Oleh : Sapto Raharjanto*


Pada tanggal 10 November 2011 terjadi penembakan petani oleh aparat Brimob di Kabupaten Mesuji yang memakan korban 1 orang meninggal dunia atas nama Zaelani (45) warga Desa Kagungan yang meninggal dunia di tempat karena luka tembak di kepala, selain itu ada 7 orang korban penembakan yang menderita luka tembak.

Adapun latar belakang konflik yang terjadi di Kabupaten Mesuji ini terjadi ketika PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) mengajukan perolehan izin lokasi seluas 10.000 Ha kebun Inti dan 7.000 Ha kebun plasma yang terletak di Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning, Kecamatan Mesuji kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara. Dalam surat Nomor 0007/BSMI/10/94. PT BSMI juga mendapat izin lokasi dari Bupati Lampung Utara melalui surat bernomor : PLU.22/460-L/94. atas lahan seluas 10000 ha (inti) dan 7000 ha (plasma). Dan untuk memperoleh lahan tersebut, PT BSMI diminta membeli lahan petani dengan harga Rp. 150.000 per hektar.

Akar permasalahan konflik ini sendiri terjadi dikarenakan masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam perundingan untuk menentukan nilai harga tanah, serta masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pengukuran areal tanah, sehingga pada tahun 1996 masyarakat mengadu ke Komnas HAM atas ketidakadilan yang mereka alami, dan dalam situasi yang masih panas dikarenakan adanya konflik tersebut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT BSMI atas lahan seluas 9.513.0454 Ha yang tertuang dalam SK No: 43/HGU/BPN/97.

Terkait dengan permasalahan insiden pembantaian petani di Kabupaten Mesuji pada tanggal 10 November 2011, ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan kita mengenai bagaimana tragedi ini bisa terjadi.

BPN sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai lembaga administratif di bidang pertanahan yang memiliki hak untuk menerbitkan HGU, tidak pernah memperhatikan aspek kesejarahan dan hanya memiliki satu perspektif yaitu dari perspektif perusahaan dan sama sekali tidak memperhatikan aspirasi dari warga masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan dengan terbitnya SK HGU yang diberikan kepada PT BSMI atas lahan seluas 9.513.0454 Ha melalui Surat Keputusan Nomor: 43/HGU/BPN/97 yang ditandatangani oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. SK HGU ini terbit ketika konflik pembebasan lahan yang disebabkan oleh permasalahan penentuan nilai harga tanah masih belum selesai dan masyarakat sama sekali tidak dilibatkan di dalam proses pengukuran areal lahan tanah. Pada saat itu masyarakat yang tidak puas akan hal ini mengadukan permasalahan yang mereka hadapi kepada Komnas HAM. Sehingga yang patut menjadi pertanyaan bagi kita ialah bagaimana proses keluarnya SK HGU pada waktu itu?

Di satu sisi Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang sendiri telah memfasilitasi adanya pertemuan antara warga masyarakat dengan PT BSMI untuk mencari solusi terbaik dari permasalahan ini, namun pihak perusahaan tidak memiliki niat untuk bisa bersama-sama mencari solusi atas permasalahan ini. Pemkab Tulang Bawang sendiri melalui surat No. 130/1124/I.01/TB/2007 telah memberi peringatan kepada PT. BSMI agar tidak melakukan pengelolaan lahan yang disengketakan warga Desa Sri Tanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning, serta meminta untuk melakukan pengukuran ulang sebagaimana yang dituntut oleh warga, namun kembali lagi hal ini tidak pernah digubris oleh pihak PT BSMI.

Dalam penyelesaian kasus sengketa agraria, negara selalu menggunakan pendekatan keamanan/militeristik, seperti dalam kasus tragedi Mesuji ini. Terdapat indikasi adanya keterlibatan dari aparat keamanan yaitu TNI dan Polri yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat sipil. Selama ini negara tidak memperhatikan aspek kesejarahan dan sosial, selalu saja masyarakat yang diperspektifkan sebagai pelanggar hukum ketika mereka menuntut hak tanpa sekalipun melihat berbagai permasalahan ketika proses terbitnya HGU tersebut berlangsung. Dalam kasus pembantaian masyarakat di Mesuji, keberadaan Brimob dan Marinir patut kita pertanyakan, karena apabila memang ada bantuan pengamanan tetapi hanyalah bantuan pengamanan yang pasif sifatnya, tetapi yang terjadi di Mesuji adalah penembakan dan penyerangan aparat keamanan terhadap warga masyarakat yang menuntut haknya.

Perspektif ini juga sangat terlihat dengan ditandatanganinya kesepakatan bersama No 3/SKB/BPN/2007 antara BPN dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penanganan Masalah Pertanahan dimana dalam BAB III Pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwasannya pihak pertama (dalam hal ini BPN) dalam rangka pengembangan sistem pengamanan swakarsa bisa membentuk sebuah sistem pengamanan swakarsa. Pada akhirnya pengamanan swakarsa ini justru menimbulkan permasalahan baru karena hanya berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari pihak perusahaan dan banyak merugikan pihak masyarakat. Dalam tragedi Mesuji ini pengamanan pengamanan swakarsa diindikasikan melakukan tindakan pembantaian di luar batas prikemanusiaan dengan melakukan penyembelihan terhadap warga masyarakat.

Dari beberapa uraian di atas dapat kita tarik benang merah bahwa alat-alat negara seperti BPN, TNI dan Polri masih memiliki perspektif tunggal yaitu hanya dari perspektif pengusaha, selain itu, apabila ditinjau dari perspektif hukum selalu menempatkan masyarakat pada posisi yang salah dan melanggar hukum sehingga banyak masyarakat yang menuntut hak atas kepemilikan tanah, justru dikriminalisasikan.

 
* Penulis adalah Peneliti Centre Of Local Economy and Politics Studies-Jember, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment