari-hari sosok pemuda Sondang, sebelum hembusan nafas terakhir mengudara dari gedung Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) sekitar pukul 17.45 sore hari, 10 Desember 2011 lalu.

Bermula ketika menjelang maghrib tiba, 7 Desember 2011. Pemuda setinggi 170-an cm mondar-mandir di sekitaran gerbang Monas. Sondang paham kalau dandanan pakaian yang dikenakannya sama sekali tak menimbukan endusan curiga. Bersepatukan pantofel model boot pemberian kakaknya, celana hitam dan baju biru inilah ciri yang melekat dari detik-detik spektakuler. Fenomenal dan sangat kontroversial, aksi bakar diri Sondang di depan istana negara. Mengharubirukan atmosfir kemanusiaan dan berbagai perjuangan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Sampai sejumlah komentar elit politik ikut menghiasi pemberitaan sejumlah media. Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Angesta Romano Yoyol mengatakan, luka bakar parah sudah 98 persen ketika pertolongan dilakukan. Sekitar tiga menit nyala api menjilati sekujur tubuhnya. Dan segera Sondang dilarikan ke RSCM. Mendengar berita Sondang, Presiden SBY yang baru menginjakkan kaki di Bali langsung memerintahkan upaya penyelamatan diri Sondang. Hingga 9 Desember 2011, kondisi Sondang tetap saja, status quo kritis, kata Direktur Utama RSCM Akmal Taher, upaya penyematan sudah dimaksimalkan.

Apa saja penyemai pemikiran si pemuda? Dari keberanian ekstra ke pilihan aksi bakar dirinya, tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya, semasa hidup pemuda berumur 22 tahun ini bergelut di organisasi. Mahasiswa Angkatan 2007 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, bergelar Ketua Himpunan Advokasi Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi) Universitas Bung Karno (UBK), dikenal bergiat dari aksi ke aksi. Demonstrasi Kamisan -tiap hari Kamis- di depan istana kerap dia lakukan, pernah bersama aktivis HAM Suciwati, istri mendiang tokoh HAM Munir menuntut deretan kasus-kasus pelanggaran HAM, di negeri ini. Korban ’65, Trisakti, Semanggi I dan II, kasus penculikan 1998, Tragedi Mei dan juga kasus Munir. Belakangan jadi kesan yang diungkap Suci.

Kini foto-foto Sondang Hutagalung terpampang di mana-mana. Media on line di tanggal 10 hingga 11 Desember 2011 melayangkan iklan berita duka cita, salah satunya. Sejurus ketika lamat-lamat mengamati dari foto si pemuda, wajah Sondang sama sekali tak memberi kesan garang, berambisi, atau air muka yang mudah dilihat orang yang lantas menegatifkan sosok seseorang dari wajahnya. Sebaliknya, kalau penulis ditanya kebenaran pribadi Sondang sebagai anak manis? Cerita berikut ini bisa jadi jawabannya.

Dengan rasa kehilangan ibunda Sondang, Dame Sipahutar sangatlah beralasan. Di rumah Sondang akrab dengan ibunya, suka pijit-pijitan, bercanda dan tertawa bersama. Di hari bergereja, Sondang mengantar ibunya sembari jalan berangkulan. Kesehariannya sebelum meninggalkan rumah, Sondang rajin berdoa bersama ibunya. Anak seorang pengemudi taksi ini memang bisa terlihat dari wajah di foto-foto facebook kawan-kawannya, ataupun banner spanduk aksi-aksi gerakan solidaritas atas kematian Sondang, kalau wajah si Sondang bisa mewakili cerita sisi kepribadiannya di rumah. Bob Crispianza Hutagalung, abang sulungnya, menyatakan kalau adiknya memang anak kesayangan ibunya -sewaktu menunggui Sondang yang sedang menunggu pemindahan dari RSCM ke tempat persemayaman di UBK, 10 Desember 2011 lalu.

Fenomena Aksi

Sejarah dunia baru-baru ini dikejutkan oleh Revolusi Jasmine ialah aksi demonstrasi besar-besaran di Tunisia yang menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pada 2010 lalu. Jasmine atau melati yang mendasari nama revolusi tersebut, merupakan bunga nasional di Tunisia. Saat itu, seorang pedagang sayuran berusia 26 tahun bernama Muhammed Bouazizi melakukan aksi bakar diri. Bouazizi melakukan aksi tersebut pada 17 Desember 2010 karena polisi menggaruk dagangannya. Beberapa minggu kemudian Bouazizi menempuh azal, dan dikenang sebagai martir gerakan mahasiswa, pengangguran dan kaum miskin di Tunisia.

Saat itu, para analis Timur Tengah yakin bahwa gerakan sosial di Tunisia itu akan menjalar ke negara-negara Arab lainnya. Sebabnya di kawasan tersebut banyak rakyat yang frustrasi karena membumbungnya harga, kemiskinan, pengangguran, penduduk yang makin padat, dan sistem kekuasaan yang tak menghiraukan itu semua. Benar saja, sejak aksi bakar diri Bouazizi tersebut, aksi bakar diri lainnya juga terjadi di Mesir, Aljazair, dan sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika lainnya.

Pada 13 November 1970, di Korea Selatan kawasan Peace Market, Chun Tae-II seorang buruh melakukan aksi bakar diri memrotes eksploitasi kaum buruh, menuntut hari libur di hari Minggu, dan menjalankan aturan perburuhan. Pasca aksi itu, gerakan buruh menggema akbar jadi gerakan perlawanan di Korea Selatan.

Mungkin berbekal pengalaman heroik inilah, Sondang mulai mengarahkan energi pikirannya. Di Indonesia, tak hanya Sondang yang kecewa atas problem ekonomi politik yang tak berpihak pada perubahan nasib rakyat miskin. Buruh diupah murah, Labour Market Flexibility (LMF) dalam bentuk outsourcing dan sistem kerja kontrak, dibarengi PHK massal yang kian terasa. Di desa-desa, petani tak berdaya dengan biaya produksi tani yang meningkat terus. Apalagi sistem korup yang nyaris tak berujung. Dari kasus pajak, Century, lumpur Lapindo, dan sebagainya, merupakan wajah kekinian yang memantulkan efek perlawanan bagi siapa saja yang anti ketidakadilan dan penindasan di republik ini. Riuh rendah gerakan perlawanan rakyat jadi sumbu pengawal gerakan perubahan sistemik yang dinanti-nanti. Berbagai kejumudan, dan alih-alih memperkaya aneka bentuk protes belakangan ini, aksi bakar diri Sondang Hutagalung, boleh jadi menyinari kembali setiap kebuntuan perjuangan yang dihadapi.

Sondang yang menyinari, sudah menunaikan protes tertingginya. Tak banyak pesan yang ditinggalkan sang martir. Pernah sekali tempo, semenjak dua bulan Sondang sempat dikabarkan menghilang, sebuah pesan pendek meluncur ke ponsel Dharma Silalahi di Hammurabi. "Brother, w ti2p HAMmurabi sama lo," demikian bunyi pesan terakhir Sondang pada Jumat, 2 Desember 2011.

Agaknya pesan pendek ini tak cuma untuk Dharma Silalahi, jika lebih luas, pesan terakhir Sondang telah dibaca oleh mungkin saja jutaan pasang mata, dan kepala para aktivis di arena juang. Dan kalau hendak lebih memaknai pesan Sondang Hutagalung peraih gelar Kehormatan Universitas Bung Karno (UBK) ini, lewat aksi bakar dirinya yang berkesadaran politis ini, titipan semangat dan energi perjuangan untuk mengorganisir dan melanjutkan tekad sebulat kesimpulan Sondang, amat ditunggu di waktu-waktu sekarang. Selain itu, tak ada lagi! Selain sebuah ponsel dan tas yang dititipkan ke Putri, tak lain pacar si pemuda. Tak ada yang berlebihan bukan?

* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi KASBI, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment